BUKU pengajaran PAK untuk orang dewasa-beserta kotbah
TUGAS PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
![]() |
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA
GKPI JEMAAT TANI ASLI
DARI
STT ABDI SABDA MEDAN
T.A 2016/2017
PENULIS DOSEN PENGAMPU
(Jepri
Emerson Leonardo Tamba) ( Dr. Setia Ulina Tarigan)
I.
Pendahuluan
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkatnya saya diberi kekuatan, kemampuan dan kesabaran untuk mengerjakan tugas
Pendidikan Agama Kristen ini yang di tugaskan oleh ibu Dr. Setia Ulina Tarigan
demi untuk meningkatkan,menumbuh kembangkan pengetahuan iman Jemaat Tuhan.
Semoga buku dan pengajaran yang saya berikan dapat berguna bagi jemaat GKPI
Tani Asli serta menjadi bukti bahwa saya telah memberikan pengajaran PAK bagi
jemaat tersebut.
Pendidikan Agama Kristen merupakan pendidikan yang
mengajarkan setiap orang Kristen untuk mengenal Tuhan Yesus dengan dasar iman
yang benar. Proses belajar mengajar yang alkitabiah, dengan kuasa Roh Kudus dan
berpusatkan pada Kristus. Pendidikan
Agama Kristen juga merupakan suatu usaha untuk membimbing setiap pribadi
bertumbuh sesuai dengan dasar kristen melalui cara-cara mengajar yang cocok
agar mengetahui dan mengalami maksud dan rencana Allah (Roma
8:29).
II.
Dewasa
2.1.
Pengertian Orang Dewasa
stilah
Adolescene yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Namun kata Adult berasal dari bentuk lampau
paticiple dari kata kerja Adultus yang berarti telah tumbuh menjadi
kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu,
orang dewasa adalah individu yang sudah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap
menerima kedudukan di dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.[1] Di
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata Dewasa
berarti suatu keadaan yang menunjukkan akil
balik yakni berumur 15 tahun ke atas.[2]
Orang dewasa juga dapat di artikan sebagai individu – individu yang telah
memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap berproduksi serta telah dapat
diharapakan memiliki kesiapan kognitif, afektif, fisik, moral, dan juga
spiritualitas. Selain itu, orang dewasa juga diharapkan untuk dapat memainkan
peranannya dengan individu-individu lain dalam masyarakat. [3]
Elisabeth
B.Hurlock menyatakan bahwa orang dewasa adalah individu yang telah
menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat
bersama dengan orang dewasa lainnya.[4]
Ditinjau dari segi psikologis seseorang yang dapat dikatakan dewasa yaitu orang
yang mampu mengarahkan diri sendiri, tidak selalu tergantung kepada orang lain,
mau bertanggung jawab, mandiri, berani mengambil resiko dan mampu mengambil
keputusan.[5]
Orang juga dapat disebut dewasa apabila telah menyelesaikan tahun-tahun
sekolahnya sebagaimana tuntutan masyarakatnya. Banyak pendidik orang dewasa
mengasumsikan (baik oleh pilihan sendiri maupun bukan) semacam tanggung jawab
bagi diri sendiri dan barang kali juga terhadap orang lain, dan juga suatu
tingkat kemandirian dari otoritas orangtua yang baik sama dengan para remaja
dan pemuda.[6]
2.1.1.
Pengertian
Orang Dewasa dipandang dari berbagai aspek
a.
Menurut
Alkitabiah
Orang
dewasa menurut alkitabiah adalah orang yang dianggap mampu untuk memperlihatkan
kebenaran dan kesaksiannya (Bnd. Yeh 23:12). Orang dewasa dari Perjanjian Lama
dibatasi dari segi umur saja tetapi lebih dominan ditunjukan oleh kemampuan dan
kekuatannya dalam melakukan kehendak Allah. Didalam Perjanjian Lama gambaran
orang dewasa adalah seorang yan mulai sadar dan dapat berpikir tentang dunia
luar dan dirinya sendiri. Sedangkan dalam kitab Perjanjian Baru juga tidak ditemukan
batasan tertentu tentang seseorang yang dikatakan dewasa . namun dalam 1 Tim
4:12 mengatakan bahwa “janganlah
seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda, jadilah teladan bagi
orang percaya dalam perkataanmu, tingkah lakumu, dalam kasihmu dalam
kesetiaanmu dan dalam kesucianmu”. Dari kesaksian ini terlihat bahwasannya
orang dewasa merupakan orang yang dianggap belum mampu, namun sebenarnya telah
mempunyai kemampuan jika setia kepada Tuhan dan suci dalam perbuatan.[7]
b.
Orang
Dewasa menurut Gereja
Orang
dewasa didalam gereja adalah orang yang sudah menerima sidi (tanda kedewasaan
Rohani di Gereja), oleh karena itu orang dewasa ini memiliki kedudukan yang
sama denagn jemaatb yang lai, dalam arti sudah mendapat hak pilih dan dipilih
menjadi penatua dan ikut dalam musyawarah jemaat. Maka dari itu orang dewasa
dalam gereja mempunyai kewajiban dalam memberitakan injil kepada setiap orang
(Mat 28:19-20).
c.
Orang
Dewasa secara Umum
Secara
umum yang disebut orang dewasa adalah orang yang sudah mengerti membedakan mana
yang baik dan mana yang tidak baik, yang benar dan yang mana yang tidak benar,
pemikirannya tidak seperti anak-anak lagi melainkan dapat berpikir lebih
abstrak, hidup mandiri dan bertanggungb jawab. Orang dewasa secara umum juga
mempunyai rasa ketidakamanan tertentu, bergerak dalam pekerjaan, mempunyai
pandangan hidup yang beraneka dan mengalami gaya hidup baru.[8]
2.2.
Pembagian Umur
Masa Dewasa dibagi
menjadi 3 bagian:[9]
1.
Dewasa
Awal 18-34 tahun (Masa dewasa Dini/ Young Adult)
Adalah masa pencarian kemantapan
dan masa reproduksi yaitu masa penuh dengan masalah dan ketegangan emosional,
periode isolasi, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan
nilai-nilai, kreatifitas dan penyesuain diri pada pola hidup yang baru.
2.
Dewasa
Madya 35-60 tahun (Midle adulthood)
Status kesehatan menjadi persoalan
utama masa dewasa madya, hal ini dikarenakan adanya sejumlah perubahan fisik.
Perubahan kejantanan bagi pria dan juga wanita mengalami berkurang/ hilangnya
kesuburan. Seperti, pada wanita mengalami monopouse.
3.
Dewasa
Lanjut 60 tahun keatas (Masa Tua/ older adult)
Masa dewasa tua berkisar umur 60
tahun ke atas. Proses penuaan berarti menurunnya daya tahan fisik, menurut
kartari (1993) lanjut usia disebabkan oleh meningkatnya usia, sehingga terjadi
perubahan struktur dan fungsi sel jaringan serta sistem organ.
2.3.
Karakteristik
2.4.
Psikologi Perkembangan
2.4.1.
Pengertian
Psikologi
Secara
etimologi psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “psyche” yang artinya jiwa,
dan “logos” yang artinya ilmu jiwa. Sehingga psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya,
prosenya, maupun latar belakangnya.[10]
Menurut Aristoteles, psikologi adalah ilmu mengenai gejala-gejala jiwa manusia,
dimana didalam ilmu itu dipelajari tentang tingkah laku manusia dan penghayatan
akan manusia.[11]
Psikologi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
perilaku dan proses mental.[12]
Jadi, pada dasarnya psikologi itu merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku
seseorang atau sering disebut dengan ilmu jiwa.
2.4.2.
Pengertian
Perkembangan
Perkembangan
adalah perubahan individu ke arah yang lebih sempurna yang terjadi dari proses
terbentuknya individu sampai akhir hayat dan berlangsung secara terus menerus.
Selain itu perkembangan adalah perubahan yang terjadi dalam suatu medium.
Elisabeth B.Hurlock mengartikan perkembangan sebagai serangkaian perubahan yang
terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.[13]
Perkembangan juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan dan perubahan itu
tidak bersifat kuantitatif , melainkan kualitatif.[14]
2.4.3.
Psikologi
Perkembangan
Psikologi
Perkembangan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku individu dalam
perkembangannya dan latar belakang yang yang mempengaruhinya. Dalam ruang
lingkup, ilmu ini termasuk psikologi khusus, karena psikologi perkembangan
mempelajari kekhususan dari pada tingkah laku individu. Ada beberapa manfaat
mempelajari Psikologi Perkembangan, diantaranya yaitu: 1) Untuk mengetahui
tingkah laku individu itu sesuai atau tidak dengan tingkat usia/
perkembangannya. 2) Untuk mengetahui tingkat pemampuan individu pada setiap
fase perkembangannya 3)Untuk mengetahui
kapan individu bisa diberi stimulus pada tingkat perkembangan tertentu. 4) Agar
dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan-perubahan yang akan
dihadapi anak. 5)Khusus bagi guru, agar dapat memilih dan memberikan materi dan
metode yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Psikologi
orang dewasa terbagi atas tiga baigan, yaitu:
a.
Dewasa
Dini (18-34 tahun)
1. Fisik
Sejak
usia sekitar 25 tahun, perubahan perubahan fisik mulai terlihat.
Perubahan-perubahan ini sebagian besar lebih bersifat kuantitatif dari pada
kualitatif. Secara berangsur-angsur, kekuatan fisik mengalami kemunduran,
sehingga lebih mudah terserang penyakit. Akan tetapi bagaimana pun juga
seseorang masih tetap cukup mampu untuk melakukan aktivitas normal bahkan bagi
yang menjaga kesehatannya dan melakukan olahraga rutin masih terlihat bugar.[15]
2. Kognitif
Berpikir
positif, berpikir kreatif, proaktif dan kritis,[16]
kemampuan menyatakan perbedaan pendapat dengan kebijaksanaan dan kemampuan
menerima kegagalan dan keberhasilan secara simpati.
3. Segi
Emosi
Timbul
kekuatiran tentang pekerjaan, perkawainan yang membuat mereka tegang, adanya
kenginginan yang besar tentang karier, keluarga dan kesehatan. Memiliki
semangat yang kuat dalam bersaing.
4. Segi
Sosial
Mulai
menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan perkawinan, adanya waktu menerima waktu
tanggung jawab dan mandiri, masa kesepian (terasing dari lngkungan).
Berkembangnya kesadaran akan ketertiban sosial. Suka menjamu teman-teman
dirumah dan mulai ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
5. Segi
Spiritual
Memperhatikan
relasi pribadi dengan Tuhan seperti hubungan suami istri (ibadah yang teratur,
membentuk tim-tim doa, mengajak mereka terlibat dalam kegiatan Gereja). Dalam
ibadah yang tradisional (menajamkan kedewasaan dari berbagai sudut pandangan
ilmu pengetahuan dan alam).[17]
b.
Dewasa
Madya (35-60 tahun)
1. Fisik
Kekuatan
dan energi orang berkurang pada masa ini. Kaum wanita mengalami monopause
dengan akibat yang negatif. Kemampuan panca indera dan seks berkurang. Mereka
cenderung menyukai pekerjaan yang kurang keras.
2. Kognitif
Penyesuaian
terhadap peran dan pola hidup yang selau berubahcenderung membawa orang dewaswa
kemasa stress. Pada masa ini dituntut bertanggung jawab yang nyata. Pada masa
ini juga merupakan saat menevaluasi prestasi.
3. Mental
Intelektual
Semakin
tua orang akan semakin lambat dalam belajar meskipun masih tetap mampu dalam
belajar.
4. Sosial
Umunya
orang muda hanya bergerak keatasa dan hanya sedikit yang puas berpindah
kesenjangan sosial yang lebih rendah. Masa ini merupakan masa keterpencilan
yang mana dalam masa ini pria dan wanita merasa kesepian.
5. Emosi
Akibat
menurunnya kemampuan penginderaan, mungkin akan timbul perasaan tidak berguna,
tidak aman dan depresi, tetaoi pada masa ini juga akan timbul sifat suka
menoong orang lain dan lebih bijaksana dari pada sebelumnya.
6. Spiritual
Orang
pada masa usia ini menilai kembali tanggung jawab kedewasaanya dan pelayanannya
dalam gereja.[18]
Pada masa ini dewasa mempunyai toleransi agama yang lebih baik dari pada
sebelumnya.
c.
Dewasa
Lanjut ( 60 tahun keatas)
1. Fisik
Pada
usia 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik, sering pula diikuti
oleh penurunan daya ingat. Tubuh membungkuk dan tampak kecil, garis pinggang
melebar.
2. Kognitif
Orang
yang berusia lanjut lebih berhati-hati dalam belajar, memerlukan waktu yang
lebih banyak untuk mengintegrasikan jawaban mereka, kurang mampu mempelajari
hal-hal yang baru. Keinginan untuk berpikir kreatif berkurang. Menurut Sntrock
5 hingga 10% dari neuron kita berhenti tumbuh sampai kita mencapai usia 70
tahun. Setelah itu hilangnya neuron akan semakin cepat.
3. Sosial
Semakin
lanjut usia seseorang berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari keterbatasan
yang dimilikinya. Keadaaan ini mengakibatkan interaksi sosial pada lanjut usia
menurun baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Pada masa pensiun seseorang
harus menyesuaikan diri dengan peran baru.
4. Afektif
Harus
bergantung pada orang lain. Cenderung untuk mengenang sesuatu yang sudah
terlewatkan. Mencari teman baru untuk mengantikan suami atau istri yang sudah
meninggal.
5. Spiritual
Menurunya
kehadiran dan partisipasinya dalam kegiatan gereja. Pada tingkat ini
kepercayaan semakin mundur kelatar belakangan pribadi mengosongkan diri,
sekaligus mengalami diri sebagai makhluk yang berakar dalam Allah dan daya
kesatuan. [19]
2.5.
Media Pembelajaran
Proses
belajar mengajar pada dasarnya juga merupakan proses komunikasi, sehingga media
yang digunakan dalam pembelajaran disebut media pembelajaran.[20]
Media pembelajaran selalu terdiri atas dua unsur penting, yaitu unsur peralatan
atau perangkat keras (hardware) dan unsur pesan yang dibawanya (message/
software). Media pembelajaran memerlukan peralatan untuk menyajikan pesan,
namun yang terpenting bukanlah peralatan itu, tetapi pesan atau informasi
belajar yang dibawakan oleh media tersebut.[21]
2.6.
