Trinitarianisme Sosial dan Trinitarianisme Posisi Tengah
Penghayatan Doktrin Trinitatis oleh
Teolog-teolog Abad 20
(Trinitarianisme Sosial dan
Trinitarianisme Posisi Tengah)
I.
Pendahuluan
Seiring
perkembangan pemikiran umat manusia, terjadi rasa keingintahuan yang besar yang
dimana keingintahuan itu juga dihayati oleh para teolog-teolog untuk mencari
tahu bagaimana itu Trinitas. Sehingga para teolog membahas doktrin tentang
Trinitas yang memiliki persoalan yang tidak ada habisnya akibat keberbedaan
pandangan/pemahaman dari para ahli-ahli teolog dan menghasilkan rumusan yang
berbeda-beda. Para Teolog abad 20 juga menghayati doktrin Trinitas. Sehingga
pada sajian kali ini kita akan membahas penghayatan doktrin Trinitas oleh
Teolog-teolog abad 20, semoga sajian kali ini dapat menambah wawasan kita
bersama.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian Trinitas
Tuhan
Allah, yang sebagai sekutu umatNya, telah menyatakan atau memperkenalkan diriNya
sebagai Yang Esa, selanjutnya dengan Firman dan karyaNya juga menyatakan atau
memperkenalkan diriNya sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang didalam ajaran
Kristen biasanya disebut: Tritunggal.[1]
Trinitas adalah Doktrin Kristen mengenai Ketritunggalan Allah. Trinitas tidak
eksplisit disebutkan dalam Pb, tetapi dirumuskan oleh Gereja setelah penelitian
terus-menerus atas data Alkitab. Allah yang
Esa dinyatakan sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus, kesemuanya adalah
Allah, tetapi setiap oknum dibedakan tersendiri.[2]
2.2.
Pengertian Trinitarianisme
Trinitarian
adalah sebutan bagi golongan yang percaya akan ajaran Trinitas, yang digunakan
untuk menentang ajaran Unitarian.[3]
Sedangkan Isme adalah aliran. Jadi dapat dikatakan bahwa Trinitarianisme adalah
suatu aliran atau golongan orang yang menganut ajaran tentang Allah yang
memiliki tiga pribadi namun satu hakekat. Para tokoh teologi yang mengemukakan
tentang trinitas ini adalah untuk menjelaskan keberadaan Allah, sifat dan
hakekatnya, melalui perbuatannya karena Allah yang kita percayai itu bukan
Allah yang hanya ada secara dogmatis saja, melainkan Ia adalah Allah yang
bertindak, berbuat dan berkarya, memelihara, menyelamatkan, membimbing dan
menguduskan. Paham Trinitas ini
menjelaskan keberadaan Allah yang ridak kelihatan agar menjadi lebih konkrit
didalam berbagai perbuatannya. Tujuan dari Trinitatis adalah untuk menjelaskan kesiapaan Allah dan
keberadaanNya yang dapat dikomunikasikan kepada manusia, sehingga manusia lebih
mudah memahami, mengenal dan percaya kepada Allah dan juga untuk menjelaskan
kerahasiaan Allah yang telah menyatakan diri sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus.
[4]
2.3.
Pengertian Trinitarianisme Sosial
Trinitas
adalah doktrin kristen mengenai ketritunggalan Allah, yang dirumuskan oleh
gereja setelah penelitian secara terus-menerus atas data Alkitab, Allah Yang
Esa dikatakan sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus.[5]
Trinitas juga dapat diartikan sebagai ungkapan iman yang dibahasakan sesuai
dengan analisa berfikir manusia, dengan maksud untuk menjelaskan keberadaan
Allah yang tidak kelihatan, agar menjadi konkrit didalam berbagai perbuatanNya.[6]
Trinitarian adalah sebutan bagi orang yang percaya akan trinitas, yang digunakan
untuk menentang ajaran unitarian.[7]
Sedangkan Isme adalah aliran.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Trinitarianisme Sosial adalah suatu aliran atau
golongan orang yang menganut tentang ajaran Allah yang memandang bahwa Allah itu tiga pribadi dalam satu persekutuan
(Oknumnya/subjek) yang dimana didalam
Allah terdapat persekutuan (Communio,
communicario) dari Bapa, Putra dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi atau
subjek dalam arti penuh yang berhubungan satu sama lain.[8]
2.4.