Fungsi Media Pembelajaran
a. Memperjelas
pesan agar tidak terlalu verbalitas
b. Mengatasi
keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra
c. Menimbulkan
gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar
d. Memungkinkan
anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori, dan
kinestetiknya.
e. Memberi
rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman, menimbulkan persepsi yang sama.
2.7.
Metode-metode
Metode
secara harafiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umu, metode diartikan
sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu.
Kata “pembelajaran” berarti segala upaya yang dilakukan oleh pendidik agar
terjadi proses belajar pada diri siswa. Jadi metode pembelajaran adalah
cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi
proses belajar pada diri siswa untuk mencapai tujuan.[22]
2.7.1.
Jenis Metode
1. Seminar
Merupakan
suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh beberapa orang dalam suatu sidang
yang berusaha membahas/ mengupas masalah-masalah atau hal-hal tertentu dalam
rangka mencari jalan memecahkannya atau mencari pedoman pelaksanaannya.
2. Sociodrama
dan Role Play (Bermain Peran)
Metode
sosiodrama dan bermain peran merupakan suatu metode mengajar dimana siswa dapat
mendramatisasikan tingkah laku atau ungkapan gerak gerik wajah seseorang dalam
hubungan sosial antar manusia.
3. Demonstrasi
Demonstrasi
adalah metode yang digunakan untuk membelajarkan peserta dengan cara
menceritakan dan memperagakan suatu langkah-langkah pengerjaan sesuatu.
4. Kerja
Lapangan
Metode
mengajar dengan mengajak siswa ke dalam suatu tempat di luar sekolah yang
bertujuan tidak hanya sekedar observasi atau peninjauan saja, tetapi langsung
terjun aktif ke lapangan kerja agar
siswa dapat menghayati serta bekerja sendiri dalam pekerjaan.
5. Simulasi
Metode simulasi merupakan cara mengajar dimana
menggunakan tingkah laku seseorang untuk
berlaku seperti orang yang dimaksudkan.dengan tujuan agar orang dapat
menghindari lebih mendalam tentang bagaimana orang itu merasa dan berbuat
sesuatu dengan kata lain siswa memegang peranan sebagai orang lain.
6. Kerja
Kelompok
Suatu cara menyajiikan bahan pelajaran dengan menyuruh
pelajar (setelah dikelompokkan) mengerjakan tugas terntentu untuk mencapai
tujuan pengajaran.
7. Ceramah
Metode yang meberikan penjelasan kepada sejumlah murid
pada waktu dan tempat tertentu. Dengan kata lain, metode ini adalah metode
mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada
sejumlah siswa yang pada umunya mengikuti secara pasif.
8. Sumbang
saran
Suatu cara mengajar dengan mengutarakan suatu masalah ke
kelas oleh guru kemudian siswa menjwab mengemukakakn pendapat atau jawaban dan
komentar sehingga masalah tersebut berkembang menjadi masalah baru.
9. Unit
Teaching
Metode yang meberikan kesempatan pada siswa secara aktif
dan guru dapat mengenal dan menguasai belajar secara unit.
10. Sandiwara
Seperti memindahkan sepenggal cerita yang menyerupai
kisah nyata atau situasi sehari-hari ke dalam pertunjukkan.
11. Penemuan
(Discovery)
Merupakan proses mental dimana siswa mampu
mengasimilasikan suatu proses atau prinsip-prinsip.
12. Eksperimen
Merupakan salah satu cara mengajar dimana seorang siswa
diajak beruji coba atau mengadakan pengamatan kemudian hasil pengamatan
disampaikan di kelas dan di evaluasi oleh guru.
13. Permainan
Metode yang digunakan untuk
membangun suasana belajar yang dinamis, penuh semangat dan antusiasme.
14. Studi Kasus
Merupakan metode penyajian
pelajaran dengan memanfaatkan kasus yang ditemui anak sebagai bahan pelajaran
kemudian kasus tersebut dibahas bersama untuk mendapatkan penyelesaian.
15. Inquiry
Teknik pengajaran di depan kelas
dimana dilakukannya pembagian tugas meneliti suatu masalah ke kelas.
16. Micro
Teaching
Merupakan suatu latihan mengajar
permulaan bagi guru atau calon guru dengan scope, latihan dan audience yang
lebih kecil dan dapat dilaksanakan di lingkungan teman-teman setingkat sendiri
atau sekelompok siswa di bawah bimbingan pembimbing.
17. Problem
Solving
Metode pemecahan masalah adalah
menggunakan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa
menghadapi berbagai masalah baik masalah pribadi atau perorangan maupun masalah
kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
18. Metode
Karya Wisata
Metode mengajar
yang dilaksanakandengan mengajak siswa ke suatu tempat atau obyek tertentu
untuk mempelajari sesuatu.
19. Practice/ Drill
(Latihan /Praktek)
Latihan secara sederhana adalah
latihan dengan daya dan upaya untuk meningkatkan secara menyeluruh kondisi
fisik dengan proses yang sistematis dan berulang-ulang dengan kian hari kian
bertambah jumlah beban latihan, waktu atau intesnsitasnya.
20. Dialog
Merupakan salah
satu teknik metode pengajaran untuk memberi motivasi pada siswa agar aktif
pemikirannya untuk bertanya.
21. Non Directive
Merupakan salah
satu metode mengajar dimana siswa melakukan observasi, analisis dan berpikir
sendiri.
22. Tanya Jawab
Merupakan
cara lisan menyajikan bahan untuk mencapai tujuan pengajaran
23. Katekesmus
Merupakan suatu
cara menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang
jawabannya sudah ditentukan.
24. Prileksi
Merupakan suatu
cara menyajikan pelajaran dengan menggunakan bahasa lisan, menyuruh para
pelajar mendiskusikan, menganalisa, membandingkan dan akhirnya menarik
kesimpulan dari apa yang disampaikan untuk mencapai tujuan pengajaran.
25. Proyek
Merupakan suatu
cara menyajikan bahan ajaran pada hal tertentu untuk mempelajari dalam rangka
mewujudkan tujuan belajar.
26. Team Work
(Sistem Regu)
27. Berprogama
Menyajikan bahan
pelajaran dengan menggunakan alat tertentu untuk mencapai tujuan pengajaran.
28. Musyawarah
Merupakan cara
menyajikan bahan pelajaran melalui perundingan untuk mencapai musyawarah
bersama.
29. Mind
Mapping
Pembelajaran
ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal anak
30. Quantum
31. Review
(Ulasan)
Ulasan adalah kupasan, tafsiran,
komentar, tanggapan.
32. Sharing Time (Berbagi waktu)
Meluangkan waktu
untuk bercerita kepada teman, keluarga untuk berdiskusi mengenai sesutau agar
mempunyai solusi.
33. Show
and Tell (Menunjukkan dan Menjelaskan)
Mempertunjukkan
dan menjelaskan adalah memperlihatkan kemudian menjelaskan apa yang kita
pertunjukkan tersebut.
34. Simulation Games (Simulasi Permainan)
Simulasi
permainan adalah mneirukan sesuatu permainan dengan melihat keadaan
sekelilingnya.
35. Spontaneous
Speaking (Berbicara Spontan)
Berbicara
spontan pada hakikatnya berbicara tanpa persiapan juga deisebut dengan to aldlib atau ad libs berarti mengatakan
sesuatu tanpa persiapan atau memberikan komentar secara spontan. Berbicara
tanpa persiapan biasanya sering dilakukan oleh beberapa oenyiar yang sudah
berpengalaman karena dalam melakukannya, mereka jarang melihat catatan yang
mereka bawa dan hanya memandu secara spontan.
36. Story
Writing/ Telling
Bercerita
adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu
kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan
pengetahuan kepada orang lain. Bercerita adalah upaya untuk mengembangkan
potensi kemampuan berbahasa anak melalui pendengaran dan kemudian menuturkannya
kembali dengan tujuan melatih keterampilan anak dalam bercakap-cakap, untuk
menyampaikan ide-ide dalam bentuk tulisan.
37. Testing
(Pengujian)
Pengujian adalah
proses yang bertujuan untuk memastikan apakah semua fungsi sistem bekerja
dengan baik dan mencari kesalahan yang terjadi pada sistem. Tujuan dari
pengujian adalah untuk mendeteksi kesalahan bahasa (language error), kesalahan yang diakibatkan oleh penulisan.
38. Simposium
Simposium adalah
serangkaian pidato pendek di depan pengunjung dengan seorang pemimpin.
Simposium menampilkan beberapa orang pembicara dan mereka mengemukakan
aspek-aspek pandangan yang berbeda dan topik yang sama. Dapat juga terjadi,
suatu topik persoalan dibagi atas beberapa aspek, kemudian setiap aspek
disoroti tersendiri secara khusus, tidak perlu dari berbagai sudut pandang.
39. Dramatic Reading/
Membaca Drama
Membaca drama
berbeda dari membaca fiksi drama menceritakan sedikit tentang karakter,
biasanya hanya dalam arah tahap yang pemirsa dari tidak melihat pemain. Aktor
dan pembaca harus membaca petunjuk dan harus hati-hati untuk membuat kesimpulan
dari apa yang dipelajari tentang karakter dalam dialog. Dari apa yang dikatakan
karakter, anda harus membangun sebuah penafsiran siapa mereka.
40. Charadas
Charadas adalah
metode dengan meniru atau mengikuti gambar gaya seseorang, biasanya dengan cara
yang lucu.
41. Monologue
Metode ini
adalah metode dimana anak diajak untuk berbicara panjang sendiri. Ini juga
dapat diartikan sebagai pidato dramatis oleh aktor tunggal.
42. Pantomime
Metode
ini adalah metode yang meniru gerakan tubuh tanpa kata-kata.
43. Play/
Bermain
Bermain adalah
aktivitas khas yang menggembirakan, menyenangkan dan menimbulkan kenikamatan.
Kegiatan ini merupakan kesibukan yang dipilih sendiri oleh anak sebagai bagian
dari usaha mencoba-coba dan melatih diri.
44. Silhouettes
(Siluet)
Siluet merupakan
metode dengan menggunakan apa yang dihasilkan dalam fotografi karena adanya
perbedaan signifikan antara pantulan cahaya objek utama di bagian depan gambar
dengan latar belakangnya. Untuk menghasilkan siluet, cahaya dari bagian
belakang objek harus sangat terang kemudian ditangkap dengan mengukur luminitas
cahaya latar belakang.
45. Skit
(Lelucon)
Metode ini
adalah metode yang menggunakan cerita pendek atau susunan perkataan yang
bersifat lucu. Terdapat beberapa kategori lelucon, dari lelucon sederhana
hingga lelucon yang menggunakan sarkasme.
46. Spontaneous
drama (Drama Spontan)
Drama spontan
merupakan bentuk seni yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan
memyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Dengan melihat
drama, penonton seolah-olah melihat kehidupan dan kejadian dalam masyarakat.
Hal ini karena drama merupakan potert kehidupan manusia.
47. Story Play (Bermain
Cerita)
Bermain cerita
berarti penceritaan cerita atau memainkan cerita. Selain itu bermain cerita
disebut juga mendongeng seprti yang dikemukakan oleh Malan, mwndongeng adalah
bercerita berdasarkan tradisi lisan. Bermain cerita merupakan usaha yang
dilakukan oleh pendongeng dalam menyampaikan isi perasaan, buah pikira atau
sebuah cerita kepada anak-anak secara lisan.
48. Tableau
(Tablo)
Tablo
(kata benda) adalah petunjukan lakon tanpa gerak atau tanpa dialog.
49. TV/
Radio Show (TV/ Acara Radio)
Metode
ini adalah metode yang menggunakan TV atau acara radio
50. Apprenticeship (Masa
Belajar)
Dapat diartikan
sebagao aktivitas mental (psikis) yang terjadi karena adanya interaksi aktif
antara individu dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan-perubahan yang
bersifat relatif dalam aspek: kognitif, psikomotr dan afektif. Perubahan
tersebut dapat berubah ke arah sesuatu yang sama sekali baru atau
penyempurnaan/ peningkatan dari hasil belajar yang telah diperoleh sebelumnya.
51. Assignment/ Homework (Tugas/
Pekerjaan Rumah)
Metode ini
adalah metode dimana anak diberikan tugas atau pekerjaan rumah. Tugas juga
dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan dan tanggung jawab seseorang. Pekerjaan
yang dibebankan. Sesuatu yang wajib dilakukan atau ditentukan untuk perintah
agar melakukan sesuatu dalam jabatan terntentu.
52. Case Study (Studi
Kasus)
Studi kasus
adalah salah satu metode penelitian dalam ilmu sosial. Dalam riset kyang
menggunakan metode ini, dilakukan pemeriksaan longitudinal yng mendalam
terhadap suatu keadaan atau kejadian yang disebut sebagai kasus dengan
menggunakan cara-caar ayng sistematis dalam melakukan pengamatan data, amalisis
informasi, dan pelaporan hasilnya. Sebagai hasilnya akan dieproleh pemahaman
yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan dapat menjadi dasar bagi
riset selanjutnya.
53. Computer
(Komputer)
54. Metode
Kerajinan tangan/ Kreatifitas
Merupakan suatu
cara yang digunakan untuk mengajar anak didik menciptakan suatu produk atau
barang yang dilakukan dengan tangan dan
memiliki fungsi pakai atau keindahan sehingga memiliki nilai jual.
55. Metode
minat atau pusat belajar
Merupakan cara
pengajaran yang dilakukan dengan cara melihat minat yang ada pada diri anak.
56. Metode
Hewan dan Tanaman
Merupakan
pengajaran yang dilakukan dengan memperkenalkan hewan-hewan dan tumbuhan
kepada anak agar anak dapat mengenal dan
memahami makhluk hidup yang lain.
57. Metode
Surat Kabar
Metode yang
menggunakan surat kabar dengan tujuan mengajarkan anak untuk mengetahui
kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya.
58. Metode
Laboratorium
Cara
pengajaran yang dilakukan dengan cara melakukan percobaan di laboratorium.
59. Programmed
Learning and Instruction
Pembelajaran
yang identik dengan kata” mengajar” berasal dari kata “ajar” yang berarti
petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui, ditambah dengan awalan
“pe” dan akhiran “an” menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan,
cara mengajar atau mengajarkan ssehingga anak didik mau belajar. Maka dari itu
pembelajaran adalah proses interaksi peserta dengan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia
serta dapat berlaku dimanapun dan kapanpun. Dalam konteks pendidikan, guru
mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga
mencapai suatu objektif yang ditentukan. Kegiatan belajar mengajar adalah satu
kesatuan dari dua kegiatan yang searah.
60. Reports (Laporan)
Laporan adalah
suatu bentuk penyampaian berita, keterangan, pemeberitahuan atau pertanggung
jawaban baik secara lisan maupun tertulis dari bawahan kepada atasan sesuai dengan
hubungan wewenang dan tanggung jawab yang ada antara mereka.
61. Research (Penelitian)
Penelitian
sering dideskripsikan sebagai suaut proses investigasi yang dilakukan dengan
aktif, tekun, dan sistematis yang bertujuan untuk menemukan, menginterpretasikan,
dan merevisi fakta- fakta. Penelitian juga menghasilkan suatu pengetahuan yang
lebih mendalam mengenai sutau peristiwa, tingkah lkau, teori, dan hukum serta
membuka peluang bagi penerapan praktik dari penegtahuan tetrsebut.
62. Sensory Experiences (Pengalaman
Sensorik)
Bagaimana
sesuatu terlihat, suara, selera dan sebagian besar itu adalah tentang
pengalaman visual, tapi deskripsi juga berhubungan dengan jenis lain dari
persepsi.
63. Supervised Study (Belajar
diawasi)
Ini
merupakan metode belajar yang dilakukan dengan perhatian penuh.
64. Survey
(Penelitian)
Suatu
tindakan yang dilakukan untu mencari tahu tentang sesuatu.
65. Team Teaching (Tim
Mengajar)
Tim
mengajar ini adalah sekelompok guru atau sukarelawan utnuk mendidik.
66. Textbook Study
(Buku Pelajaran)
Buku pelajaran
ini adalah alat yang dipakai untuk menulis seluruh atau sebagian dari didikan
guru.
67. Unit of Learning
(Unit Belajar)
Sekelompok
orang yang tergabung dalam suatu rana pembelajaran.
68. Verse
Memorization (Ayat Hafalan)
Ayat hafalan
adalah suatu metode yang penekanannya untuk daya ingatan baik itu cakupan waktu
yang lama maupun waktu yang singkat.
69. Workbook
or Manual (Buku Kerja atau Manual)
Buku
kerja ini adalah buku untuk pengamatan sesuatu yang bersifat langkah-langkah.
70. Self Expression Methods
71. Cathecism (Katekismus)
Katekismus ini
suatu bentuk pengajaran tentang keagamaan mengenai keimanan seseorang.
72. Choral Reading/ Speaking (Paduan
suara membaca/ berbicara)
Paduan suara ini
adalah metode ekskpresi diri untuk meluapkan kebahagiaan serta kesedihan di
dalam sutau kata yang di aransemen mnejadi suatu nada yang indah di dengar.
73. Circle Conversation (Lingkaran
Percakapan)
Ini adalah
sebuah bentuk percakapan yang dilakukan dalam kartun-kartun gunanya untuk
menandakan ada topik pembicaraan tersebut.
74. Creative
Writing (Menulis kreatif)
Menulis kreatif
ini metode pembelajaran yang dilakukan untuk menunjukkan bakat/ jiwa seni yang
ada dalam dirinya sendiri.
75. Games
(Pertandingan)
Metode ini
adalah metode dimana anak-anak di ajak untuk mengikuti pertandingan yang sudah
ditetapkan guru. Dengan metode ini anak-anak dapat belajar untuk berjuang.
76. Informal conversation (Percakapan
yang tidak resmi)
77. Memorization (Menghafal)
Metode
ini adalah metode ndegan memberikan anak hafalan-hafalan dan pada waktu yang
sudah ditetapkan, apa yang sudah dihafal dikatakan.
78. Paraphrase
(Mengutip)
Mengutip adalah
mengambil perkataan atau kalimat dari buku, mengumpulkan dari berbagai sumber,
dan sebagainya.
79. Puzzle
(Menyatukan)
Menyatukan
adalah menjadikan satu, mengumpulkan menjadi satu.
80. Questions and Answer (Pertanyaan dan Jawaban)
Pertanyaan
adalah sebuah ekspresi keingintahuan seseorang akan sebuah informasi yang
dituangkan dalam kalimat tanya. Jawaban adalah sahutan, balasan, tanggapan.
81. Play
Time (instructive) (Waktu bermain)
Waktu bermain
yaitu kita harus menyisihkan waktu untuk bermain agar tubuh bisa seimbang
dengan kinerja otak.
82. Reading
(Membaca)
Membaca adalah
suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan
yang disampaikan penulis melalui media bahasa tulis. Pengertian lain dari
membaca adalah suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan
lambang-lambang bahasa tulis.
83. Mime
Mime adalah
metode yang berkomunikasi sepenuhnya dengan gerakan dan ekspresi wajah. Ini
merupakan jenis drama yang dimana orang-orang dan peristiwa umumnya diwakili
secara konyol.
III.
PAK
Dewasa
3.1.
Pengertian Pendidikan
Secara Etimologi pengertian
pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan
kekuatan individu. Sedangkan menurut Kamus
Bahasa Indonesia, pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan dapat diperoleh baik secara formal dan non
formal. Pendidikan secara formal diperoleh dengan mengikuti program-program
yang telah direncanakan, terstruktur oleh suatu insititusi, departemen atau
kementtrian suatu negara. Sedangkan pendidikan non formal adalah pengetahuan
yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari dari berbagai pengalaman baik yang
dialami atau dipelajari dari orang lain. [23]
Pendidikan orang dewasa disebut juga Andragogi. Andradogi berasal dari bahasa Yunani andra artinya orang dewasa, dan agogos artinya memimpin. Andragogi adalah proses untuk melibatkan peserta didik dewasa ke dalam suatu struktur
pengalaman belajar. Istilah ini awalnya digunakan oleh Alexander Kapp, seorang
pendidik dari Jerman, pada tahun 1833, dan kemudian dikembangkan menjadi teori
pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat, Malcolm Knowles.
Pendidikan orang dewasa adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi
orang-orang dewasa dalam lingkungan masyarakatnya, agar mereka dapat
mengembangkan kemampuan, memperkaya pengetahuan, mengembangkan keterampilan,
meningkatkan kualifikasi teknik dan profesi yang telah dimilikinya, memperoleh
cara-cara baru serta merubah sikap dan perilakunya.
3.1.1.
Prinsip-prinsip Pendidikan Orang Dewasa
Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan training
(pelatihan) dan pendidikan, dan biasanya diterapkan pada situasi kelas formal
atau untuk sistem on the job training
(magang). Tiap bentuk pelatihan sebaiknya memuat sebanyak mungkin 9 prinsip yang tersebut di bawah ini.
Supaya kita mudah mengingatnya (9
prinsip tersebut), maka biasanya digunakan sistem jembatan keledai atau
istilah asingnya mnemonic, yaitu RAMP 2
FAME.
R = Recency
A = Appropriateness
M = Motivation
P = Primacy
2 = 2–Way Communication
A = Appropriateness
M = Motivation
P = Primacy
2 = 2–Way Communication
F = Feedback
A = Active Learning
M = Multi–Sense Learning
A = Active Learning
M = Multi–Sense Learning
E = Excercise
Prinsip-prinsip
ini dalam berbagai cara sangat penting, karena memungkinkan pelatih untuk
menyiapkan satu sessi secara tepat dan memadai, menyajikan sesi secara efektif
dan efisien, juga memungkinkan melakukan evaluasi untuk sessi tersebut
Ø R : RECENCY
Hukum dari
Recency menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu yang dipelajari atau diterima
pada saat terakhir adalah yang paling diingat oleh peserta/partisipan. Ini menunjukkan
dua pengetian yang terpisah di dalam pendidikan. Pertama, berkaitan dengan isi
(materi) pada akhir sessi dan kedua berkaitan dengan sesuatu yang “segar” dalam
ingatan peserta. Pada aplikasi yang pertama, penting bagi pelatih untuk membuat
ringkasan (summary) sesering mungkin
dan yakin bahwa pesan-pesan kunci/inti selalu ditekankan lagi di akhir sessi.
Pada aplikasi kedua, mengindikasikan kepada pelatih untuk membuat rencana kaji
ulang (review) per bagian di setiap
presentasinya.
Ø A : APPROPRIATENES
(Kesesuaian)
Hukum dari
appropriatenes atau kesesuaian mengatakan kepada kita bahwa secara keseluruhan,
baik itu pelatihan, informasi, alat-alat bantu yang dipakai, studi kasus -studi
kasus, dan material-material lainnya harus disesuaikan dengan kebutuhan
peserta/partisipan. Peserta akan mudah kehilangan motivasi jika pelatih gagal
dalam mengupayakan agar materi relevan dengan kebutuhan mereka. Selain itu,
pelatih harus secara terus menerus memberi kesempatan kepada peserta untuk
mengetahui bagaimana keterkaitan antara informasi-informasi baru dengan
pengetahuan sebelumnya yang sudah diperolah peserta, sehingga kita dapat
menghilangkan kekhawatiran tentang sesuatu yang masih samar atau tidak
diketahui.
Hukum dari
motivasi mengatakan kepada kita bahwa pastisipan/peserta harus punya keinginan
untuk belajar, dia harus siap untuk belajar, dan harus punya alasan untuk
belajar. Pelatih menemukan bahwa jika peserta mempunyai motivasi yang kuat
untuk belajar atau rasa keinginan untuk berhasil, dia akan lebih baik dibanding
yang lainnya dalam belajar. Pertama-tama karena motivasi dapat menciptakan
lingkungan (atmosphere) belajar menjadi menye-nangkan. Jika kita gagal
menggunakan hukum kesesuaian (appropriateness) tersebut dan mengabaikan untuk
membuat material relevan, kita akan secara pasti akan kehilangan motivasi
peserta.
Ø P : PRIMACY (Menarik Perhatian di awal
sessi)
Hukum dari
primacy mengatakan kepada kita bahwa hal-hal yang pertama bagi peserta biasanya
dipelajari dengan baik, demikian pula dengan kesan pertama atau serangkaian
informasi yang diperoleh dari pelatih betul-betul sangat penting. Untuk alasan
ini, ada praktek yang bagus yaitu dengan memasukkan seluruh poin-poin kunci
pada permulaan sessi. Selama sessi berjalan, poin-poin kunci berkembang dan
juga informasi-informasi lain yang berkaitan. Hal yang termasuk dalam hukum
primacy adalah fakta bahwa pada saat peserta ditunjukkan bagaimana cara
mengerjakan sesuatu, mereka harus ditunjukkan cara yang benar di awalnya.
Alasan untuk ini adalah bahwa kadang-kadang sangat sulit untuk “tidak
mengajari” peserta pada saat mereka membuat kesalahan di permulaan latihan.
Hukum dari
2-way-communication atau komunikasi 2 arah secara jelas menekankan bahwa proses
pelatihan meliputi komunikasi dengan peserta, bukan pada mereka. Berbagai
bentuk penyajian sebaiknya menggunakan prinsip komunikasi 2 arah atau timbal
balik. Ini tidak harus bermakna bahwa seluruh sessi harus berbentuk diskusi,
tetapi yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara pelatih/fasilitator dan
peserta/partisipan.
Hukum dari
feedback atau umpan balik menunjukkan kepada kita, baik fasilitator dan peserta
membutuhkan informasi satu sama lain. Fasilitator perlu mengetahui bahwa
peserta mengikuti dan tetap menaruh perhatian pada apa yang disampaikan, dan
sebaliknya peserta juga membutuhkan umpan balik sesuai dengan penampilan/kinerja
mereka.
Penguatan
juga membutuhkan umpan balik. Jika kita menghargai peserta (penguatan yang
positif) untuk melakukan hal-hal yang tepat, kita mempunyai kesempatan yang
jauh lebih besar agar mereka mengubah perilakunya seperti yang kita kehendaki. Waspada
juga bahwa terlalu banyak penguatan negatif mungkin akan menjauhkan kita
memperoleh respon yang kita harapakan.
Hukum dari
active learning menunjukkan kepada kita bahwa peserta belajar lebih giat jika
mereka secara aktif terlibat dalam proses pelatihan. Ingatkah satu peribahasa
yang mengatakan “Belajar Sambil Bekerja” ? Ini penting dalam pelatihan orang
dewasa. Jika anda ingin memerintahkan kepada peserta agar menulis laporan,
jangan hanya memberitahu mereka bagaimana itu harus dibuat tetapi berikan
kesempatan agar mereka melakukannya. Keuntungan lain dari ini adalah orang
dewasa umumnya tidak terbiasa duduk seharian penuh di ruangan kelas, oleh
karena itu prinsip belajar aktif ini akan membantu mereka supaya tidak jenuh.
Ø M : MULTIPLE -SENSE LEARNING
Hukum dari
multi- sense learning mengatakan bahwa belajar akan jauh lebih efektif jika
partisipan menggunakan lebih dari satu dari kelima inderanya. Jika anda
memberitahu trainee mengenai satu tipe baru sandwich mereka mungkin akan
mengingatnya. Jika anda membiarkan mereka menyentuh, mencium dan merasakannya
dengan baik, tak ada jalan bagi mereka untuk melupakannya.
Ø E. EXERCISE (Latihan)
Hukum dari
latihan mengindikasikan bahwa sesuatu yang diulang-ulang adalah yang paling
diingat. Dengan membuat peserta melakukan latihan atau mengulang informasi yang
diberikan, kita dapat meningkatkan kemungkinan mereka semakin mampu mengingat
informasi yang sudah diberikan. Yang terbaik adalah jika pelatih menambah
latihan atau mengulangi pelajaran dengan mengulang informasi dalam berbagai
cara yang berbeda. Mungkin pelatih dapat membicarakan mengenai suatu proses
baru, lalu menunjukkan diagram/overhead, menunjukkan produk yang sudah jadi dan
akhirnya minta kepada peserta untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Latihan
juga menyangkut intensitas. Hukum dari latihan juga mengacu pada pengulangan
yang berarti atau belajar ulang.
3.1.2.
Tujuan Pendidikan Orang Dewasa
Pendidikan orang dewasa umumnya memiliki sasaran kelompok orang dewasa yang
beraneka ragam, baik usianya, tingkat pendidikannya, lingkungan sosialnya,
pelajarannya dan lain-lain.
Secara umum terdapat beberapa
tujuan pendidikan orang dewasa yaitu sebagai berikut:
1. Pengembang kecerdasan atau intelektual warga belajar
Yaitu mengembangkan kecerdasan untuk menerima,
menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan
intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat
disimpan dan diolah, pada waktu yang tepat dan pada saat dibutuhkan diolah dan
diinformasikan kembali.