Lahirnya Doktrin Teologi Abad 20
Hasil
dari keputusan konsili Nicea-Konstantinopel mengenai Trinitas adalah tiga oknum
dalam satu hakekat yang sering disebut Tri
Personal. Hasil dari Konsili mengenai Trinitas tersebut dihayati kembali
oleh teolog abad 20, dimana pemikiran tokoh abad 20 tidak terlepas dari konteks
abad 20. Perkembangan ilmu pengetahuan modern dan filsafat menimbulkan
pemikiran teologis yang bermacam-maccam yang semua dimaksudkan untuk menjawab
tantangan jaman. Pada abad ke 20 hasil dari konsili ini kembali di diskusikan
demi pengkontekstualisasian. Nico den Bok membedakan Trinitas dalam 3 paham,
yaitu:
1. Allah
Tritunggal itu satu Pribadi, menekankan ketunggalan (Trinitarianisme
Monopersonal
2. Allah
Tritunggal itu tiga pribadi, menekankan ketigaan (Trinitarianisme Sosial)
3. Pandangan
kelompok ketiga terletak ditengah (Trinitarianisme Posisi Tengah).[9]
2.5.
Konsep Pemahaman Trinitarianisme Sosial
Trinitarianisme
Sosial menurut Den Bok dan Pantinga Jr.
menunjuk kepada pandangan bahwa, didalam Allah terdapat persekutuan (Communio,Communicatio) dari Bapa,Putra,
dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi atau subjek dalam arti penuh, yaitu sebagai
tiga pusat cinta kasih, kehendak, pengetahuan, dan tindakan berencana yang
terpilah-pilah sedemikian rupa sehingga ketiga pribadi Ilahi berhubung-hubungan
satu sama lain dengan cara yang bersifat analog yang meskipun juga jauh
melebihi hubungan antara para anggota satu badan sosial yang terdiri dari tiga
makhluk insani. Para penganut model sosial ini menekankan bahwa yang membuat
seorang “Person” menjadi “Person” ialah relasi dengan pribadi lainnya, dan
bahwa dalam hal ini pribadi-pribadi insani telah dibentuk menurut contoh
pribadi-pribadi Allah Tritunggal sebab Trinitas merupakan perwujudan paling
sempurna dari prinsip “Aku menjadi Aku
Berkat Engkau”.[10]
2.6.
Pemahaman Tokoh Mengenai Trinitarianisme Sosial
Berikut
merupakan Pemahaman-pemahaman dari para Teolog-teolog Abad 20 tentang
Penghayatan Doktrin Trinitatis:
2.6.1.
Jurgen
Moltmann
Moltmann
lahir pada tahun 1926 di Hamburg, dan pada tahun 1945-1948 ia menjadi tawanan
perang di Belgia dan Ingggris. Pada masa itulah ia mendapatkan iman Kristen,
pada tahun 1952 setelah belajar Teologia, ia menjadi pendeta jemaat dan pada
tahun 1967 ia menjadi professor teologia sistematis di Universitas Tubigen.[11]
Moltmann adalah salah seorang teolog pada abad 20 yang secara tegas menyatakan
bahwa sejarah Trinitas merupakan sejarah tiga subjek dalam hubungan persekutuan
satu sama lain. Moltmann memandang bahwa ke Esaan Allah bukan sebagai identitas
satu subjek yang tunggal, melainkan sebagai pesatuan tiga Pribadi, suatu
komunitas dalam arti kata yang penuh. Untuk Trinitas yang bertindak dalam sejarah
keselamatan, Moltmann memandang bahwa ketiga subjek tersebut adalah saling
berhubung-hubungan. Akan tetapi, kesatuan Trinitas Imanen Itu lebih erat. Seperti dalam pandangan Schoonenberg, juga dalam teologi moltmann ada
ketegangan antara para Pribadi ekonomis yang dilukiskan dengan istilah yang
cukup modern di satu pihak dan para pribadi imanen yang digambarkan dengan cara
yang lebih tradisional di lain pihak. Proses-proses imanen didalam Trinitas
bersifat adikodrati, kekal, dan malah niscaya, sedangkan perutusan ekonomis
bersifat sukarela, temporal, dan bebas. Akan tetapi, karena bagi Allah
keniscayaan dan kebebasan bertindih tempat, semua term tersebut dijabarkan menjadi spontanitas, terutama spontanitas
cinta kasih. Allah mengasihi “dengan sendirinya”.[12]
Ada
suatu Alternatif yang memandang kesatuan Trinitas sosial pada dua atau mungkin
juga tiga tahap.
a.
Tahap
pertama adalah “kesatuan dari satu hakikat”. Bapa
menghasilkan anak dan keduanya menghasilkan menghasilkan Roh Kudus.
b.
Tahap
Kedua, ketiga pribadi itu diikat bersama-sama dalam kasih. Terhadap kedua
tahap kesatuan ini, Moltmann menambahkan
c.
Tahap
ketiga, yang dijelaskannya sebagai satu kesatuan
“transfigurasi dan iluminasi bersama”. Kesatuan ini merupakan salah satu
kemuliaan. Pribadi-pribadi trinitas itu membuat satu dan lainnya bersinar
melalui kemuliaan itu, secara bersama-sama dan saling menyinari. Dengan
demikian, Moltmann tidak mengemukakan suatu Organis, tetapi satu kesatuan yang
bertingkat tiga, yang dipercayai sesuai untuk trinitas karena setiap tingkat
spesifik untuk satu anggota partikular dari trinitas tersebut. Pencerahan
khususnya dikaitkan dengan Roh, kasih dengan Anak, dan kesatuan asal-usul
dengan Bapa.
2.6.2.
Wolfhart
Penennberg
Wolfhart
Penennberg adalah seorang dosen ilmu Teologi di Heidelberg tahun 1955. Ia
berpendapat bahwa “Jika hubungan Trinitas antara Bapa, Putra, dan Roh kudus
berupa diferensiasi-diri timbal balik, hubungan itu tidak dapat diartikan
sebagai hanya cara berada yang berlain-lainan saja dari satu subjek Illahi yang
tunggal, tetapi hanya dapat dimengerti sebagai proses-proses kehidupan dari
tiga pusat yang independen”. Bapa, Putra dan Roh Kudus digambarkan sebagai tiga
penampakan dari satu medan dan kekuatan yang diidentifikasi sebagai cinta
kasih. Daya cintalah yang mendorong para pribadi untuk keluar dari diri sendiri
begitu rupa, sehingga mereka menghayati hidupnya bukan dari diri mereka sendiri
menuju yang lain, melainan dari yang lain menuju diri mereka sendiri. Tiap-tiap
pribadi menerima diri diriNya sendiri dari yang lain. Pribadi Ilahi mempunyai
kodrat yang “eksatis”, artinya mempunyai DiriNya dalam pribadi yang lain.
Proses menerima dan memberi ini terjadi didalam hakikat Allah yang abadi, namun
diteruskan didalam waktu, didalam sejarah Allah dengan umat manusia. Dengan
demikian, diri masing-massing pribadi dipertaruhkan sampai pada eksaton.
Penennberg memperkuat gagasan ini dengan mengatakan bahwa Allah memperoleh
sifat-sifatNya melalui tindakan-tindakanNya yang dipilihnya untuk dilakukan;
hakikatNya diperoleh secara Historis. Trinitas yang terlibat dalam suatu proses
itu akan diselesaikan secara eskatologis.[13]
2.6.3.