2. Aktualisasi dari indvidu peserta belajar
Aktualisasi tersebut mencakup pemenuhan diri (self-fulfillment),
realisasi seluruh potensi, dan kebutuhan untuk menjadi kreatif. Mereka yang
telah mencapai level aktualisasi diri menjadi lebih manusiawi, lebih asli dalam
mengekspresikan diri, tidak terpengaruh oleh budaya.
3. Pengembangan personal
Pengembangan personal dapat dilakukan dengan
menanamkan mindset atau sikap yang paling positif dan
memberdayakan yang bisa Anda tanam, kemudian tanamkan keunggulan skill pada
diri Anda, lalu perluaslah jaringan Anda.
4. Perubahan sosial (masyarakat)
Merupakan
perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
5. Pengembangan SDM dalam organisasi kerja (efektivitas
organisasi)
Pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi kerja
adalah suatu proses peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan kapasitas dari
semua penduduk suatu masyarakat dalam organisasi kerja.
3.2.
Pengertian PAK
Pendidikan yang
diberikan Allah merupakan tindakan menyampaikan kebenaran yang akan menghantar
kita secara benar kepada suatu meditasi tentang Allah dan kepada usaha
mengamalkan perilaku suci yang tetap selamanya.[24]
Pendidikan Agama memusatkan perhatian khususnya pada pemberdayaan orang-orang
dalam pencarian mereka pada hal-hal yang transenden dan dasar keberadaan yang
paling pokok.[25]
John Dewey mengatakan
Pendidikan Agama Kristen adalah salah satu dari tugas-tugas gereja yang banyak
itu, jadi bukan satu-satunya tugas gereja, melainkan salah satu diantara yang
lainnya.[26]
Pendidikan Agama Kristen menjadi usaha sitematis, ditopang oleh upaya rohani
dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap,
keterampilan dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan Iman
Kristen dalam rangka mengupayakan pembaharuan oleh kuasa Roh Kudus, sehingga
hidup sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab.[27]
3.3.
Pengertian PAK (Dewasa)
Pendidikan
Agama Kristen mengajarkan setiap orang Kristen untuk mengenal Tuhan Yesus
dengan dasar iman yang benar. Proses belajar menagajra yang alkitabiah, dengan
kuasa Roh Kudus dan berpusatkan pada Kristus. Pendidikan Agama Kristen adalah
pendidikan yang berisi ajaran tentang iman Kristen. Maksudnya ajaran yang
menekankan pada moral dan mental serta rohani seseorang (anak didik), penekanan
pendidikan mengarah pada tiga aspek pendidikan yaitu pengetahuan, keterampilan
dan sikap yang terjadi pada proses belajar mengajar sistematis.
Ada
perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa jika ditinjau berdasarkan umur,
ciri psikologis dan ciri biologis. Pendidikan bagi orang dewasa adalah semua
aktivitas pendidikan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari yang hanya
menggunakan sebagian waktunya dan tenaga untuk memperoleh atau menambahkan
intelektualnya.[28]
Jadi kesimpulan pengertian PAK Dewasa adalah seluruh aspek pendidikan yang
didasarkan pada tinjauan Alkitabiah teologis, dan kerohanian, dalam hal
kerohanian orang dewasa yang mengarahkan orang dewasa agar dapat menjalani
kehidupan spritual dengan baik dan benar sehingga menjadi dampak positif bagi
orang lain, baik dalam gereja, masyarakat dan dimanapun berada.[29]
3.4.
Tujuan PAK orang dewasa[30]
Tujuan
PAK bukanlah pergumulan kini tetapi berlangsung dalam sejarah keKristenan. Di
mana ada komunitas Kristen di sana berlangsung proses pergumulan itu. Itulah
sebabnya maka kita menemukan banyak rumusan tujuan tentang PAK.
Tujuan
Pendidikan Agama Kristen dari masa ke masa mengalami perkembangan, khususnya
dalam rumusan tujuan Pendidikan Agama Kristen. Ada banyak formula atau rumusan
tujuan pendidikan Kristen yang dikemukakan pendidik Kristen (ahli praktika
maupun dogmatika/teolog). Formula-formula itu tidak dapat dideskripsikan secara
menyeluruh dalam postingan ini, disini hanya dikemukakan beberapa formula
rumusan tujuan Pendidikan Kristen.
Marthen Luther memang tidak memakai
istilah tujuan pendidikan Kristen karena istilah ini dipakai secara teratur
setelah pokok pendidikan itu dijadikan sebagai ilmu tersendiri. Akan tetapi
dari karya dan perhatian Luther terhadap pendidikan maka dapat dirumuskan
tujuan pendidikan Kristen menurut Marhin Luther yaitu menyadarkan anak didik dan orang dewasa tentang keadaan
mereka yang sebenarnya, yaitu mereka orang berdosa. Maka setiap warga harus
bertobat dan berseru kepada Allah agar diampuni. Dengan kata lain, tujuan pendidikan
Kristen menurut Marhin Luther yaitu melibatkan semua warga jemaat, khususnya
yang muda dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa
mereka serta bergembira dalam Firman Yesus Kristus yang memerdekakan mereka di
samping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa,
Firman tertulis, Alkitab, dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu
melayani sesamanya termasuk masyarakat dan negara serta mengambil bagian secara
bertanggungjawab dalam persekutuan kristen yaitu Gereja (Robert R. Boehlke,
2002:340)
Menurut Calvin, pendidikan Kristen adalah proses pemupukan
akal orang-orang percaya dengan Firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus
melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja sehingga di dalam
diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang berkesinambungan yang
diaplikasikan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Yesus Kristus,
berupa tindakan-tindakan kasih terhadap sesamanya
Berdasarkan
pemahaman Calvin tentang pendidikan Kristen maka menurut John Calvin, tujuan Pendidikan Kristen adalah
mendidik semua warga gereja agar mereka dilibatkan dalam penelaahan Alkitab
secara cerdas sebagaimana dibimbing oleh Roh Kudus, diajar mengambil bagian
dalam kebaktian serta diperlengkapi untuk memilih cara-cara mewujudkan suatu
pengabdian diri kepada Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan mereka sehari- hari,
serta hidup bertanggung jawab di bawah kedaulatan Allah, demi kemuliaan namaNya
sebagai lambang ucapan syukur mereka yang dipilih dalam Yesus Kristus.
Menurut
E.G.Homrighausen dan I.H. Enklaar, tujuan pendidikan Kristen yaitu:
a. Memimpin pada pengenalan akan peristiwa-peristiwa ilahi
dalam Alkitab dan pengajaran-pengajaran yang ada dalam Alkitab
b. Membimbing dengan kebenaran firman Allah
yaitu Alkitab
c. Mendorong melakukan mempraktekkan ajaran-ajaran Alkitab
d. Meyakinkan tentang kebenaran-kebenaran
Alkitab untuk pemecahan masalah dalam kehidupan.
Tujuan
PAK juga adalah sebagai berikut:
1.
Memberikan dasar/prinsip kebenaran Firman Tuhan Mengajarkan pengajaran yang
benar sesuai dengan Alkitab (lebih dari sekedar mendengarkan kotbah) dan
pendeta/pembimbing membantu mereka menjajagi Firman Allah secara sistematis
untuk menemukan berita kebenaran Firman Allah untuk generasi ini.
2.
Menolong jemaat untuk hidup sebagaimana Kristus menghendaki. Mengaplikasi Firman
Tuhan yang dipelajari itu dalam kegiatan sehari-hari dan menolong memecahkan
masalah-masalah yang timbul karenanya.
3.
Membangun kasih kepada jiwa-jiwa yang terhilang Menyediakan pelayanan yang
cocok dengan mereka untuk menjangkau orang dewasa yang lain.
3.5.
PAK dan Iman Orang Dewasa
Secara etimologi Iman (bahasa Yunani: πίστιν– pistin) adalah rasa percaya kepada
Tuhan. Iman sering dimaknai “percaya” (kata sifat) dan tidak jarang juga
diartikan sebagai kepercayaan (kata benda).[31]
Arti kata ‘Iman’ dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah kepercayaan terhadap Tuhan.[32] Seseorang
yang memiliki ketetapan hati dalam kepercayaan kepada Allah. Iman kepada Allah
berarti iman kepada FirmanNya.[33]
Kata Iman (Faith)
memiliki arti sebagai suatu kebenaran yang objektif, yang diwahyukan yang
dipercaya (Fides qual)
atau penyerahan diri secara pribadi kepada Allah (Fidesque).[34]
3.5.1.
Pengertian
PAK menurut Alkitab
1.
Menurut
Perjanjian Lama
Pengertian
iman dalam Perjanjian Lama, yakni: Perkataan ‘iman’ dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Ibrani ‘aman’ yang dapat diterjemahkan
dengan ‘firmness’ atau keteguhan, kekokohan dan ketetapan.[35]
2.
Menurut
Perjanjian Baru
Dalam
Perjanjian Baru, perkataan yang dipergunakan menerangkan ‘iman’ atau
‘kepercayaan’ adalah ‘pistis’ (bahasa Yunani), berasal dari
kata Pisteno, yang artinya ‘saya percaya’ atau ‘saya mempercayai’.[36]
Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala
sesuatu yang tidak kita lihat. Dasar keyakinan ini adalah Firman Allah (Ibrani
11:1). Dalam Ibrani 11:1 dikatakan: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu
yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita
lihat”. Iman mengandung unsur ilahi dan kemanusiaan. Iman adalah karunia
Allah dan juga tindakan manusia. Dasar iman adalah Firman Allah (Roma 4:
20-21). Tujuan iman adalah iman kepada Yesus Kristus. Iman yang menyelamatkan
adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat.[37]
3.5.2.
Perkembangan
Iman Orang Dewasa
Perkembangan
iman adalah suatu proses dimana seseorang sudah menerima Yesus sebagai Tuhan
dan Juruselamarnya (Yoh 1 :12), diberi kuasa jadi anak Allah, lalu rindu
mendengar, menerima dan memahami kebenaran Firman Allah dalam hidupnya setiap
hari (1 Korintus 10 : 17), selanjutnya didalam diri orang tersebut, kebenaran
Firman Tuhan mengakar dan bertumbuh hingga dapat menghasilkan buah yang sesuai
dengan kehendak Allah (Mat 3:8). Nacy Poyah mengatakan dalam bukunya bahwa:
Hidup dalam iman kepada Kristus bagaikan tunas yang baru, terus bertumbuh dan
berbuah. Bertumbuh dalam pengenalan yang benar akan Allah, sehingga hidup umat
berkenan kepada Allah dalam segala hal dan terus mengarah kepada Kristus
(Efesus 4 : 13-16). Berbuah dalam kesaksian hidup yang baik, untuk memuliakan
nama-Nya (Yohanes 15 :7;Efesus 2 :10).[38]
Kepercayaan eksistensial merupakan suatu kegiatan universal manusia.
Kepercayaan eksistensial/iman mengandaikan suatu sikap suatu pilihan hati.
Pilihan tersebut diambil sesuai dengan suatu pengertian tentang nilai dan
kekuasaan yaitu tentang hal yang paling penting dan fundamental dalam hidup
manusia.[39]
Dalam perkembangan iman, agama juga mengatur tingkah laku baik buruk secara
spikologis. Agama bisa merupakan salah satu faktor pengendali terhadap tingkah
laku remaja. Hal ini dapat di mengerti karena agama memang mewarnai kehidupan
masyarakat setiap hari. Agama juga menyajikan kerangka moral sehigga seseorang
bisa membandigkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan
bisa menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia, serta
menawarkan rasa aman khususnya bagi remaja yang sedang mencari eksistensi
dirinya.[40]
3.5.3.
Tahap
Perkembangan Iman
Makin maju
perkembangan kepercayaan, makin erat pula integrasi antara segala aspek
struktural itu. Pengkajian ilmiah dan operasional yang penting bagi setiap
peneliti empiris tidak akan diperdalam lebih lanjut. Mengenai tahap-tahap
kepercayaan eksistensial sebagai khas seorang pribadi berada dalam
kepercayaanya.[41]
Dr. A.
Supratiknya mengemukakan tujuh thap perkembangan iman menurut teori James
Fowler adalah :
1.
Kepercayaan
Awal dan Elementer (Usia Kanak-kanak, 0-2 atau 3 tahun)
Rasa percaya
Elementer dan dasariah ini timbul sebagai kecondongan spontan yang bersifat
pralinguistis- sebelum munculnya kemampuan berbahasa untuk mengandalkan seluruh
hubungan timbal balik antara bayi dan lingkungan sekitar, terutama orang-orang
yang secara tetap, teratur dan setia mengasuh dan memeliharanya (orangtua
terutama ibu). Seluruh interaksi timbal balik tersebut menimbulkan dalam diri
anak sejenis pengharapan dan rasa percaya yang organismik dan aman, boleh
dipercayai dan diandalkan.[42]
Tahap
kepercayaan awal yang elementer ditandai oleh cita rasa yang bersifat praveral
terhadap kondisi-kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia yang
elementer pada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi. Tentu saja
sikap lingkungan yang menerima atau menolak itu, sangatlah penting bagi
terbentuknya rasa kesatuan organik adaptif yang mesra antara bayi dan
lingkungan.[43]
2.
Kepercayaan
Intuitive-Projektive (Masa Kanak-kanak, 3-7 Tahun)
Tahap ini
membuat kepekaan anak terhadap dunia misteri dan yang Ilahi serta tanda-tanda
nyata kekuasaan. Karena anak-anak sungguh-sunggh memperhatikan segala gerak
isyarat, upacara dan kata-kata yang digunakan oleh orang-orang dewasa untuk
mengungkapkan kepercayaan mereka, maka kemampuan dan minat anak terhadap
misteri dan yang suci diarahkan dan dibina oleh persepsinya mengenai pandangan
dan keyakinan religius orang dewasa. Dunia gambaran dan imajinasi ini menguasai
seluruh hidup afektif dan kognitif yang mendasari pola kepercayaan si anak.
Gambaran-gambaran tersebut menjadi kuat, bertahan lama dan tetap mempengaruhi
secara positif atau negatif seluruh emosional dan kognitif kepercayaan anak d
kemudian hari.[44]
Jenis anak yang
kita temukan pada tahap ini adalah anak yang di dorong oleh rasa diri yang
terbagi antara keinginan untuk mengekspresikan dorongan hatinya dan
ketakutannya akan ancaman hukuman karena kebebasannya yang tanpa batas dan
tanpa kekang.
3.