Leonardo
Boff
Boff
yang merupakan wakil Teologi pembebasan yang terkenal ini menegaskan bahwa nama
“Allah” dimaksudkan oleh iman Kristiani ialah Bapa, Putra, dan Roh Kudus dalam
kolerasi abadi dan dalam peresapan serta cinta kasih timbal balik sedemikian
rupa, sehingga merupakan satu Allah Yang Maha Esa. Kemudian, ditandaskannya
bahwa kesatuan ini berarti persekutuan para Pribadi Ilahi. Oleh karena itu, Boff
berpendapat bahwa pada awal mula tidak terdapat sang Esa yang kesepian, tetapi
persekutuan dari ketiga Pribadi Ilahi.
Hubungan
persekutuan antara ketiga pribadi yang seluruhnya berada satu didalam yang satu
hakikat dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus Itu, harus memperlihatkan peresapan
penuh yang timbal balik antara para Pribadi. Kenyataan ini diungkapkan dengan istilah
Yunani, “Perikhoresis”, yang artinya
“Tinggal bersama”, “berada bersama”, dan “saling meresapi” dari para pribadi
yang bersama-sama merupakan satu kehidupan dengan kesamaan derajat tanpa yang
satu lebih dahulu atau lebih tinggi dari pada yang lain. Segala sesuatu
dimiliki bersama dan dibagikan bersama, kecuali yang langsung itu: apa yang
memberdakan-Nya satu sama lain. Bapa seluruhnya didalam Putra dan didalam Roh
Kudus; Putra seluruhnya didalam Bapa dan didalam Roh Kudus; dan Roh Kudus
seluruhnya berada didalam Bapa dan didalam Putra.[14]
2.7.
Trinitarinisme Posisi Tengah
Trinitarianisme
Posisi tengah adalah konsep pemikiran yang berada diantara Trinitarianisme
monopersonal dan Trinitarianisme Sosial[15]
yang dimana ada dua tokoh yang memberikan sumbangsih pemikiran mereka tentang
penghayatan doktrin Trinitas, yakni Piet Schoonenberg dan Hans Urs Von
Balthasar.
2.8.
Pemahaman Tokoh Mengenai Trinitarianisme Posisi Tengah
2.8.1.
Piet
Schoonenberg
Schoonenberg
mengemukakan bahwa Pribadi Ilahi yang satu itu menajadi antar Pribadi adalah
dengan bergerak menuju makhluk-makhluk insani. “Pribadi” bila diterapkan pada
Allah, berlaku bagi Allah yang dapat disebut sebagai Bapa, sedangkan Sang Putra
dan Roh hanya secara “Ekonomis” saja menjadi Pribadi-pribadi: berkat pergerakan
diri Allah menuju manusia maka putra dan Roh semakin “ memprofilasikan” diriNya
sendiri ( sambil sekaligus membuat manusia makin lama makin pribadi).
Schoonenberg mengatakan bahwa Putra dan Roh mempribadikan diri sendiri, tetapi
menganggapnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa Pribadi Bapa mempribadikan
sabdaNya menajadi Putra (dalam Yesus Kristus) dan Roh-Nya menjadi Roh PutraNya.
Dengan cara yang demikian Bapa mempribadikan diriNya sendiri. Proses pergerakan
diri Allah menuju manusia itu bersifat abadi dan dikehendakiNya dengan bebas.
Proses ini berlangsung di dalam hakikat Allah, karena diri Allah sendirilah
yang dipribadikanNya dalam kontak dengan makhluk ciptaanNya itu.[16]
2.8.2.
Hans
Urs Von Balthasar
Menurut
Von Balthasar, untuk mendekati misteri Tritunggal kedua sudut pandang sangat
diperlukan, baik sudut monopersonalnya, maupun sudut sosialnya. Akan tetapi
supaya pendirian Balthasar tidak menjadi kontradiksi, maka arti kata “Pribadi”
dalam pernyataan bahwa Allah itu satu Pribadi, harus berbeda dengan artian
dalam kalimat bahwa Ia tiga Pribadi. Dalam pandangan Balthasar, seorang insani
dapat menjadi seorang “Pribadi” (person) dengan memperoleh suatu derajat atau
martabat yang melebihi individualitas dan
subjektivitas mental yang menghindarkannya dari kemerosotan dalam
individualisme. Martabat ini dijelaskan bahwa orang menjadi “pribadi” berkat
perutusannNya. Kristus itu Pribadi, karena dia diutus oleh Bapa. Kemudian
Pribadi juga dijelaskan sebagai diri yang sempuna yang menyangkal diri, yang
terdiri dari kasih murni yang memberikan segala sesuatu kepada yang lain.[17]
III.
Kesimpulan
Sesuai
dengan judul penyaji, dan dari semua yang telah di jelaskan di atas maka penyaji
dapat menarik kesimpulan bahwa, Trinitas adalah Doktrin Kristen mengenai
Ketritunggalan Allah, yang dimana pada Abad 20 para Teolog-teolog memiliki
keberbedaan Pendapat. Sehingga muncul berbagai pemahaman-pemahaman dari
berbagai tokoh. Trinitarianisme sosial menekankan bahwa didalam Allah terdapat
persekutuan (Communio,Communicatio)
dari Bapa,Putra, dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi atau subjek dalam arti
penuh, yaitu sebagai tiga pusat cinta kasih, kehendak, pengetahuan, dan
tindakan berencana yang terpilah-pilah sedemikian rupa sehingga ketiga pribadi
Ilahi berhubung-hubungan satu sama lain dengan cara yang bersifat analog yang
meskipun juga jauh melebihi hubungan antara para anggota satu badan sosial yang
terdiri dari tiga makhluk insani. Sementara Trinitarianisme posisi tengah
memberikan pemahaman melalui tokohnya yang dimana aggapannya adalah bahwa Putra dan Roh mempribadikan diri sendiri,
tetapi menganggapnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa Pribadi Bapa
mempribadikan sabdaNya menajadi Putra (dalam Yesus Kristus) dan Roh-Nya menjadi
Roh PutraNya. Dengan cara yang demikian Bapa mempribadikan diriNya sendiri.
Proses pergerakan diri Allah menuju manusia itu bersifat abadi dan
dikehendakiNya dengan bebas. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa Trinitarianisme posisi tengah ini menengahi
Trinitarianime monopersonal yang memandang bahwa Allah Tritunggal itu satu
pribadi (bukan Oknum/tentang kehendak/sifat) dan Trinitarianisme Sosial yang
memandang bahwa Allah itu tiga pribadi dalam satu persekutuan (Oknumnya/subjek)
Trinitarianisme Posisi tengah menengahi dengan menyatakan bahwa Allah itu
persona bagi diriNya dan menjadi Tres
Persona untuk manusia (cinta kasih), demi manusia Dia menjadi manusia dan
Roh.
IV.
Daftar
Pustaka
Browning, W.R.F, Kamus Alkitab, Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2014
Diester, Nico Syukur, Teologi Sistematika 1, Yogyakarta:
Kanisius, 2004
F.D. William Kamus Sejarah Gereja, Jakarta:BPK-Gunung
Mulia, 2011
Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2013
Lane Tony, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Iman Kristen
Lumban Tobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas, P. Siantar:
L-Sapa, 2007
Lumban Tobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas, Pematang
Siantar: L-SAPA, 2008
V.
Catatan
Dosen
Doktrin Trinitas hanya ada satu, yaitu Konsili Nicea
Konstantinopel tahun 138 yang memutuskan bahwa Allah itu 3 Pribadi tetapi 1
hakekat (Tres Personae Una Substantiae), dan tidak boleh ada ada ajaran
baru yang mengubah hasil keputusan dari Konsili NK tersebut. Ada beberapa
penghayatan orang-orang tertentu pada abag 20 yang mengemukakan 3 cara
penghayatan.
-
Monopersonal
Menekankan bahwa Allah Tritunggal itu 1 pribadi
(bukan Oknum/tentang kehendak/sifat)
-
Sosial
Menekankan bahwa Allah Tritunggal itu 3 pribadi
dalam 1 persekutuan (oknum/subjek) “Tres
Personael Una Communie” yang walaupun 3 oknum, tetapi tidak ada oknum yang
berpisah dari pribadi yang lain dan tidak ada yang bertindak tanpa persetujuan
yang lain. 3 pribadi ini bertindak dalam 1 persekutuan.