Kepercayaan
Mitis-Harafiah (Masa Kanak-kanak Usia 7-12 Tahun)
Pada tahap ini
anak mulai belajar melepaskan diri dari sikap egosentrismenya, mulai membedakan
antara perspektifnya sendiri dan perspektif orang lain, serta memperluas
pandangannya dengan mengambil alih pandangan orang lain. Anak mulai berfikir
secara logis dan mengatur dunia dengan kategori-kateori baru. Orang tua masih
tetap menjadi sumber autoritas tertinggi baginya khususnya dalam cerita,
keyakinan, kepercayaan, dan ibadat khas bagi kelompok keanggotanya, maka usia
anak sekolah mulai berangsur-angsur menempatkan diri ke dalam perspektif orang
lain serta mengambil alihnya. Yang paling digemari anak pada tahap ini, anak
menjadi senang penutur dongeng (mitos) yang sungguh-sungguh. Anak berfikir
secara konkret tanpa merefleksikan lebih lanjut tindakan berfikirnya.
Berkat daya
logika baru dan pengambilan perspektif orang lain tersebut, maka anak sanggup
memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolak ukur
logikanya sendiri, pengecekan atau pengamatannya, dan pandangan religius orang
dewasa yang diandalkannya sebagai sumber autoritas. Pada tingkat moral, anak
belum mampu menyusun dunia batin yaitu seluruh perasaan, sikap dan proses
penuntut batiniah, yang dimiliki dirinya sendiri. Apabila ia mau mengreti
tatanan moral, kenyataan dan hidup, maka ia bersandar pada struktur-struktur
ekstern sikap kejujuran dan mengandalkan orang dewasa yang masih dipandang
sebagai instansi wibawa moral. Pandangan moralnya menuntut bahwa yang baik
harus dihadiahi dan yang jahat harus dihukum. Pada tahap ini ceritalah yang
menjadi sarana utama seseorang untuk mengumpulkan berbagai arti menurut sifat
keterkaitannya dan untuk membentuk pendapatnya.
4.
Kepercayaan
Sintetis-Konvensional Masa Adolesen dan Seterusnya, (Usia 12 Tahun sampai
Sekitar 20 Tahun)
Disekitar umur
12 tahun, seseorang biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam caranya memberi
arti. Karena munculnya kemampuan kognitif baru yaitu perasi-operasi formal,
maka seseorang mulai mengambil alih pandangan pribadi orang lain menurut pola
“pengambilan perspektif antar pribadi secara timbal balik”. Yang perlu ialah
mengintegrasikan segalagambaran diri yang begitu berbeda supaya menjadi satu
identitas diri yang koheren. Maka tugas paling pokok tahap ini adalah supaya
menciptakan sintesis identitas. Oleh sebab itu tahap ini disebut “sintetis”.
Soal identitas dan diri batiniah, baik pada diri sendiri maupun pada orang
lain, menjadi topik paling mengasyikan bagi remaja. Seluk beluk kepribadian,
gaya dan sisinya menjadi titik perhatian mereka. Gambaran diri itu di bangun
dalam ketergantungannya pada orang lain yang berarti baginya. Remaja mendapatkan
suatu kumpulan nilai, gambaran relligius, dan keyakinan kepercayaan baginya
kriteria adalah fakta bahwa segala nilai, norma, dan keyakinan religius
tersebut disahkan para anggota kelompok yang bernilai baginya.
5.
Kepercayaan
Individual-Reflektif (Usia 20 Tahun ke Atas- Awal Masa Dewasa)
Disini orang
mengalami suatu perubahan yang mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Orang
dewasa muda tidak lagi berhasil mengatasi semua masalah dengan pola pikir
konvensional. Pola dasar kepercayaan ini ditandai oleh lahirnya refleksi kritis
atas seluruh pendapat, keyakinan, dan nilai(religius) lama. Pribadi sudah mampu
melihat diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem
kemasyarakatan, tetapi juga yakin bahwa dia sendirilah yang memikul tanggung jawab
atas penentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya
untuk meningkatkan diri dengan cara menunjukkan kesetiaan pada seluruh hubungan
dan panggilan tugas. Perubahan akibat struktur berfikir itu yang pertama pada
tahap itu yang pertama pada tahap ini muncul suatu kesadaran jelas tentang
identitas diri yang khas dan otonomi tersendiri di perjuangkan jenis
kemandirian baru. Perubahan penting yang kedua ialah orang dewasa muda mulai
mengajukan pertanyaan kritis mengenai keseuruhan nilai dan pandangan hidup.
6.
Kepercayaan
Konjungktif (Usia 35 Tahun ke Atas)
Kepercayaan
konjungtif timbul pada masa usia 35 tahun keatas. Perhatian utama pada tahap
ini ditunjukkan pada upaya membuat hidupnya lebih utuh, ia lebih peka terhadap
fakta bahwa hidupnya merupakan anugrah pemberian daripada hasil rasional kita
sendiri. Batas-batas sistem pandangan hidup teridentitas diri yang jelas,kaku,
dan tertutup, kini menjadi runtuh. Tahap ini ditandai oleh sesuatu keterbukaan
dan perhatian baru terhadap adanya polaritas,ketegangan,paradoks, dan
ambiguitas dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya. Kebenaran hanya akan
terwujud apabila paradoks dan sebagainnya itu diakui dan diungkap dalam bentuk
pemikiran dialektis. Orang mencari berbagai cara dan daya untuk mempersatukan
pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam pikiran dan pengalamannya,
karna sadar bahwa manusia membuka sebuah tafsiran majemuk terhadap kenyataan
multidimensional.
Peribadi ini mencoba mengolah kembali,
memperbaiki, dan memperluas seluruh kebenaran yang diresapkannya pada masa
kanak-kanaknya sendiri, tetapi juga sunguh-sungguh menghargai orang lain yang
asing sebagai pemilik kebenaran baru. Tahap ini tidak menyediakan tempat bagi
sikap sukuisme kelompok yang religius dan homogen dan tertutup atau niat untuk
mengadakan perdebatan.
7.
Kepercayaan
Universalitas (Usia 45 Tahun ke Atas)
Kepercayaan yang
mengacu pada Universalitas dapat berkembang pada umur 45 tahun ke atas. Pribadi
ini berhasil melepaskan diri dari egonya dan dari pandangan bahwa ego adalah
pusat, titik acuan dan kehidupan yang mutlak. Pada tahap ini pribadi melampaui
tingkatan paradoks dan polaritas, karena gaya hidupnya langsung berakar pada
kesatuan yang ultim, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang
terdalam. Idenifikasi dan partisipasi dengan yang ultim sebagai dasar dan
sumber segala yang hidup menjadi mungkin, karena pribadi berhasil melepaskan
diri dari egonya dan dari pandangan bahwa ego adalah pusat, titik acuan, dan
tolak ukur kehidupan yang mutlak. Visi tanggung jawab universal mendorongnya
untuk membaktikan seluruh diri penuh cinta kasih dalam berbagai macam
keterlibatan etis dan kreatif, misalnya tekad untuk menyelsaikan
perselisihan-perselisihan, mengatasi segala macam penidasan dan situasi yang
kurang berperi kemanusiaan, membongkar pandangan picik dan akuistik, serta ide
dan idola palsu yang biasanya dianut oleh masyarakat luas.[45]
3.5.4.
Perspektif
perkembangan iman orang dewasa
Biasanya sesudah
sesorang sudah menjadi dewasa ia telah dapat mengatasi keragu-raguan di bidang
kepercayaan atau agamanya, yang mengganggunya pada waktu ia masih remaja.
Setelah ia menjadi dewasa ia biasanya sudah mempunyai suatu pandangan hidup,
yang didasarkan pada agama, yang memberi kepuasan baginya. Atau dapat terjadi
bahwa meninggalkan agama yang dianut keluarga, karena mungkin agama tersebut
tidak memberi kepuasan kepadanya. Tetapi pada umur 20 tahun periode inilah yang
paling tidal religius karena pada masa inilah mereka akan mudah terpengaruh
oleh lingkungan mereka, sehingga mereka kurang meminati agama dan tak jarang
pergi kegereja atau sikap acuh tak acuh terhadap ibadat.
Apibala sesorang
sudah berkeluarga, umumnya ia akan kembali kepada agama,atau setidaknya ia
tampak menaruh cukup perhatian. Ia merasa bahwa mengajarkan dasar agama pada
anak-anaknya.[46]
a.
Dewasa
dini (usia 18-34 tahun)
Dalam konteks
hubungan orang dewasa kaum muda, bimbingan rohani merupakan dialog yang
mengundang kaum muda untuk menyadari, mengerti dan menjawab panggilan Yesus
dalam konteks pengalaman pribadi dan perkembangan dirinya. Pengalaman pribadi
dan perkembangan dirinya. Pengalaman pribadi orang muda sangat dipengaruhi oleh
masalah-masalah perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan pribadi. Bimbingan rohani
bagi kaum muda bertujuan mengembangkan adanya kesadaran akan kehadiran Tuhan
dalam aktivitas hidup sehari-hari kaum muda, yakni dalam karya bermain,dalam
studi, dalam pergaulan ataupun dalam pengalaman apa saja.[47]
Dalam
peningkatan iman orang dewasa pada usia dini perlu sekali pembelajaran yaitu
dengan cara:
a.
Pengenalan akan Allah, sangat sentral
dalam kehidupan kristen. sebagaimana diajarkan Alkitab, pengenalan akan Allah
merupakan panggilan dan tujuan hidup manusia.
b.
Pandangan mengenai kedudukan dan fungsi
Alkitab. Jadikan alkitab sebagai alat pengajaran, alkitab digunakan sebagai
‘metafora’ dalam upaya menyampaikan nilai-nilai moral, etis dan spritual.
c.
Pengenalan terhadap Yesus Kristus.
Menurut alkitab Yesus adalah ‘manusia ideal’ yang mampu membawa manusia
mencapai pemulihan keutuhan. Ia adalah sumber kedamaian batin serta kekuatan
spritual dan mental dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari.[48]
b.
Dewasa
Madya (usia 35-60 tahun)
Orang dewasa
pada umumnya melihat dirinya sebagai orang yang mandiri, mempunyai rasa
identitas individual. Orang dewasa lebih banyak memiliki pengalaman dari pada
anak-anak. Tiap orang dewasa masih perlu bertumbuh dalam kedewasaan kepribadian
dan kedewasaan imannya. Menurut Efesus 4:15, tiap orang dewasa masih perlu
‘bertumbuh didalam segala hal kearah Dia’. Kedewasaan bukanlah sesuatu yang bisa
dicapai sekaligus, melainkan sesuatu yang masih harus berkembang dalam proses
waktu panjang. Dewasa secara fisik dan usia belum berarti dewasa secara
kepribadian, moral dan kepercayaan. Begitupula kedewasaan dalam iman perlu
adanya pembekalan samapai kita semua telah mencapai kedewasaan penuh, dan
tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.[49]
Orang dewasa masih membutuhkan pendidikan dan
pembinaan dalam gereja agar mereka dapat hidup sebagai orang Kristen yang dapat
bertanggung jawab dalam dunia karjanya. Orang dewasa adalah orang yang setia
dan bertanggung jawab. Orang dewasa setia kepada janji, tujuan, prinsip, dan
imannya. Karna itu kedewasaan bukan soal umur atau ‘kurun waktu menjadi
kristen’ namun soal sikap, khususnya sikap setia (konsekwen dan konsisten)
terhadap janji,prinsip,tujuan,cita-cita dan iman.[50]
c.
Dewasa
lanjut ( usia 60 tahun keatas)
Iman orang
dewasa lanjut usia sangatlah penting untuk di tingkatkan karena dalam kehidupan
sehari-hari lansia adalah conoh teladan bagi generasi yang dibawahnya. Seperti
seorang anak mempunyai kecenderungan yang besar untuk belajardan mengikuti
setiap kebijakan orang tuanya, begitulah dari posisi lansia ditengah kehidupan
sosialnya. Ia adalah panutan dan tempat orang meminta nasihat, untuk memelihara
pertumbuhan iman bagi orang yang lenjut usia dapat diadakan penbelajaran Pak
melalui gereja.[51]
Proses
pendewasaan diri dalam kristus dapat terus maju walaupun orang semakin tua,
karna Kristus selalu bersama kita menarik kita agar semakin dekat dengannya.
Kristus senantiasa menawarkan anugrahNya agar kita semakin bertumbuh didalam
kasih terhadap Tuhan dan sesama.[52]
3.6.
PAK dan Pendidikan Nilai Orang Dewasa
Nilai
merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran,
norma-norma, dan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan dan pandangan moral
secara kritis.[53]
Nilai merupakan suatu ide
sebuah konsep mengenai sesuatu yang dianggap penting dalam kehidupan. Ketika
seseorang menilai sesuatu ia menganggap sesuatu tersebut berharga untuk
dimiliki, berharga untuk dikerjakan, atau berharga untuk dicoba maupun untuk
diperoleh. Studi tentang nilai biasanya terbagi ke dalam area estetik dan etik. Estetik berhubungan erat dengan studi dan
justifikasi terhadap sesuatu yang dianggap indah oleh manusia apa yang mereka
nikmati. Etik merupakan studi dan justifikasi dari
tingkah laku bagaimana orang berperilaku. Dasar dari studi etik adalah
pertanyaan mengenai moral yang merupakan suatu refleksi pertimbangan mengenai
sesuatu yang dianggap benar atau salah.”[54]
Pendidikan
nilai adalah pendidikan yang mempertimbankan objek dari sudut pandang moral
yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika yaitu menilai objek
dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yang menilai
benar/salahnya hubungan antar pribadi.[55]
3.6.1. Tujuan Pendidikan Nilai
Kohlberg (1977) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
nilai adalah mendorong perkembangan tingkat pertimbangan moral peserta
didik.[56]
Secara sederhana, Suparno melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan
manusia berbudi pekerti. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan nilai bertujuan
untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara
integral dalam kehidupan mereka. Sehingga peserta didik dapat mengembangkan
kemampuan untuk mengontrol tindakanya, dan memahami keputusan moral yang
diambilnya.[57]
3.6.2. Unsur Pendidikan Nilai
Pendidikan Nilai mengandung tiga unsur utama yaitu
ontologis Pendidikan Nilai, epistemologis Pendidikan Nilai dan aksiologis
Pendidikan Nilai.
a. Dasar Ontologis Pendidikan Nilai
Pertama-tama
pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan Nilai. Adapun
aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan Nilai melalui pengalaman
panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil
Pendidikan Nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya. Objek formal Pendidikan Nilai dibatasi pada manusia seutuhnya
di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia
sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual
dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem
nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat
mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar.
Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara
utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika
pendidik tidak bersikaf afektif utuh maka akan menjadi mata rantai yang hilang
(the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara
siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif
sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
b. Dasar Epistemologis Pendidikan Nilai
Dasar
epistemologis diperlukan oleh pendidikan nilai atau pakar pendidikan nilai demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan Nilai
memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan
studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada
pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena
pendidikan. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa
dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan
ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan pendidikan nilai sebagai
ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri
sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental
Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara
korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis.
c. Dasar Aksilogis Pendidikan Nilai
Kemanfaatan teori Pendidikan Nilai tidak hanya perlu
sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang
sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara
beradab. Oleh karena itu nilai pendidikan nilai tidak hanya bersifat intrinsik
sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu
digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek
melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang
positif dalam pendidikan.[58]
3.7.
PAK dan Moral Orang Dewasa
3.7.1.
Pengertian
Moral secara Umum
mengenai
ajaran-ajaran moral atau etika sebagai ilmu tentang moralitas.[59]
Moralitas memiliki arti yang pada dasarnya sama dengan “moral” hanya ada nada
lebih abstrak Dari segi etimologi kata moral berasal dari bahasa latin mores yang berasal dari suku kata “mos” yang artinya
adat atau cara hidup.[60]
Mores berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, yang kemudian
artinya berkembang menjadi sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik.
Moral adalah sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan menentukan benar salah dan
baik buruknya tinfkah laku. Moral juga memiliki hubungan dan berkaitan dengan
etika, dimana etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar. Moralitas adalah
sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.[61]
Moralitas mengacu pada arti budi pekerti, selain itu moralitas juga mengandung
arti adat istiadat, sopan santun dan perilaku.[62]
Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya
moralitas yang bernilai secara moral.[63]
3.7.2.
Pengertian
Moral menurut Tokoh
-
Durkheim
mengatakan moralitas dalam segala bentuknya tidak hidup kecuali dalam
masyarakat. Ia takkan berubah kecuali dalam hubungannya dengan kondisi=kondisi
sosial. Dengan kata lain moralitas tidak bersumber pada individu, melainkan
bersumber pada masyarakat dan merupakan gejala masyarakat.[65]
-
Dewey
menyatakan bahwa moral sebagai hal-hal
yang berhubungandengan nilai-nilai susila.
-
W.
J. S. Poerdarminta menyatakan bahwa moral merupakan ajaran
tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan.[66]
-
Baron
dkk.
menyatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan
tindakan yang membicarakan salah atau benar.
-
Magnis
Susino menyatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik
buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan
manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
-
Henri
Bergson mengatakan moralitas yang didasarkan kewajiban
natural ditentukan oleh masyarakat, berada dalam hubungan terbatas.[67]
3.7.3.
Menurut
Kekristenan
Setiap agama pasti manusia diajarkan bagaimana
menggunakan moral dalam kehidupannya. Dalam agama Kristen, moral kita di tempa
dengan berbagai firman dan hukum yang sudah di tuliskan didalam firman Tuhan.
Dengan firmannya Tuhan mengajarkan tentang bagaimana jalan hidup yang benar dan
bagaimana cara mendapatkan jalan keselamatan. Dengan bermoral dan memiliki
moral yang baik kita akan mejalankan setiap hukum Tuhan yang ada dengan penuh
rasa tanggung jawab, dan itu menjadi salah satu jalan mendapatkan
keselamatan. Oleh iman kepada Tuhan dan mengarahkan hati serta pandangan
kita kepada Tuhan kita dengan sendirinya akan membangun moral yang baik didalam
hidup kita. Akan tetapi cobaan akan selalu menghampiri setiap manusia, untuk
mencobai iman kita. Secara tidak langsung setiap cobaan yang ada selain menguji
iman kita hal tersebutpun akan mencobai pertumbuhan moral kita. Maka dengan
iman yang baik, moral yang kita miliki akan tetap terjaga dan tetap bertumbuh
terutama didalam Tuhan. Selain itu dengan iman yang baik, moral kita yang ada
tetap terjaga dari cobaan yang datang baik dari keluarga, lingkungan, dan
lain-lain seperti yang tadi sudah kita baca. Dengan iman yang ada manusia harus
belajar untuk menumbuhkan moralnya. Dalam firmannya, Tuhan selalu mengajarkan
tentang bagaimana agar kita tetap memiliki moral yang baik. Salah satunya
dengan menjalankan 10 hukum Tuhan. Dalam Kristen, moralitas diartikan
sebagai suatu upaya filosofi untuk tetap dapat memelihara keberlangsungan hidup
kemanusiaan itu sendiri atau lebih mudahnya upaya untuk manusia membenarkan
diri tanpa Kristus Yesus, Tuhan dan Juruselamat manusia yang mempesonakan itu.[68]
3.7.4.
Tahap
Perkembangan moral
Menurut Lawrence Kohlberg tahapan perkembangan moral adalah
ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran
moralnya. Tahap-tahap berkembangan moral tersebut terdiri atas 3 tahap dan
masing-masing terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu :
1.
Tingkat
Prakonvensional yaitu tahap perkembangan moral yang
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu atau
anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya, baik itu berupa sesuatu
yang menyakitkan atau kenikmatan. Pada tingkat ini terdapat dua tahap, yaitu
tahap orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi relativitas instrumental.
Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a.
Tahap Punishment and Obedience Orientation (Orientasi
kepada hukuman dan ketaatan)
Pada tahap ini, yang merupakan awal kesadaran seorang anak atau orang
dewasa yang mendasarkan perbuatan atas pertimbangan ketakutan atau hukuman
sebagai akibat tindakannya. Tahap ini menganggap bahwa konsekuensi yang
ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan
yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak
diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal
yang buruk.
b.
Tahap Instrumental-Relativist Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut
mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang
tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain
dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan.
Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang
berlangsung di pusat perbelanjaan, di mana terdapat timbal balik dan sikap
terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.
2.
Tingkat
Konvensional ialah tahap perkembangan moral yang
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan
keluarga, kelompok atau masyarakat. Pada tingkat ini terdapat juga dua tahap,
yaitu tahap orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut “orientasi anak
manis” serta tahap orientasi hukum atau ketertiban. Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a)
Tahap Interpersonal Concordance atau
Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan
yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang
lain. Anak biasanya akan menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan
bermoral. Moralitas suatu tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam
tindakan tersebut. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan
orang lain.
b)
Tahap Law and Order Orientation (Orientasi hukum dan
tata tertib umum)
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan
aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral
dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan
terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai
satu-satunya tertib sosial yang ada.
3.
Tingkat
Pascakonvensional adalah tahap dimana orang dewasa
meyakini bahwa semua yang baik dan tidak ditentukan oleh keputusan suara batin,
sesuai dengan prinsip etis yang dipilih sendiri yang meluas dan universal.[69]
Pada tahap ini juga perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan
moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang
memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, hal ini terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip tersebut dan terlepas pula
dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Pada tingkatan ini terdapat
dua tahap, yaitu tahap orientasi kontrak sosial legalitas dan tahap orientasi
prinsip etika universal. Pada tingkat ketiga ini, di
dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu:
a. Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation (Orientasi kontrak sosial yang legalistik)
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap
ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu
merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji
secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada
pada tahap ini menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu,
tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat.
Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu
hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada
tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut
lebih baik bagi masyarakat.
b. Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
(Orientasi asas etis yang universal)
Pada tahap
ini apa yang dianngap baik atau benar adalah apa yang hati nurani orang
menetapkan sesuai dengan azas keadilan yang universal, yang menghormati sesama,
harkat dan martabatnya. Pada tahap yang
tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau
aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi
oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip
tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup
prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya. Ini
merupakan puncak dari perkembangan moral.
3.7.5.
Peran
PAK dalam Membentuk Moralitas Orang Dewasa
Pendidikan
Agama Kristen terhadap orang dewasa untuk membantu hidup sebagaimana Kristus
menghendaki. Pendidikan Agama Kristen harus mampu mendorong agar iman bukan
hanya sebatas pemaham doktrin tentang Tuhan dan perbuatannya, tetapi nyata
dalam praktek kehidupan sehari-hari. PAK juga berperan aktif dalam merubah
moral agar lebih baik.
IV.
Ibadah
kebaktian Fellowship prayer (Doa Persaudaraan)
4.1.
Sejarah Fellowship prayer
The
Fellowship , juga dikenal sebagai The Family , dan International Foundation adalah organisasi keagamaan dan politik
berbasis di AS yang didirikan pada tahun 1935 oleh Abraham Vereide . Tujuan
lain dari Fellowship adalah untuk menyediakan sebuah forum persekutuan bagi
para pengambil keputusan untuk berbagi dalam pelajaran Alkitab, pertemuan doa ,
pengalaman pemujaan, dan untuk mendapatkan penegasan dan dukungan spiritual.
Fellowship
telah digambarkan sebagai salah satu kementerian yang paling berhubungan dengan
politik di Amerika Serikat. Fellowship menghindari publisitas dan anggotanya
berbagi sumpah kerahasiaan. Pemimpin Fellowship Doug Coe dan lainnya telah
menjelaskan keinginan organisasi untuk kerahasiaan dengan mengutip peringatan
alkitabiah terhadap pajangan umum tentang karya-karya bagus, dengan mengatakan
bahwa mereka tidak akan dapat mengatasi misi diplomatik yang sensitif jika
mereka menarik perhatian publik.
Fellowship
mengadakan satu acara publik reguler setiap tahun, Sarapan Doa Nasional
diadakan di Washington, DC Setiap presiden Amerika Serikat yang hadir sejak
Dwight D. Eisenhower telah berpartisipasi dalam setidaknya satu Sarapan Doa
Nasional selama masa jabatannya. Peserta yang dikenal Fellowship termasuk
mendata pejabat pemerintah Amerika Serikat, eksekutif perusahaan, kepala
organisasi bantuan agama dan kemanusiaan, dan duta besar dan politisi
berpangkat tinggi dari seluruh dunia. Banyak Senator dan Kongres Amerika
Serikat telah secara terbuka mengakui bekerja dengan Fellowship atau
didokumentasikan karena telah bekerja sama untuk menyampaikan atau mempengaruhi
undang-undang.
Di
majalah Newsweek , Lisa Miller menulis bahwa alih-alih menyebut diri mereka
"orang Kristen", sebagaimana mereka menggambarkan diri mereka
sendiri, mereka dipersatukan oleh kasih bersama untuk ajaran Yesus dan bahwa
semua pendekatan terhadap "mengasihi Yesus" dapat diterima. Investigative
reporter Jeff Sharlet menulis sebuah buku, The Family: The Secret
Fundamentalism at the Heart of American Power , dan juga sebuah artikel di
majalah Harper , yang menggambarkan pengalamannya saat bertugas sebagai magang
di Fellowship . Dia berpendapat bahwa Fellowship memikat kekuatan dengan
membandingkan Yesus dengan " Lenin , Ho Chi Minh , Bin Laden "
sebagai contoh para pemimpin yang mengubah dunia melalui kekuatan perjanjian
yang telah mereka tempuh dengan "saudara laki-laki" mereka.
Tujuan
dari Fellowhip prayer adalah karena Manusia sangat menginginkan persekutuan.
Sebagian besar dari kita menginginkan sebuah kesempatan untuk membuat perasaan
kita diketahui, untuk menghubungkan pengalaman pribadi kita, untuk
membandingkan catatan dengan orang lain, dan, dalam kesatuan semangat untuk
menerima pembaharuan, inspirasi, bimbingan, dan kekuatan dari Tuhan. Kelompok
seperti yang kita pikirkan telah mencirikan setiap kebangkitan spiritual. Yesus
memulai dengan Petrus dan Yakobus dan Yohanes. Dia memiliki dua belas dan Tujuh
Puluh. Di Betania dia mendirikan sebuah sel ... di situlah Anda memiliki rumus
... iman mewujudkan persekutuan informal yang sama erat ... satu latihan umum -
berkumpul bersama dalam nama Yesus.
Dalam
kebaktian fellowship prayer (Doa Persaudaraan) saat ini, ibadah ini dilakakukan
dengan sangat komplek dan biasanya dilakukan dirumah jemaat dengan tujuan untuk
meningkatkan rasa solidaritas atau kebersamaan jemaat, serta untuk mendoakan
pergumulan daripada tuan rumah serta pergumulan-pergumulan dari pada jemaat
yang akan dibawakan pada doa syaat.
V.
Pengajaran
Orang Dewasa
I.
HOOK
1.1.
Attention : Umum
1.2.
Durasi : 40 Menit
1.3.Tema : “Memperkenalkan Allah yang benar”
1.4.
Teks/Bahan Pengajaran : Kisah Para
Rasul 17:22-31
1.5.
Tujuan
1. Agar
Jemaat dapat menjelaskan Allah yang benar menurut ajaran Paulus
2. Agar
Jemaat dapat mengerti sejauhmana usaha penginjil dalam menyebarkan injil
3. Agar
Jemaat dapat melakonkan bagaimana semangat penginjilan yang dilakukan Paulus
4. Agar
Jemaat dapat menceritakan tujuan keadiran Paulus ke Areopagus
1.6.
Penjelasan Teks dan Tema
Ø Latar belakang Paulus
Paulus dari Tarsus (awalnya bernama Saulus dari Tarsus)
atau Rasul Paulus, (3 – 67 M) diakui sebagai tokoh
penting dalam penyebaran dan perumusan ajaran kekristenan yang
bersumberkan dari pengajaran Yesus Kristus. Paulus
memperkenalkan diri melalui kumpulan surat-suratnya dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen sebagai
seorang Yahudi dari suku Benyamin, yang
berkebudayaan Yunani (helenis) dan warga
negara Romawi. Ia lahir di kota Tarsus tanah Kilikia (sekarang
di Turki),
dibesarkan di Yerusalem dan
dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel. Pada
masa mudanya, ia hidup sebagai seorang Farisi menurut
mazhab yang paling keras dalam agama Yahudi.[5] Mulanya
ia seorang penganiaya orang Kristen (saat itu bernama Saulus), dan sesudah
pengalamannya berjumpa Yesus di jalan menuju kota Damaskus, ia berubah
menjadi seorang pengikut Yesus Kristus.
Paulus menyebut dirinya sebagai "rasul bagi bangsa-bangsa
non-Yahudi" (Roma 11:13). Dia
membuat usaha yang luar biasa melalui surat-suratnya kepada komunitas
non-Yahudi untuk menunjukkan bahwa keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus adalah
untuk semua orang, bukan hanya orang Yahudi. Gagasan Paulus ini menimbulkan perselisihan
pendapat antara murid-murid Yesus dari keturunan Yahudi asli dengan mereka yang
berlatar belakang bukan Yahudi. Mereka yang dari keturunan Yahudi berpendapat
bahwa untuk menjadi pengikut Yesus, orang-orang yang bukan Yahudi haruslah
pertama-tama menjadi Yahudi terlebih dulu. Murid-murid yang mula-mula, Petrus, sempat
tidak berpendirian menghadapi hal ini (lihat Galatia 2:11-14). Untuk
menyelesaikan konflik ini, diadakanlah persidangan di Yerusalem yang
dipimpin oleh Petrus dan Yakobus, saudara Yesus, yang
disebut sebagai Sidang Sinode atau Konsili Gereja
yang pertama (Konsili Yerusalem).
Konsili ini
menghasilkan beberapa keputusan penting, misalnya:
1.
untuk menikmati karya penyelamatan Yesus, orang tidak
harus menjadi Yahudi terlebih dahulu
2.
orang-orang Kristen yang bukan berasal dari latar
belakang Yahudi tidak diwajibkan mengikuti tradisi dan pantangan Yahudi
(misalnya perihal tentang sunat dan memakan makanan yang diharamkan).
Paulus dijadikan
seorang Santo (orang
suci) oleh seluruh gereja yang menghargai santo, termasuk Katolik Roma, Ortodoks Timur, dan Anglikan, dan
beberapa denominasi Lutheran. Dia
berbuat banyak untuk kemajuan Kristen di antara para orang-orang bukan Yahudi,
dan dianggap sebagai salah satu sumber utama dari doktrin awal Gereja, dan
merupakan pendiri kekristenan bercorak Paulin/bercorak Paulus. Surat-suratnya
menjadi bagian penting Perjanjian Baru. Banyak
yang berpendapat bahwa Paulus memainkan peranan penting dalam menjadikan agama
Kristen sebagai agama yang berdiri sendiri, dan bukan sebagai sekte dari Yudaisme.
Ø Latar belakang cerita
Areopagos, Areopagus atau Areios Pagos (bahasa Yunani: Άρειος Πάγος, "bukit Ares") merupakan sebuat tempat di
barat laut Akropolis yang pada masa kuno digunakan
sebagai tempat untuk mengadili perkara kejahatan. Di Athena. Dewa Ares (dewa perang) pernah diadili
di sini oleh para dewa atas
pembunuhan yang dilakukannya terhadap Alirrothios, anak Poseidon.
Dalam Eumenides karya Aeskhilus (tahun
458 SM), Areopagos adalah tempat pengadilan Orestes atas
pembunuhan terhadap ibunya, (Klitemnestra), dan
kekasih ibunya, (Aegisthus). Seorang
bernama Dionisius, disebut sebagai seorang anggota majelis Areopagus.
Istilah "Areopagus" juga dapat merujuk pada sebuah badan
yudisial, yaitu majelis yang menangani bidang pendidikan, moral, dan keagamaan
di dalam komunitas, dari kalangan aristokrat yang pada nantinya akan menjadi
majelis tinggi di Yunani modern.
Pada abad ke-6 SM seorang pujangga asal pulau Kreta bernama Epimenides
berhasil menghentikan suatu tulah hebat yang menimpa kota Atena dengan meminta
tolong kepada suatu "allah yang tidak dikenal" oleh orang-orang
Atena. Karena itulah ada altar dibangung untuk "Allah yang tidak
dikenal". Paulus pasti tahu mengenai Epimenides, karena ia mengutip salah
satu sajaknya dalam suratnya kepada Titus:
Sehingga itulah yang menjadi alasan untuk kedatangannya ke
Areopagus. Paulus melihat bahwa jemaat disana perlu diberi pemahaman bagaimana
Allah yang sebenarnya, yang tidak seperti apa yang mereka pikirkan
Ø Penjelasan teks dengan menggunakan
tafsiran Retorika
1. Unit Retorika
Dalam
pendekatan retorik, penting untuk membatasi bagian atau unit retorika. Salah
satu pidato retorika dalam kitab Kisah Para Rasul adalah pidato rasul Paulus di
Areopagus (17:22b-31). Akan tetapi pidato ini tidak dapat berdiri sendiri jika
tidak memperhatikan konteks teksnya secara keseluruhan. Konteks teks yang lebih
luas dari bagian ini tentu saja kitab Kisah Para Rasul secara keseluruhan dari
pasal 1 sampai pasal 28. Kemudian dibatasi lagi dengan menekankan perhatian
pada bagian kedua dari kitab Kisah Para Rasul yang mengarahkan ceritanya pada
pemberitaan Injil oleh Paulus dan teman-temannya kepada orang-orang bukan
Yahudi.
Mencermati
pidato retorik dengan lebih cermat, maka didapati bahwa pidato Paulus di
Areopagus itu terjadi di Atena. Informasi itu dapat ditemukan dalam 17:16a,
“…sementara Paulus menantikan mereka di Atena…” yang merupakan kelanjutan dari
bagian sebelumnya (17:15, “…orang-orang yang mengiringi Paulus menemaninya
sampai di Atena, lalu kembali dengan pesan kepada Silas dan Timotius, supaya
mereka selekas mungkin datang kepadanya…”). Dengan demikian, batas awal untuk
menentukan unit retorika pidato ini adalah 17:16.
Kemudian
dalam 18:1 dikatakan, “kemudian Paulus meninggalkan Atena, lalu pergi ke
Korintus...” Keterangan ini membuktikan bahwa Paulus telah berpindah tempat
untuk memberitakan Injil dari Atena ke Korintus. Dengan demikian bagian
sebelumnya (17:34) merupakan akhir dari kisah tentang pemberitaan Injil oleh
Paulus di Atena. Jadi, batas akhir untuk menentukan unit retorika adalah 17:34.
2. Situasi
Yang
dimaksud dengan situasi disini adalah mengidentifikasi orang-orang yang turut
terlibat dan berpengaruh sehingga pidato itu terjadi, juga peristiwa-peristiwa
yang terjadi yang mendahului pidato retorika itu. Kisah Para Rasul 17:16-21
dapat menunjukan situasi yang melatar belakangi terjadinya pidato Paulus di
Areopagus. Ketika itu, Paulus sedang menantikan kedatangan Silas dan Timotius
yang masih berada di Berea (17:14-15). Sebelumnya ketiga orang ini mengabarkan
Injil di Berea, tetapi terjadi masalah dengan orang Yahudi dari Tesalonika yang
tidak suka dengan pemberitaan Injil oleh Paulus. Akibatnya, Paulus pergi ke
Atena, sedangkan Silas dan Timotius masih di Berea.
Sementara
menantikan Silas dan Timotius di Atena, Paulus merasa sedih karena ia melihat
bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala (kateidoolon, 17:16) yang
disembah oleh penduduk Atena. Setelah mendapat pemandangan seperti itu, Paulus
bertukar pikiran bukan hanya dengan orang Yahudi (tentunya di sinagoga), tapi
juga dengan siapa saja di pasar (agora), tempat yang bukan hanya untuk
berdagang, tapi juga untuk kehidupan umum dan tempat mengulas persoalan
filsafat dan agama (17:17).
Pemberitaan
Injil oleh Paulus mendapat (salah) tanggapan dari beberapa filsuf-filsuf
Epikuros dan Stoa, sebab mereka menganggap bahwa Paulus memberitakan sesuatu
ajaran yang asing di telinga mereka. Ajaran yang asing itu adalah pemberitaan
Paulus tentang Yesus dan kebangkitan-Nya (anastasis). Ada yang menganggapnya
sebagai pembual atau peleter yang memberitakan ajaran kebangkitan yang tidak
masuk akal – karena para pendengarnya, terlebih kaum Epikuros, tidak mengakui
adanya kebangkitan sesudah kematian. Yang lain salah sangka, karena menganggap
Paulus menyebarkan adanya dewa-dewa baru yang asing bagi mereka. Yang pertama
adalah dewa Yesus dan yang kedua adalah dewi Anastasis (17:18). Oleh karena rasa
penasaran tentang ajaran baru itu, maka mereka mengundang Paulus untuk
menjelaskan lebih dalam lagi apa yang sedang diberitakannya itu di Areopagus,
yaitu suatu tempat berkumpul para anggota dewan sipil yang membahas masalah
filsafat dan agama. Mereka membawanya bukan untuk mengadilinya, tetapi karena
ingin tahu tentang ajaran Paulus (17:19-21).
3. Eksposisi
Paulus
mendekati masyarakat beragama di Atena. Ia memulai pidatonya (exordium) dengan
mengambil hati para pendengar: “Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam
segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.” (17:22). Ada catatan
penerjemahan dalam bagian ini, yaitu istilah deisidamonterous harusnya
diterjemahkan dengan “sangat beragama” tanpa tambahan “kepada dewa-dewa.”
Bentuk plural kata itu menunjukkan pluralitasnya masyarakat yang beragama,
bukan pluralitasnya sesembahan (Yang Ilahi). Ini menunjukkan bahwa Paulus
sangat menghargai ibadah orang Atena. Walaupun memang sebelumnya Paulus
bersedih karena masyarakat beragama di Atena merealisasikan cara beragama itu
melalui patung-patung (17:16).
Paulus
kemudian menceritakan (narratio) bahwa ia melihat objek-objek ibadah di
tempat-tempat pemujaan/ibadah mereka (sebasmata; 17:23a). Di sana juga ia
menemukan sebuah mezbah dengan tulisan: “Kepada Allah yang tidak dikenal.”
Bentuk tunggal menunjukkan adanya monoteisme di Atena. Selanjutnya Paulus
mengemukakan (propositio) bahwa Allah yang tidak mereka kenal, itulah yang
diberitakan olehnya agar supaya mereka mengenal Allah itu (17:23b).
Bagian
selanjutnya, Paulus menguji dan membuktikan (probatio) apa yang menjadi
propositio tadi. Ia menunjukkan: pertama, Allah, yang adalah Sang Pencipta alam
semesta, juga Tuhan langit dan bumi tidak tinggal dalam kuil/tempat ibadah yang
dibuat oleh tangan manusia (17:24), Dia yang adalah Pemberi dan Pemelihara
hidup tentu tidak perlu dihidupkan dan dilayani dengan korban persembahan atau
sesajen dari manusia (17:25). Kedua, bahwa Allah membuat seluruh umat manusia
dari satu orang saja, yang kemudian menentukan ruang dan waktu bagi mereka,
dengan tujuan agar kiranya manusia mencari dan menemukan Dia (17:26-27b).
Ketiga, Paulus memakai dukungan dari dua filsuf Yunani yang memiliki pandangan
tentang Yang Ilahi, yaitu Epimenides (VI sM), yang memahami bahwa Allah sangat
dekat dengan manusia, karena ia menyadari bahwa manusia hidup, bergerak dan ada
di dalam Allah (17:27b-28); filsuf berikutnya, yaitu Aratos – yang menulis buku
Phainomena dan merupakan sesepuh kaum Stoa – yang meyakini bahwa manusia
berasal dari keturunan Allah (17:29). Karena berasal dari keturunan Allah, maka
manusia tidak boleh membuat patung-patung Allah (17:30).
Pidato
Paulus kemudian ditutup dengan peroratio. Dengan melihat bahwa patung-patung,
Paulus mengatakan bahwa mereka sementara berada dalam zaman ketidaktahuan – di
sini sengaja digunakan kata ketidaktahuan ketimbang kebodohan mengingat
kesopanan bahasa retorika – tentang Allah. Akan tetapi hal itu tidak lagi
menjadi persoalan, karena Allah sedang menyerukan sekaligus memerintahkan agar
mereka bertobat dengan mengubah hidupnya selama ini (17:30). Alasan penyampaian
berita pertobatan itu adalah karena hari pertanggungjawaban/pengadilan telah
ditentukan oleh Allah Yang Esa, yaitu pengadilan yang oleh seorang yang telah
ditentukan dengan membangkitkan-Nya (17:31).
Semua
yang disampaikan oleh Paulus hingga ayat 30 pada dasarnya memiliki kesetaraan
dengan pandangan pemikir Yunani dan juga pandangan kaum Yahudi dan pandangan
Kristen. Arti hal ini adalah Paulus hendak memberikan suatu dasar bersama agar
supaya semua orang dapat memahami apa yang sedang dibicarakan, walaupun berbeda
agama.
Walaupun
demikian, dalam ayat 31 terjadi pergeseran argumen Paulus yang mengetengahkan
pandangan Kristen tentang pengadilan oleh seorang yang ditentukan oleh Allah –
di sini Paulus tidak menyebut nama Yesus. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa
kebangkitan (anastasis), yang tadinya menjadi alasan untuk bekumpul di
Areopagus, tidak lagi menjadi persoalan utama, tetapi bergeser pada pengadilan
sebagai pertanggungjawaban sikap manusia di dunia.
4. Tanggapan Pendengar
Terhadap Paulus
Tanggapan
terhadap pidato Paulus itu beragam: ada yang mengejek karena dianggap tidak
bahwa pemberitaan Paulus dianggap tidak sesuai dengan pandangan mereka yang
tidak mengakui adanya kebangkitan sesudah kematian (17:32a), ada yang berminat
dengan menghendaki pembicaraan lebih lanjut di lain kesempatan (17:32b),
walaupun hal ini tidak disinggung lebih lanjut. Ada juga yang menerima
pemberitaan itu, seperti Dionisius (seorang filsuf dan cendekiawan anggota
majelis Areopagus), seorang perempuan bernama Damaris, dan beberapa orang yang
lain.
4.1. Paulus Sebagai Kerangka
Kontekstualisasi Injil Dalam Konteks Pluralisme Agama
Perjumpaan
berita Injil dengan dunia filsafat, budaya dan agama Yunani di Atena ini menunjukkan
bahwa Injil, yang dibawa oleh Paulus, dapat menarik minat setiap orang asal
menggunakan pendekatan yang sesuai dengan konteksnya. Lukas, melalui Paulus,
dengan jenius mengupayakan kontekstualisasi Injil dalam konteks agama, budaya
dan filsafat Yunani. Dengan mengambil konteks Atena, maka alam pikiran Yunani
Romawi dapat terwakilkan.
Sehubungan
dengan kerangka berteologi gereja dalam konteks pluralisme agama, belajar dari
retorika Paulus di Atena, maka beberapa hal yang dapat dicantumkan adalah:
1.
Pemberitaan Injil hendaknya dimulai dengan dialog iman yang menggunakan dasar
bersama. Apabila orang Kristen memberitakan Injil dengan langsung menyebut
istlah-istilah seperti Trinitas, Pengakuan Iman Rasuli dan sebagainya, tentu
akan menimbulkan ketegangan dan mungkin konflik. Hal-hal yang diakui secara
bersama, seperti Allah yang Esa, Yang menciptakan dan memelihara alam semesta,
Yang memberi hidup kepada manusia, Yang menyediakan tempat dan musim bagi
manusia, kiranya lebih sesuai dengan iman semua agama. Dialog yang dimulai
dengan pengakuan bersama ini lebih menjanjikan dalam mencari titik temu
agama-agama di manapun.
2.
Berbagai tanggapan atas pemberitaan Injil oleh Paulus di Atena menunjukkan
bahwa percaya kepada Yesus bukanlah satu-satunya hasil dari dialog iman. Dalam
konteks pluralitas agama yang mengarah pada hidup bersama (ekumene), maka
perhatian satu dengan yang lain dan minat untuk mempelajari agama lain
diperlukan, agar kiranya terjadi transformasi pemahaman yang mengarah pada
perubahan sikap hidup dan lebih menekankan pada kesejahteraan bersama. Bukankah
salah satu aspek Injil adalah kesejahteraan secara bersama? Jika ini terjadi,
maka pemeluk agama yang satu tidak perlu berpindah agama.
3.
Pandangan bahwa Allah tidak diam dalam kuil-kuil buatan manusia, kiranya
menyadarkan setiap agama bahwa Allah tidak dapat dikurung dalam ajaran-ajaran
masing-masing yang mengklaim kebenarannya. Allah yang sama, yang disembah oleh
semua agama, merupakan Dia yang memberikan penyataan (wahyu) kepada semua agama,
dan dengan demikian Ia ada dalam setiap agama. Wahyu Allah yang sama itu,
kemudian menjadi berbeda-beda berdasarkan tafsiran masing-masing agama.
Perbedaan itu tidak dapat dipertentangkan. Karena itu, setiap agama hendaknya
tidak tertutup, tetapi terbuka satu dengan yang lain dalam membagi kebenaran
wahyu Allah. Dengan demikian, maka akan tercipta sikap saling mengakui
kebenaran-kebenaran yang ada pada masing-masing agama
II.
BOOK
a.
Buku
Ø Alkitab
Ø Tafsiran
Alkitab Masa Kini 2
Ø Pembimbing
kedalam Perjanjian Baru (M.E. Duyverman,
Jakarta:BPK-GM,2009)
Ø Tafsiran
Retorika
Ø Pengantar
PB (Willi Marxen,Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2012)
Ø Survei
Perjanjian Baru (Merill C. Tenney,
Malang:
Gandum Mas,1997)
Ø Ajarlah
mereka (G. Riemer, OMF, 1998)
b. Metode, Media, Cara Pengajaran
serta Tujuannya.
Metode
|
Media
|
Cara Pengajaran
|
Tujuan Pengajaran
|
Lecture
|
-
|
Menjelaskan
pengajaran dengan berceramah
|
Agar Pemuda-pemudi dapat
lebih memahami bagaimana cara memperkenalkan Allah
dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh Paulus melalui ceramah yang diberikan
|
Story
Telling (Bercerita)
|
-
|
Bercerita adalah
menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu kejadian yang
terjadi dalam teks/ tema. Seperti halnya menceritakan historis dari tujuan
Paulus datang ke Areopagos
|
Agar
Pemuda-pemudi bisa lebih mengerti alur cerita/ bagaimana Paulus hadir dan
tujuan kehadirannya di Areopagos, serta cara Paulus dalam pengabaran injil.
|
III.
LOOK
3.1.Kegiatan
pengajaran
Disesuaikan
dengan Almanak GKPI (Acara Kebaktian Sektor)
1. Ende
No. 133:1-2
2. Votum/Introitus
3. Ende
No. 162:1+8
4. Epistel: Psalm/Mazmur 68:20-22,
32-36
5. Ende
No. 251:1+4
6. Jamita/Kotbah: Ul. Apostel/Kisah
Para rasul 17:22-31
7. Ende
No. 187:4
8. Tangiang
Pangondianon/Doa Syafaat
9. Ende
No. 417:3
10. Ayat
Pelean/Ayat persembahan: Mazmur/Psalm 30:5
11. Tangiang
pelean/Doa Persembahan
12. Ende
No. 292:5
13. Tangiang
Panutup/Doa Penutup: Ale Amanami/ Bapa kami...
14. Pasupasu/Berkat
15. Ende
No.221:6
IV.
TOOK
Dari
pengajaran yang telah diberikan kepada Jemaat, mereka diharapkan dapat memahami
bagaimana usaha dan tujuan Paulus dalam memperkenalkan Allah yang benar serta
metode penginjilan apa yang digunakannya, sehingga Jemaat dapat melakonkan
karakter yang memiiki semngat dalam menginjili dari seorang Paulus, mampu
membedakan berhal-berhala dalam kehidupan dan juga setelah memahami pengajaran
yang diberikan, Jemaat dapat mengetahui bagaimana itu Allah yang benar menurut
nat Kisah Para Rasul dan dapat menjelaskannya kembali kepada sesamanya serta
dapat mengaplikasikan pesan dari pengajaran dalam kehidupannya.
Motto : “Pikiranku tidak akan mengalahkan imanku
dalam mengenal Allah”
V.
Daftar
Pustaka
Sumber Buku:
A.
Supratiknya, Teori Perkembangan Kepercayaan,
Yogyakarta: Kanisius, 1995
Amril
M., Etika dan Pendidikan, Pekanbaru:
LSFK2P, 2005
Andar
Ismail, Mulai dari Musa dan Segala Nabi,
Jakarta: BPK-GM, 2003
Andi
Marpiare, Psikologi Orang Dewasa,
Surabaya: Usaha Nasional, 1983
B.
Samuel Sijabat, Strategi Pendidikan
Kristen, Yogyakarta: ANDI, 1996
Bertens,
Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2002
Charles
M. Shelton SJ, menuju Kedewasaan Kristen,
Yogyakarta: Penerbit Knisius,1988
Daniel
Nuhamara, PAK Dewasa, Bandung:
penerbit Jurnal Info Media,2008
Desmita,
Psikologi Perkembangan, Bandung:
Rodas Karya, 2015
Duyverman, M.E., Pembimbingke dalam Perjanjian Baru, Jakarta:BPK
GM,2009
E.G.
Homrighausen & Enklaar, Pendidikan
Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012
Earl
Zeigler, Christian Education of Adults,
Philadelphia: The Westminster Press
Elia
Tambunan, Pendidikan Agama Kristen: Handbook Untuk Perguruan Tinggi,
Yogyakarta: IllumiNation, 2013
Elin
Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama
Kristen, Cipanas: STT Cipanas, 1999
Elisabeth
B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Jakarta:
Erlangga, 1980
Elizabeth
H. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, Jakarta: Erlangga, 1990
G.
Riemer, Ajarlah Mereka, Jakarata:
OMF, 1998
H.
Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Jakarta:
Rineka Cipta, 2009
H.
Suprianto, Pendidikan Orang Dewasa dari
Teori Hingga Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2002
Herimanto,
Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,
Jakarta: Bumi Aksara, 2011
James
W. Fowler, Tahap-tahap Perkembangan
Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius
Janse
Belandino, Suluh Siswa I, Jakarta:
BPK-GM, 2005
Jonse
Belandia Non-Serrano, Pedoman untuk Guru
PAK SD-SMA Dalam melaksanakan Kurikulum Baru, Bandung: Bina Media
Informasi, 2006
M.
Sobry Sutikno, Belajar dan Pembelajaran,
Lombok: Holistica, 2013
Marxsen, Willi, Pengantar Perjanjian Baru,
Jakarta:BPK
GM, 2012
Mulyana,
R., Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung:
Alfabeta, 2004.
Nawawi, Ahmad, Pentingnya Pendidikan Nilai Moral Bagi
Generasi Penerus(jurnal), Bandung: UPI, 2010
RitaL.atkinson,
dkk, Pengantar Psikologi Edisi kesebelas,
Batam: Interaksara
Rudi
Susilana dan Cepi Riyana, Media
Pembelajaran, Bandung: CV Wacana Prima, 2009
Sarlito
W. Sarwono, Psikologi Remaja,
Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Shahizan
Hasan, dkk, Komunikasi Kaunseuling, Bukit Tinggi: PTS Professional, 2005
Sofyan
Sauri dan Herian Firmansyah, Meretas
Pendidikan Nilai, Bandung: Armico,2010
Suprijanto,
H, Pendidikan orang dewasa;
dari teori hingga aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Tenney, Merill C., Survei Perjanjian Baru, Malang:Gandum Mas,1997
W.A.
Geregungan, Psikologi Sosial, Bandung:
Retika Aditama, 204
W.J.S.
Poerdarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1984
Wasty
Soemanto, Psikologi Pendidikan,
Jakarta: Rineka Cipta, 2006
[1] Elizabeth
B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta:
Erlangga, 2009), 246
[2] ...., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), 289
[3] Andi
Marpaire, Psikologi Orang Dewasa, (Surabaya:
Usaha Nasioanl, 2003), 17
[4]
Elisabeth B.Hurlock, Psikologi
Perkembangan, (Jakarta: Erlangga , 1980), 246
[5]
H. Suprianto, Pendidikan Orang Dewasa dari
Teori Hingga Aplikasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 11
[6]
Daniel Numahara, PAK Dewasa, Anggota
IKAPIJabar, 2008, 56
[7]B.
Samuel Sijabat, Strategi Pendidikan
Kristen, (Yogyakarta: ANDI, 1996), 151-152
[8]
W.J.S. Poerdarmita, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 520
[9]Elizabeth
H. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1990),13
[10]
H.Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2009), 1
[11]
W.A.Geregungan, Psikologi Sosial, (Bandung:
Retika Aditama, 2004), 6
[12]
Rita L.Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi
Edisi kesebelas, Batam: Interaksara), 15
[13]
Elisabeth B.Hurlock, Psikologi
Perkembangan, (Jakarta: Erlangga , 1980),2
[14]
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 57
[15]
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung:
Rodas Karya, 2015), 234
[16]
Janse Belandino, Suluh Siswa I,
(Jakarta: BPK-GM, 2005), 4
[17]
Elisabeth B.Hurlock, Psikologi
Perkembangan, (Jakarta: Erlangga , 1980),246
[18]
Elin Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama
Kristen, (Cipanas: STT Cipanas, 1999),136
[19]
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung:
Rodas Karya, 2015), 237
[20] www.definisi-pengertian.com/2015/10/definisi-pengertian-media-pembelajaran-ahli.html?m=1, diakses 31 Oktober 2016, pukul 17.50
WIB.
[21] Rudi
Susilana dan Cepi Riyana, Media
Pembelajaran, (Bandung: CV Wacana Prima, 2009), 7.
[22] M.
Sobry Sutikno, Belajar dan Pembelajaran,
(Lombok: Holistica, 2013), 83.
[23] http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html diakses
pada tanggal 16
April 2017 pukul 20:10
[24] Robert R.
Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan
Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai IG. Loyola, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1994), 106.
[25] Thomas H.
Groome, Christian Religious
Education-Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010), 32.
[26] E. G.
Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan
Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013), 20.
[27] Junihot
Simanjuntak, Filsafat Pendidikan dan
Pendidikan Kristen, (Yogyakarta: Andi, 2013), 115.
[30] E. G.
Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan
Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013), 5-52
[39]
James W. Fowler, Tahap-tahap Perkembangan
Kepercayaan, (Yogyakarta:Kanisius, 55281), 70
[40]
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja,
(Jakarta:Rajawali Pers, 2010), 111-113
[41]
James W. Fowler, Tahap-tahap Perkembangan
Kepercayaan, (Yogyakarta:Kanisius,55281),96
[42]
A. Supratiknya, Teori Perkembangan
Kepercayaan, (Yogyakarta:Kanisius, 1995), 39
[43]
James W. Fowler, Tahap-tahap Perkembangan
Kepercayaan, 96
[44]
A. Supratiknya, Teori Perkembangan
Kepercayaan, 39
[45]
A. Supratiknya, Teori Perkembangan
Kepercayaan, 39
[46] A. Supratiknya, Teori Perkembangan Kepercayaan, 23
[47]
Charles M. Shelton SJ,menuju Kedewasaan
Kristen,(Yogyakarta:Penerbi Knisius,1988) 42-43
[48]
B.Samuel Sidjabat,Strategi Pendidikan
Kristen,35-36
[49]
Andar Ismail,Mulai dari Musa dan Segala
Nabi,(Jakarta:BPK-GM,2003),113
[50]
Daniel Nuhamara,PAK Dewasa,(Bandung:
penerbit Jurnal Info Media,2008) 9
[51]
Andar Ismail,Mulai dari Musa dan Segala
Nabi,(Jakarta:BPK-GM,2003),217
[52] B.Samuel Sidjabat,Strategi Pendidikan Kristen,45
[53] Amril M., Etika
dan Pendidikan, (Pekanbaru: LSFK2P, 2005), 5.
[54] Nawawi, Ahmad. (2010). Pentingnya
Pendidikan Nilai Moral Bagi Generasi Penerus(jurnal). Bandung: UPI, 4.
[55]
Elmubarock Z., Membumikan Pendidikan
Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2008), 28.
[56] Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter, (Jakarta;PT
Raja Grafindo Perssada, 2013), 128.
[57] Darmiyanti Zuchdi, Humanisasi Pendidikan ;Menemukan
Kembali Pendidikan yang Manusiawi, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2009), 6.
[58] http://penonme.blogspot.com/2015/04/makalah-pendidikan-nilai.html, diakses 18 April 2017 pukul 20.30 WIB
[59]
..., Kamus Psikologi, (Chaplin,
2006), 25.
[60] Surajiyo,
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 174.
[61] Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002), 7.
[62] Nurul
Zuriah, Pendidikan Moral & Budi
Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 17.
[63] Asri
Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak
pada Karakteristik Siswa dan Budayanya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 24.
[64]
Mohammad Ali dan Mohhamad Asrori, Psikologi
Remaja, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 56.
[65]
Djuretna A., Moral & Religi,
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 36.
[66] Hmaid
Darmadi, Dasar Konsep Pendidikan Moral, (Bandung:
Alfabeta, 2009), 51.
[67]
Djuretna A., Moral & Religi, 86.
[69]
Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap
Perkembangan Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 233.
Terima kasih sudah berbagi..
BalasHapusTuhan memberkati.