-
Posisi
Tengah
Paham Trinitas yang menengahi paham Monopersonal dan
Sosial,.



Allah itu Monopersona bagi diriNya
sendiri dan Dia menjadi Tres Personae untuk manusia (cinta Kasih) demi dunia
dan Dia menjadi manusia dan Roh.
Dia Monopersona bagi diriNya dan dia
menyingkap diriNya secara 3 Persona
Keputusan
Konsili Nicea Konstantinopel
“ Tres Personae
Una Substantiae”
Tres Persona = Bagi diriNya dan bagi manusia
Una Substantia = di dalam diriNya







Tidak sama dengan
Tidak sama dengan
ALLAH



Tidak sama dengan
Penjelasan:
“Bapa
tidak sama (bukan) dengan Yesus, Bapa tidak sama (bukan) dengan Roh Kudus dan
Yesus tidak sama (bukan) dengan Bapa, Yesus tidak sama (bukan) dengan Roh Kudus
serta Roh Kudus tidak sama (bukan) dengan Bapa dan Roh Kudus tidak sama (bukan)
dengan Yesus. Tetapi Bapa adalah Allah, Yesus adalah Allah dan Roh Kudus adalah
Allah ( 3 Pribadi 1 Hakikat/ Tres
Persona Una Substantia).”
Posisi Tengah dan soial kurang
setuju dengan Karl Barth yang menekankan “cara berada” karena membawa orang
pada kesesatan (Karl Barth tidak menekankan cara berada itu berbeda , hanya
saja pandangan orang yang salah paham/salah mengartikan)
Pencipta ( Yohanes 1:1-3& 14),
yang menyelamatkan (Yohanes 3 :16), yang
memelihara ( Yohanes 17:15).
[1]
Harun Hadiwijono, Iman Kristen,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013), 103
[2]
W.R.F. Browning, Kamus Alkitab,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2014), 458
[3]
William F.D. Kamus Sejarah Gereja,
(Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2011), 459
[4]
Darwin Lumban Tobing, Teologi di Pasar
Bebas, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2008), 155-156
[5]
W.R.F. Browning, Kamus Alkitab,
(Jakarta: BPK-wGunung Mulia, 2014), 458
[6]
Darwin Lumban Tobing, Teologi di Pasar
Bebas, (P. Siantar: L-Sapa, 2007), 155
[7]
F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja,
(Jakarta: BPK-GM, 2011), 459
[8]
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika
1, 164
[9]
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika
1, (Yogyakarta: Kanisius, 2004),164
[10]
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika
1, 169
[11]
Tony lane, Runtut Pijar Sejara Pemikiran
Iman Kristen, 245
[12]
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika
1, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 170
[13]
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika
1, 170-171
[14]
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika
1, 172
[15]
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika
1, 167
[16]
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika
1, 167-168
[17]
Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika
1, 168-169
שלום/ Shalom. Yesus di Markus 12 ayat 29 mengutip kalimat dari Musa yang tertulis di Ulangan 6 ayat 4, yang biasa disebut dengan Shema Yisrael. Kalimat ini biasa diucapkan oleh orang Yahudi pada awal ibadah harian mereka juga pada perayaan Shabat atau hari-hari raya lainnya. Dibawah ini teks Ibrani beserta cara mengucapkannya 👇🏻
BalasHapusTeks Ibrani, " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד. "
Cara mengucapkannya, " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad. "
Dilanjutkan dengan mengucapkan berkat, " ברוך שם כבוד מלכותו לעולם ועד. "
( dibaca : barukh Shem kevod malkuto, le'olam va'ed )
ש🕎✡️🐟📜🖖🏻✝️🗺️🕊️🌾🍇🍎🍏🥛🍯🍷
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus