BUKU pengajaran PAK untuk orang dewasa-beserta kotbah

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
ASLI
 











                                                                       
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA
GKPI JEMAAT TANI ASLI
DARI
STT ABDI SABDA MEDAN
T.A 2016/2017

PENULIS                                                                       DOSEN PENGAMPU


(Jepri Emerson Leonardo Tamba)                                                ( Dr. Setia Ulina Tarigan)


I.                   Pendahuluan
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya saya diberi kekuatan, kemampuan dan kesabaran untuk mengerjakan tugas Pendidikan Agama Kristen ini yang di tugaskan oleh ibu Dr. Setia Ulina Tarigan demi untuk meningkatkan,menumbuh kembangkan pengetahuan iman Jemaat Tuhan. Semoga buku dan pengajaran yang saya berikan dapat berguna bagi jemaat GKPI Tani Asli serta menjadi bukti bahwa saya telah memberikan pengajaran PAK bagi jemaat tersebut.
Pendidikan Agama Kristen merupakan pendidikan yang mengajarkan setiap orang Kristen untuk mengenal Tuhan Yesus dengan dasar iman yang benar. Proses belajar mengajar yang alkitabiah, dengan kuasa Roh Kudus dan berpusatkan pada Kristus. Pendidikan Agama Kristen juga merupakan suatu usaha untuk membimbing setiap pribadi bertumbuh sesuai dengan dasar kristen melalui cara-cara mengajar yang cocok agar mengetahui dan mengalami maksud dan rencana Allah (Roma 8:29).
II.                Dewasa
2.1. Pengertian Orang Dewasa
stilah Adolescene yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Namun kata Adult berasal dari bentuk lampau paticiple dari kata kerja Adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang sudah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan di dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.[1] Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata Dewasa berarti suatu keadaan yang menunjukkan akil balik yakni berumur 15 tahun ke atas.[2] Orang dewasa juga dapat di artikan sebagai individu – individu yang telah memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap berproduksi serta telah dapat diharapakan memiliki kesiapan kognitif, afektif, fisik, moral, dan juga spiritualitas. Selain itu, orang dewasa juga diharapkan untuk dapat memainkan peranannya dengan individu-individu lain dalam masyarakat. [3]
Elisabeth B.Hurlock menyatakan bahwa orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.[4] Ditinjau dari segi psikologis seseorang yang dapat dikatakan dewasa yaitu orang yang mampu mengarahkan diri sendiri, tidak selalu tergantung kepada orang lain, mau bertanggung jawab, mandiri, berani mengambil resiko dan mampu mengambil keputusan.[5] Orang juga dapat disebut dewasa apabila telah menyelesaikan tahun-tahun sekolahnya sebagaimana tuntutan masyarakatnya. Banyak pendidik orang dewasa mengasumsikan (baik oleh pilihan sendiri maupun bukan) semacam tanggung jawab bagi diri sendiri dan barang kali juga terhadap orang lain, dan juga suatu tingkat kemandirian dari otoritas orangtua yang baik sama dengan para remaja dan pemuda.[6]
2.1.1.      Pengertian Orang Dewasa dipandang dari berbagai aspek
a.      Menurut Alkitabiah
Orang dewasa menurut alkitabiah adalah orang yang dianggap mampu untuk memperlihatkan kebenaran dan kesaksiannya (Bnd. Yeh 23:12). Orang dewasa dari Perjanjian Lama dibatasi dari segi umur saja tetapi lebih dominan ditunjukan oleh kemampuan dan kekuatannya dalam melakukan kehendak Allah. Didalam Perjanjian Lama gambaran orang dewasa adalah seorang yan mulai sadar dan dapat berpikir tentang dunia luar dan dirinya sendiri. Sedangkan dalam kitab Perjanjian Baru juga tidak ditemukan batasan tertentu tentang seseorang yang dikatakan dewasa . namun dalam 1 Tim 4:12 mengatakan bahwa “janganlah seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda, jadilah teladan bagi orang percaya dalam perkataanmu, tingkah lakumu, dalam kasihmu dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu”. Dari kesaksian ini terlihat bahwasannya orang dewasa merupakan orang yang dianggap belum mampu, namun sebenarnya telah mempunyai kemampuan jika setia kepada Tuhan dan suci dalam perbuatan.[7]
b.      Orang Dewasa menurut Gereja
Orang dewasa didalam gereja adalah orang yang sudah menerima sidi (tanda kedewasaan Rohani di Gereja), oleh karena itu orang dewasa ini memiliki kedudukan yang sama denagn jemaatb yang lai, dalam arti sudah mendapat hak pilih dan dipilih menjadi penatua dan ikut dalam musyawarah jemaat. Maka dari itu orang dewasa dalam gereja mempunyai kewajiban dalam memberitakan injil kepada setiap orang (Mat 28:19-20).
c.       Orang Dewasa secara Umum
Secara umum yang disebut orang dewasa adalah orang yang sudah mengerti membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang benar dan yang mana yang tidak benar, pemikirannya tidak seperti anak-anak lagi melainkan dapat berpikir lebih abstrak, hidup mandiri dan bertanggungb jawab. Orang dewasa secara umum juga mempunyai rasa ketidakamanan tertentu, bergerak dalam pekerjaan, mempunyai pandangan hidup yang beraneka dan mengalami gaya hidup baru.[8]
2.2. Pembagian Umur
Masa Dewasa dibagi menjadi 3 bagian:[9]
1.      Dewasa Awal 18-34 tahun (Masa dewasa Dini/ Young Adult)
Adalah masa pencarian kemantapan dan masa reproduksi yaitu masa penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreatifitas dan penyesuain diri pada pola hidup yang baru.
2.      Dewasa Madya 35-60 tahun (Midle adulthood)
Status kesehatan menjadi persoalan utama masa dewasa madya, hal ini dikarenakan adanya sejumlah perubahan fisik. Perubahan kejantanan bagi pria dan juga wanita mengalami berkurang/ hilangnya kesuburan. Seperti, pada wanita mengalami monopouse.
3.      Dewasa Lanjut 60 tahun keatas (Masa Tua/ older adult)
Masa dewasa tua berkisar umur 60 tahun ke atas. Proses penuaan berarti menurunnya daya tahan fisik, menurut kartari (1993) lanjut usia disebabkan oleh meningkatnya usia, sehingga terjadi perubahan struktur dan fungsi sel jaringan serta sistem organ.

2.3. Karakteristik
2.4. Psikologi Perkembangan
2.4.1.      Pengertian Psikologi
Secara etimologi psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “psyche” yang artinya  jiwa, dan “logos”  yang artinya ilmu jiwa. Sehingga psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosenya, maupun latar belakangnya.[10] Menurut Aristoteles, psikologi adalah ilmu mengenai gejala-gejala jiwa manusia, dimana didalam ilmu itu dipelajari tentang tingkah laku manusia dan penghayatan akan manusia.[11] Psikologi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku dan proses mental.[12] Jadi, pada dasarnya psikologi itu merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku seseorang atau sering disebut dengan ilmu jiwa.
2.4.2.      Pengertian Perkembangan
Perkembangan adalah perubahan individu ke arah yang lebih sempurna yang terjadi dari proses terbentuknya individu sampai akhir hayat dan berlangsung secara terus menerus. Selain itu perkembangan adalah perubahan yang terjadi dalam suatu medium. Elisabeth B.Hurlock mengartikan perkembangan sebagai serangkaian perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.[13] Perkembangan juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan dan perubahan itu tidak bersifat kuantitatif , melainkan kualitatif.[14]
2.4.3.      Psikologi Perkembangan
Psikologi Perkembangan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku individu dalam perkembangannya dan latar belakang yang yang mempengaruhinya. Dalam ruang lingkup, ilmu ini termasuk psikologi khusus, karena psikologi perkembangan mempelajari kekhususan dari pada tingkah laku individu. Ada beberapa manfaat mempelajari Psikologi Perkembangan, diantaranya yaitu: 1) Untuk mengetahui tingkah laku individu itu sesuai atau tidak dengan tingkat usia/ perkembangannya. 2) Untuk mengetahui tingkat pemampuan individu pada setiap fase perkembangannya  3)Untuk mengetahui kapan individu bisa diberi stimulus pada tingkat perkembangan tertentu. 4) Agar dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan-perubahan yang akan dihadapi anak. 5)Khusus bagi guru, agar dapat memilih dan memberikan materi dan metode yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Psikologi orang dewasa terbagi atas tiga baigan, yaitu:
a.      Dewasa Dini (18-34 tahun)
1.      Fisik
Sejak usia sekitar 25 tahun, perubahan perubahan fisik mulai terlihat. Perubahan-perubahan ini sebagian besar lebih bersifat kuantitatif dari pada kualitatif. Secara berangsur-angsur, kekuatan fisik mengalami kemunduran, sehingga lebih mudah terserang penyakit. Akan tetapi bagaimana pun juga seseorang masih tetap cukup mampu untuk melakukan aktivitas normal bahkan bagi yang menjaga kesehatannya dan melakukan olahraga rutin masih terlihat bugar.[15] 
2.      Kognitif
Berpikir positif, berpikir kreatif, proaktif dan kritis,[16] kemampuan menyatakan perbedaan pendapat dengan kebijaksanaan dan kemampuan menerima kegagalan dan keberhasilan secara simpati.
3.      Segi Emosi
Timbul kekuatiran tentang pekerjaan, perkawainan yang membuat mereka tegang, adanya kenginginan yang besar tentang karier, keluarga dan kesehatan. Memiliki semangat yang kuat dalam bersaing.
4.      Segi Sosial
Mulai menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan perkawinan, adanya waktu menerima waktu tanggung jawab dan mandiri, masa kesepian (terasing dari lngkungan). Berkembangnya kesadaran akan ketertiban sosial. Suka menjamu teman-teman dirumah dan mulai ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
5.      Segi Spiritual
Memperhatikan relasi pribadi dengan Tuhan seperti hubungan suami istri (ibadah yang teratur, membentuk tim-tim doa, mengajak mereka terlibat dalam kegiatan Gereja). Dalam ibadah yang tradisional (menajamkan kedewasaan dari berbagai sudut pandangan ilmu pengetahuan dan alam).[17]
b.      Dewasa Madya (35-60 tahun)
1.      Fisik
Kekuatan dan energi orang berkurang pada masa ini. Kaum wanita mengalami monopause dengan akibat yang negatif. Kemampuan panca indera dan seks berkurang. Mereka cenderung menyukai pekerjaan yang kurang keras.
2.      Kognitif
Penyesuaian terhadap peran dan pola hidup yang selau berubahcenderung membawa orang dewaswa kemasa stress. Pada masa ini dituntut bertanggung jawab yang nyata. Pada masa ini juga merupakan saat menevaluasi prestasi.
3.      Mental Intelektual
Semakin tua orang akan semakin lambat dalam belajar meskipun masih tetap mampu dalam belajar.
4.      Sosial
Umunya orang muda hanya bergerak keatasa dan hanya sedikit yang puas berpindah kesenjangan sosial yang lebih rendah. Masa ini merupakan masa keterpencilan yang mana dalam masa ini pria dan wanita merasa kesepian.
5.      Emosi
Akibat menurunnya kemampuan penginderaan, mungkin akan timbul perasaan tidak berguna, tidak aman dan depresi, tetaoi pada masa ini juga akan timbul sifat suka menoong orang lain dan lebih bijaksana dari pada sebelumnya.
6.      Spiritual
Orang pada masa usia ini menilai kembali tanggung jawab kedewasaanya dan pelayanannya dalam gereja.[18] Pada masa ini dewasa mempunyai toleransi agama yang lebih baik dari pada sebelumnya.
c.       Dewasa Lanjut ( 60 tahun keatas)
1.      Fisik
Pada usia 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik, sering pula diikuti oleh penurunan daya ingat. Tubuh membungkuk dan tampak kecil, garis pinggang melebar.
2.      Kognitif
Orang yang berusia lanjut lebih berhati-hati dalam belajar, memerlukan waktu yang lebih banyak untuk mengintegrasikan jawaban mereka, kurang mampu mempelajari hal-hal yang baru. Keinginan untuk berpikir kreatif berkurang. Menurut Sntrock 5 hingga 10% dari neuron kita berhenti tumbuh sampai kita mencapai usia 70 tahun. Setelah itu hilangnya neuron akan semakin cepat.
3.      Sosial
Semakin lanjut usia seseorang berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari keterbatasan yang dimilikinya. Keadaaan ini mengakibatkan interaksi sosial pada lanjut usia menurun baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Pada masa pensiun seseorang harus menyesuaikan diri dengan peran baru.
4.      Afektif
Harus bergantung pada orang lain. Cenderung untuk mengenang sesuatu yang sudah terlewatkan. Mencari teman baru untuk mengantikan suami atau istri yang sudah meninggal.
5.      Spiritual
Menurunya kehadiran dan partisipasinya dalam kegiatan gereja. Pada tingkat ini kepercayaan semakin mundur kelatar belakangan pribadi mengosongkan diri, sekaligus mengalami diri sebagai makhluk yang berakar dalam Allah dan daya kesatuan. [19]
2.5. Media Pembelajaran
Proses belajar mengajar pada dasarnya juga merupakan proses komunikasi, sehingga media yang digunakan dalam pembelajaran disebut media pembelajaran.[20] Media pembelajaran selalu terdiri atas dua unsur penting, yaitu unsur peralatan atau perangkat keras (hardware) dan unsur pesan yang dibawanya (message/ software). Media pembelajaran memerlukan peralatan untuk menyajikan pesan, namun yang terpenting bukanlah peralatan itu, tetapi pesan atau informasi belajar yang dibawakan oleh media tersebut.[21]
2.6. Fungsi Media Pembelajaran
a.       Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalitas
b.      Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga, dan daya indra
c.       Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar
d.      Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori, dan kinestetiknya.
e.       Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman, menimbulkan persepsi yang sama.

2.7. Metode-metode
Metode secara harafiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umu, metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. Kata “pembelajaran” berarti segala upaya yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada diri siswa. Jadi metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada diri siswa untuk mencapai tujuan.[22]
2.7.1.       Jenis Metode
1.      Seminar
Merupakan suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh beberapa orang dalam suatu sidang yang berusaha membahas/ mengupas masalah-masalah atau hal-hal tertentu dalam rangka mencari jalan memecahkannya atau mencari pedoman pelaksanaannya.
2.      Sociodrama dan Role Play (Bermain Peran)
Metode sosiodrama dan bermain peran merupakan suatu metode mengajar dimana siswa dapat mendramatisasikan tingkah laku atau ungkapan gerak gerik wajah seseorang dalam hubungan sosial antar manusia.
3.      Demonstrasi
Demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk membelajarkan peserta dengan cara menceritakan dan memperagakan suatu langkah-langkah pengerjaan sesuatu.
4.      Kerja Lapangan
Metode mengajar dengan mengajak siswa ke dalam suatu tempat di luar sekolah yang bertujuan tidak hanya sekedar observasi atau peninjauan saja, tetapi langsung terjun aktif  ke lapangan kerja agar siswa dapat menghayati serta bekerja sendiri dalam pekerjaan.
5.      Simulasi
            Metode simulasi merupakan cara mengajar dimana menggunakan tingkah laku  seseorang untuk berlaku seperti orang yang dimaksudkan.dengan tujuan agar orang dapat menghindari lebih mendalam tentang bagaimana orang itu merasa dan berbuat sesuatu dengan kata lain siswa memegang peranan sebagai orang lain.
6.      Kerja Kelompok
            Suatu cara menyajiikan bahan pelajaran dengan menyuruh pelajar (setelah dikelompokkan) mengerjakan tugas terntentu untuk mencapai tujuan pengajaran.
7.      Ceramah
            Metode yang meberikan penjelasan kepada sejumlah murid pada waktu dan tempat tertentu. Dengan kata lain, metode ini adalah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umunya mengikuti secara pasif.
8.      Sumbang saran
            Suatu cara mengajar dengan mengutarakan suatu masalah ke kelas oleh guru kemudian siswa menjwab mengemukakakn pendapat atau jawaban dan komentar sehingga masalah tersebut berkembang menjadi masalah baru.
9.      Unit Teaching
            Metode yang meberikan kesempatan pada siswa secara aktif dan guru dapat mengenal dan menguasai belajar secara unit.
10.  Sandiwara
            Seperti memindahkan sepenggal cerita yang menyerupai kisah nyata atau situasi sehari-hari ke dalam pertunjukkan.
11.  Penemuan (Discovery)
            Merupakan proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu proses atau prinsip-prinsip.
12.  Eksperimen
            Merupakan salah satu cara mengajar dimana seorang siswa diajak beruji coba atau mengadakan pengamatan kemudian hasil pengamatan disampaikan di kelas dan di evaluasi oleh guru.
13.  Permainan
Metode yang digunakan untuk membangun suasana belajar yang dinamis, penuh semangat dan antusiasme.
14.   Studi Kasus
Merupakan metode penyajian pelajaran dengan memanfaatkan kasus yang ditemui anak sebagai bahan pelajaran kemudian kasus tersebut dibahas bersama untuk mendapatkan penyelesaian.
15.  Inquiry
Teknik pengajaran di depan kelas dimana dilakukannya pembagian tugas meneliti suatu masalah ke kelas.
16.  Micro Teaching
Merupakan suatu latihan mengajar permulaan bagi guru atau calon guru dengan scope, latihan dan audience yang lebih kecil dan dapat dilaksanakan di lingkungan teman-teman setingkat sendiri atau sekelompok siswa di bawah bimbingan pembimbing.
17.  Problem Solving
            Metode pemecahan masalah adalah menggunakan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
18.  Metode Karya Wisata
Metode mengajar yang dilaksanakandengan mengajak siswa ke suatu tempat atau obyek tertentu untuk mempelajari sesuatu.
19.  Practice/ Drill (Latihan /Praktek)
            Latihan secara sederhana adalah latihan dengan daya dan upaya untuk meningkatkan secara menyeluruh kondisi fisik dengan proses yang sistematis dan berulang-ulang dengan kian hari kian bertambah jumlah beban latihan, waktu atau intesnsitasnya.
20.  Dialog
Merupakan salah satu teknik metode pengajaran untuk memberi motivasi pada siswa agar aktif pemikirannya untuk bertanya.
21.   Non Directive
Merupakan salah satu metode mengajar dimana siswa melakukan observasi, analisis dan berpikir sendiri.
22.   Tanya Jawab
Merupakan cara lisan menyajikan bahan untuk mencapai tujuan pengajaran
23.  Katekesmus
Merupakan suatu cara menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sudah ditentukan.
24.   Prileksi
Merupakan suatu cara menyajikan pelajaran dengan menggunakan bahasa lisan, menyuruh para pelajar mendiskusikan, menganalisa, membandingkan dan akhirnya menarik kesimpulan dari apa yang disampaikan untuk mencapai tujuan pengajaran.
25.  Proyek
Merupakan suatu cara menyajikan bahan ajaran pada hal tertentu untuk mempelajari dalam rangka mewujudkan tujuan belajar.
26.   Team Work (Sistem Regu)
27.  Berprogama
Menyajikan bahan pelajaran dengan menggunakan alat tertentu untuk mencapai tujuan pengajaran.
28.  Musyawarah
Merupakan cara menyajikan bahan pelajaran melalui perundingan untuk mencapai musyawarah bersama.
29.  Mind Mapping
Pembelajaran ini sangat cocok untuk mereview pengetahuan awal anak
30.  Quantum
31.  Review (Ulasan)
            Ulasan adalah kupasan, tafsiran, komentar, tanggapan.
32.   Sharing Time (Berbagi waktu)
Meluangkan waktu untuk bercerita kepada teman, keluarga untuk berdiskusi mengenai sesutau agar mempunyai solusi.
33.  Show and Tell (Menunjukkan dan Menjelaskan)
Mempertunjukkan dan menjelaskan adalah memperlihatkan kemudian menjelaskan apa yang kita pertunjukkan tersebut.
34.   Simulation Games (Simulasi Permainan)
Simulasi permainan adalah mneirukan sesuatu permainan dengan melihat keadaan sekelilingnya.
35.  Spontaneous Speaking (Berbicara Spontan)
Berbicara spontan pada hakikatnya berbicara tanpa persiapan juga deisebut dengan to aldlib atau ad libs  berarti mengatakan sesuatu tanpa persiapan atau memberikan komentar secara spontan. Berbicara tanpa persiapan biasanya sering dilakukan oleh beberapa oenyiar yang sudah berpengalaman karena dalam melakukannya, mereka jarang melihat catatan yang mereka bawa dan hanya memandu secara spontan.
36.  Story Writing/ Telling
Bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain. Bercerita adalah upaya untuk mengembangkan potensi kemampuan berbahasa anak melalui pendengaran dan kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih keterampilan anak dalam bercakap-cakap, untuk menyampaikan ide-ide dalam bentuk tulisan.
37.  Testing (Pengujian)
Pengujian adalah proses yang bertujuan untuk memastikan apakah semua fungsi sistem bekerja dengan baik dan mencari kesalahan yang terjadi pada sistem. Tujuan dari pengujian adalah untuk mendeteksi kesalahan bahasa (language error), kesalahan yang diakibatkan oleh penulisan.
38.  Simposium
Simposium adalah serangkaian pidato pendek di depan pengunjung dengan seorang pemimpin. Simposium menampilkan beberapa orang pembicara dan mereka mengemukakan aspek-aspek pandangan yang berbeda dan topik yang sama. Dapat juga terjadi, suatu topik persoalan dibagi atas beberapa aspek, kemudian setiap aspek disoroti tersendiri secara khusus, tidak perlu dari berbagai sudut pandang.
39.  Dramatic Reading/ Membaca Drama
Membaca drama berbeda dari membaca fiksi drama menceritakan sedikit tentang karakter, biasanya hanya dalam arah tahap yang pemirsa dari tidak melihat pemain. Aktor dan pembaca harus membaca petunjuk dan harus hati-hati untuk membuat kesimpulan dari apa yang dipelajari tentang karakter dalam dialog. Dari apa yang dikatakan karakter, anda harus membangun sebuah penafsiran siapa mereka.
40.  Charadas
Charadas adalah metode dengan meniru atau mengikuti gambar gaya seseorang, biasanya dengan cara yang lucu.
41.  Monologue
Metode ini adalah metode dimana anak diajak untuk berbicara panjang sendiri. Ini juga dapat diartikan sebagai pidato dramatis oleh aktor tunggal.
42.  Pantomime
Metode ini adalah metode yang meniru gerakan tubuh tanpa kata-kata.
43.  Play/ Bermain
Bermain adalah aktivitas khas yang menggembirakan, menyenangkan dan menimbulkan kenikamatan. Kegiatan ini merupakan kesibukan yang dipilih sendiri oleh anak sebagai bagian dari usaha mencoba-coba dan melatih diri.
44.  Silhouettes (Siluet)
Siluet merupakan metode dengan menggunakan apa yang dihasilkan dalam fotografi karena adanya perbedaan signifikan antara pantulan cahaya objek utama di bagian depan gambar dengan latar belakangnya. Untuk menghasilkan siluet, cahaya dari bagian belakang objek harus sangat terang kemudian ditangkap dengan mengukur luminitas cahaya latar belakang.
45.  Skit (Lelucon)
Metode ini adalah metode yang menggunakan cerita pendek atau susunan perkataan yang bersifat lucu. Terdapat beberapa kategori lelucon, dari lelucon sederhana hingga lelucon yang menggunakan sarkasme.
46.    Spontaneous drama (Drama Spontan)
Drama spontan merupakan bentuk seni yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan memyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Dengan melihat drama, penonton seolah-olah melihat kehidupan dan kejadian dalam masyarakat. Hal ini karena drama merupakan potert kehidupan manusia.
47.  Story Play (Bermain Cerita)
Bermain cerita berarti penceritaan cerita atau memainkan cerita. Selain itu bermain cerita disebut juga mendongeng seprti yang dikemukakan oleh Malan, mwndongeng adalah bercerita berdasarkan tradisi lisan. Bermain cerita merupakan usaha yang dilakukan oleh pendongeng dalam menyampaikan isi perasaan, buah pikira atau sebuah cerita kepada anak-anak secara lisan.
48.  Tableau (Tablo)
Tablo (kata benda) adalah petunjukan lakon tanpa gerak atau tanpa dialog.
49.  TV/ Radio Show (TV/ Acara Radio)
Metode ini adalah metode yang menggunakan TV atau acara radio
50.  Apprenticeship (Masa Belajar)
Dapat diartikan sebagao aktivitas mental (psikis) yang terjadi karena adanya interaksi aktif antara individu dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan-perubahan yang bersifat relatif dalam aspek: kognitif, psikomotr dan afektif. Perubahan tersebut dapat berubah ke arah sesuatu yang sama sekali baru atau penyempurnaan/ peningkatan dari hasil belajar yang telah diperoleh sebelumnya.
51.  Assignment/ Homework (Tugas/ Pekerjaan Rumah)
Metode ini adalah metode dimana anak diberikan tugas atau pekerjaan rumah. Tugas juga dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan dan tanggung jawab seseorang. Pekerjaan yang dibebankan. Sesuatu yang wajib dilakukan atau ditentukan untuk perintah agar melakukan sesuatu dalam jabatan terntentu.
52.  Case Study (Studi Kasus)
Studi kasus adalah salah satu metode penelitian dalam ilmu sosial. Dalam riset kyang menggunakan metode ini, dilakukan pemeriksaan longitudinal yng mendalam terhadap suatu keadaan atau kejadian yang disebut sebagai kasus dengan menggunakan cara-caar ayng sistematis dalam melakukan pengamatan data, amalisis informasi, dan pelaporan hasilnya. Sebagai hasilnya akan dieproleh pemahaman yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan dapat menjadi dasar bagi riset selanjutnya.
53.  Computer (Komputer)
54.  Metode Kerajinan tangan/ Kreatifitas
Merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengajar anak didik menciptakan suatu produk atau barang yang dilakukan dengan tangan  dan memiliki fungsi pakai atau keindahan sehingga memiliki nilai jual.
55.  Metode minat atau pusat belajar
Merupakan cara pengajaran yang dilakukan dengan cara melihat minat yang ada pada diri anak.
56.  Metode Hewan dan Tanaman
Merupakan pengajaran yang dilakukan dengan memperkenalkan hewan-hewan dan tumbuhan kepada  anak agar anak dapat mengenal dan memahami makhluk hidup yang lain.
57.  Metode Surat Kabar
Metode yang menggunakan surat kabar dengan tujuan mengajarkan anak untuk mengetahui kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya.
58.  Metode Laboratorium
Cara pengajaran yang dilakukan dengan cara melakukan percobaan di laboratorium.
59.  Programmed Learning and Instruction
Pembelajaran yang identik dengan kata” mengajar” berasal dari kata “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui, ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan ssehingga anak didik mau belajar. Maka dari itu pembelajaran adalah proses interaksi peserta dengan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku dimanapun dan kapanpun. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai suatu objektif yang ditentukan. Kegiatan belajar mengajar adalah satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah.
60.  Reports (Laporan)
Laporan adalah suatu bentuk penyampaian berita, keterangan, pemeberitahuan atau pertanggung jawaban baik secara lisan maupun tertulis dari bawahan kepada atasan sesuai dengan hubungan wewenang dan tanggung jawab yang ada antara mereka.
61.  Research (Penelitian)
Penelitian sering dideskripsikan sebagai suaut proses investigasi yang dilakukan dengan aktif, tekun, dan sistematis yang bertujuan untuk menemukan, menginterpretasikan, dan merevisi fakta- fakta. Penelitian juga menghasilkan suatu pengetahuan yang lebih mendalam mengenai sutau peristiwa, tingkah lkau, teori, dan hukum serta membuka peluang bagi penerapan praktik dari penegtahuan tetrsebut.
62.  Sensory Experiences (Pengalaman Sensorik)
Bagaimana sesuatu terlihat, suara, selera dan sebagian besar itu adalah tentang pengalaman visual, tapi deskripsi juga berhubungan dengan jenis lain dari persepsi.
63.  Supervised Study (Belajar diawasi)
Ini merupakan metode belajar yang dilakukan dengan perhatian penuh.
64.  Survey (Penelitian)
Suatu tindakan yang dilakukan untu mencari tahu tentang sesuatu.
65.  Team Teaching (Tim Mengajar)
Tim mengajar ini adalah sekelompok guru atau sukarelawan utnuk mendidik.
66.  Textbook Study (Buku Pelajaran)
Buku pelajaran ini adalah alat yang dipakai untuk menulis seluruh atau sebagian dari didikan guru.
67.  Unit of Learning (Unit Belajar)
Sekelompok orang yang tergabung dalam suatu rana pembelajaran.
68.   Verse Memorization (Ayat Hafalan)
Ayat hafalan adalah suatu metode yang penekanannya untuk daya ingatan baik itu cakupan waktu yang lama maupun waktu yang singkat.
69.   Workbook or Manual (Buku Kerja atau Manual)
Buku kerja ini adalah buku untuk pengamatan sesuatu yang bersifat langkah-langkah.
70.  Self Expression Methods
71.  Cathecism (Katekismus)
Katekismus ini suatu bentuk pengajaran tentang keagamaan mengenai keimanan seseorang.
72.  Choral Reading/ Speaking (Paduan suara membaca/ berbicara)
Paduan suara ini adalah metode ekskpresi diri untuk meluapkan kebahagiaan serta kesedihan di dalam sutau kata yang di aransemen mnejadi suatu nada yang indah di dengar.
73.  Circle Conversation (Lingkaran Percakapan)
Ini adalah sebuah bentuk percakapan yang dilakukan dalam kartun-kartun gunanya untuk menandakan ada topik pembicaraan tersebut.
74.   Creative Writing (Menulis kreatif)
Menulis kreatif ini metode pembelajaran yang dilakukan untuk menunjukkan bakat/ jiwa seni yang ada dalam dirinya sendiri.
75.  Games (Pertandingan)
Metode ini adalah metode dimana anak-anak di ajak untuk mengikuti pertandingan yang sudah ditetapkan guru. Dengan metode ini anak-anak dapat belajar untuk berjuang.
76.  Informal conversation (Percakapan yang tidak resmi)
77.  Memorization (Menghafal)
Metode ini adalah metode ndegan memberikan anak hafalan-hafalan dan pada waktu yang sudah ditetapkan, apa yang sudah dihafal dikatakan.
78.  Paraphrase (Mengutip)
Mengutip adalah mengambil perkataan atau kalimat dari buku, mengumpulkan dari berbagai sumber, dan sebagainya.
79.   Puzzle (Menyatukan)
Menyatukan adalah menjadikan satu, mengumpulkan menjadi satu.
80.   Questions and Answer (Pertanyaan dan Jawaban)
Pertanyaan adalah sebuah ekspresi keingintahuan seseorang akan sebuah informasi yang dituangkan dalam kalimat tanya. Jawaban adalah sahutan, balasan, tanggapan.
81.  Play Time (instructive) (Waktu bermain)
Waktu bermain yaitu kita harus menyisihkan waktu untuk bermain agar tubuh bisa seimbang dengan kinerja otak.
82.  Reading (Membaca)
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui media bahasa tulis. Pengertian lain dari membaca adalah suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang bahasa tulis.
83.  Mime
Mime adalah metode yang berkomunikasi sepenuhnya dengan gerakan dan ekspresi wajah. Ini merupakan jenis drama yang dimana orang-orang dan peristiwa umumnya diwakili secara konyol.
III.             PAK Dewasa
3.1. Pengertian Pendidikan
Secara Etimologi pengertian pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu.  Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan dapat diperoleh baik secara formal dan non formal. Pendidikan secara formal diperoleh dengan mengikuti program-program yang telah direncanakan, terstruktur oleh suatu insititusi, departemen atau kementtrian suatu negara. Sedangkan pendidikan non formal adalah pengetahuan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari dari berbagai pengalaman baik yang dialami atau dipelajari dari orang lain. [23]
Pendidikan orang dewasa disebut juga Andragogi. Andradogi berasal dari bahasa Yunani andra artinya orang dewasa, dan agogos artinya memimpin. Andragogi adalah proses untuk melibatkan peserta didik dewasa ke dalam suatu struktur pengalaman belajar. Istilah ini awalnya digunakan oleh Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, pada tahun 1833, dan kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat, Malcolm Knowles.
Pendidikan orang dewasa adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi orang-orang dewasa dalam lingkungan masyarakatnya, agar mereka dapat mengembangkan kemampuan, memperkaya pengetahuan, mengembangkan keterampilan, meningkatkan kualifikasi teknik dan profesi yang telah dimilikinya, memperoleh cara-cara baru serta merubah sikap dan perilakunya.
3.1.1.      Prinsip-prinsip Pendidikan Orang Dewasa
Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan training (pelatihan) dan pendidikan, dan biasanya diterapkan pada situasi kelas formal atau untuk sistem on the job training (magang). Tiap bentuk pelatihan sebaiknya memuat sebanyak mungkin 9 prinsip yang tersebut di bawah ini. Supaya kita mudah mengingatnya (9 prinsip tersebut), maka biasanya digunakan sistem jembatan keledai atau istilah asingnya mnemonic, yaitu RAMP 2 FAME.
R                            =   Recency
A                            =   Appropriateness
M                           =   Motivation
P                            =   Primacy
2                             =   2–Way Communication
F                            =   Feedback
A                            =   Active  Learning
M                           =   Multi–Sense Learning
E                            = Excercise
Prinsip-prinsip ini dalam berbagai cara sangat penting, karena memungkinkan pelatih untuk menyiapkan satu sessi secara tepat dan memadai, menyajikan sesi secara efektif dan efisien, juga memungkinkan melakukan evaluasi untuk sessi tersebut
Ø  R : RECENCY
Hukum dari Recency menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu yang dipelajari atau diterima pada saat terakhir adalah yang paling diingat oleh peserta/partisipan. Ini menunjukkan dua pengetian yang terpisah di dalam pendidikan. Pertama, berkaitan dengan isi (materi) pada akhir sessi dan kedua berkaitan dengan sesuatu yang “segar” dalam ingatan peserta. Pada aplikasi yang pertama, penting bagi pelatih untuk membuat ringkasan (summary) sesering mungkin dan yakin bahwa pesan-pesan kunci/inti selalu ditekankan lagi di akhir sessi. Pada aplikasi kedua, mengindikasikan kepada pelatih untuk membuat rencana kaji ulang (review) per bagian di setiap presentasinya.
Ø  A : APPROPRIATENES (Kesesuaian)
Hukum dari appropriatenes atau kesesuaian mengatakan kepada kita bahwa secara keseluruhan, baik itu pelatihan, informasi, alat-alat bantu yang dipakai, studi kasus -studi kasus, dan material-material lainnya harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta/partisipan. Peserta akan mudah kehilangan motivasi jika pelatih gagal dalam mengupayakan agar materi relevan dengan kebutuhan mereka. Selain itu, pelatih harus secara terus menerus memberi kesempatan kepada peserta untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara informasi-informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya yang sudah diperolah peserta, sehingga kita dapat menghilangkan kekhawatiran tentang sesuatu yang masih samar atau tidak diketahui.
Ø  M: MOTIVATION (motivasi)
Hukum dari motivasi mengatakan kepada kita bahwa pastisipan/peserta harus punya keinginan untuk belajar, dia harus siap untuk belajar, dan harus punya alasan untuk belajar. Pelatih menemukan bahwa jika peserta mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar atau rasa keinginan untuk berhasil, dia akan lebih baik dibanding yang lainnya dalam belajar. Pertama-tama karena motivasi dapat menciptakan lingkungan (atmosphere) belajar menjadi menye-nangkan. Jika kita gagal menggunakan hukum kesesuaian (appropriateness) tersebut dan mengabaikan untuk membuat material relevan, kita akan secara pasti akan kehilangan motivasi peserta.
Ø  P : PRIMACY (Menarik Perhatian di awal sessi)
Hukum dari primacy mengatakan kepada kita bahwa hal-hal yang pertama bagi peserta biasanya dipelajari dengan baik, demikian pula dengan kesan pertama atau serangkaian informasi yang diperoleh dari pelatih betul-betul sangat penting. Untuk alasan ini, ada praktek yang bagus yaitu dengan memasukkan seluruh poin-poin kunci pada permulaan sessi. Selama sessi berjalan, poin-poin kunci berkembang dan juga informasi-informasi lain yang berkaitan. Hal yang termasuk dalam hukum primacy adalah fakta bahwa pada saat peserta ditunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, mereka harus ditunjukkan cara yang benar di awalnya. Alasan untuk ini adalah bahwa kadang-kadang sangat sulit untuk “tidak mengajari” peserta pada saat mereka membuat kesalahan di permulaan latihan.
Ø  2 : 2- WAY COMMUNICATION (Komunikasi 2 arah)
Hukum dari 2-way-communication atau komunikasi 2 arah secara jelas menekankan bahwa proses pelatihan meliputi komunikasi dengan peserta, bukan pada mereka. Berbagai bentuk penyajian sebaiknya menggunakan prinsip komunikasi 2 arah atau timbal balik. Ini tidak harus bermakna bahwa seluruh sessi harus berbentuk diskusi, tetapi yang memungkinkan terjadinya interaksi di antara pelatih/fasilitator dan peserta/partisipan.
Ø  F: FEEDBACK (Umpan Balik)
Hukum dari feedback atau umpan balik menunjukkan kepada kita, baik fasilitator dan peserta membutuhkan informasi satu sama lain. Fasilitator perlu mengetahui bahwa peserta mengikuti dan tetap menaruh perhatian pada apa yang disampaikan, dan sebaliknya peserta juga membutuhkan umpan balik sesuai dengan penampilan/kinerja mereka.
Penguatan juga membutuhkan umpan balik. Jika kita menghargai peserta (penguatan yang positif) untuk melakukan hal-hal yang tepat, kita mempunyai kesempatan yang jauh lebih besar agar mereka mengubah perilakunya seperti yang kita kehendaki. Waspada juga bahwa terlalu banyak penguatan negatif mungkin akan menjauhkan kita memperoleh respon yang kita harapakan.
Ø  A : ACTIVE LEARNING (Belajar Aktif)
Hukum dari active learning menunjukkan kepada kita bahwa peserta belajar lebih giat jika mereka secara aktif terlibat dalam proses pelatihan. Ingatkah satu peribahasa yang mengatakan “Belajar Sambil Bekerja” ? Ini penting dalam pelatihan orang dewasa. Jika anda ingin memerintahkan kepada peserta agar menulis laporan, jangan hanya memberitahu mereka bagaimana itu harus dibuat tetapi berikan kesempatan agar mereka melakukannya. Keuntungan lain dari ini adalah orang dewasa umumnya tidak terbiasa duduk seharian penuh di ruangan kelas, oleh karena itu prinsip belajar aktif ini akan membantu mereka supaya tidak jenuh.
Ø  M : MULTIPLE -SENSE LEARNING
Hukum dari multi- sense learning mengatakan bahwa belajar akan jauh lebih efektif jika partisipan menggunakan lebih dari satu dari kelima inderanya. Jika anda memberitahu trainee mengenai satu tipe baru sandwich mereka mungkin akan mengingatnya. Jika anda membiarkan mereka menyentuh, mencium dan merasakannya dengan baik, tak ada jalan bagi mereka untuk melupakannya.
Ø  E. EXERCISE (Latihan)
Hukum dari latihan mengindikasikan bahwa sesuatu yang diulang-ulang adalah yang paling diingat. Dengan membuat peserta melakukan latihan atau mengulang informasi yang diberikan, kita dapat meningkatkan kemungkinan mereka semakin mampu mengingat informasi yang sudah diberikan. Yang terbaik adalah jika pelatih menambah latihan atau mengulangi pelajaran dengan mengulang informasi dalam berbagai cara yang berbeda. Mungkin pelatih dapat membicarakan mengenai suatu proses baru, lalu menunjukkan diagram/overhead, menunjukkan produk yang sudah jadi dan akhirnya minta kepada peserta untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Latihan juga menyangkut intensitas. Hukum dari latihan juga mengacu pada pengulangan yang berarti atau belajar ulang.

3.1.2.      Tujuan Pendidikan Orang Dewasa
Pendidikan orang dewasa umumnya memiliki sasaran kelompok orang dewasa yang beraneka ragam, baik usianya, tingkat pendidikannya, lingkungan sosialnya, pelajarannya dan lain-lain.
Secara umum terdapat beberapa tujuan pendidikan orang dewasa yaitu sebagai berikut:
1.      Pengembang kecerdasan atau intelektual warga belajar
Yaitu mengembangkan kecerdasan untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta. Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah, pada waktu yang tepat dan pada saat dibutuhkan diolah dan diinformasikan kembali.
2.      Aktualisasi dari indvidu peserta belajar
Aktualisasi tersebut mencakup pemenuhan diri (self-fulfillment), realisasi seluruh potensi, dan kebutuhan untuk menjadi kreatif. Mereka yang telah mencapai level aktualisasi diri menjadi lebih manusiawi, lebih asli dalam mengekspresikan diri, tidak terpengaruh oleh budaya.
3.      Pengembangan personal
Pengembangan personal dapat dilakukan dengan menanamkan mindset atau sikap yang paling positif dan memberdayakan yang bisa Anda tanam, kemudian tanamkan keunggulan skill pada diri Anda, lalu perluaslah jaringan Anda.
4.      Perubahan sosial (masyarakat)
Merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
5.      Pengembangan SDM dalam organisasi kerja (efektivitas organisasi)
Pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi kerja adalah suatu proses peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan kapasitas dari semua penduduk suatu masyarakat dalam organisasi kerja.
3.2. Pengertian PAK
Pendidikan yang diberikan Allah merupakan tindakan menyampaikan kebenaran yang akan menghantar kita secara benar kepada suatu meditasi tentang Allah dan kepada usaha mengamalkan perilaku suci yang tetap selamanya.[24] Pendidikan Agama memusatkan perhatian khususnya pada pemberdayaan orang-orang dalam pencarian mereka pada hal-hal yang transenden dan dasar keberadaan yang paling pokok.[25]
John Dewey mengatakan Pendidikan Agama Kristen adalah salah satu dari tugas-tugas gereja yang banyak itu, jadi bukan satu-satunya tugas gereja, melainkan salah satu diantara yang lainnya.[26] Pendidikan Agama Kristen menjadi usaha sitematis, ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan Iman Kristen dalam rangka mengupayakan pembaharuan oleh kuasa Roh Kudus, sehingga hidup sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab.[27]
3.3. Pengertian PAK (Dewasa)
Pendidikan Agama Kristen mengajarkan setiap orang Kristen untuk mengenal Tuhan Yesus dengan dasar iman yang benar. Proses belajar menagajra yang alkitabiah, dengan kuasa Roh Kudus dan berpusatkan pada Kristus. Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan yang berisi ajaran tentang iman Kristen. Maksudnya ajaran yang menekankan pada moral dan mental serta rohani seseorang (anak didik), penekanan pendidikan mengarah pada tiga aspek pendidikan yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang terjadi pada proses belajar mengajar sistematis.
Ada perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa jika ditinjau berdasarkan umur, ciri psikologis dan ciri biologis. Pendidikan bagi orang dewasa adalah semua aktivitas pendidikan yang dilakukan oleh orang dewasa  dalam kehidupan sehari-hari yang hanya menggunakan sebagian waktunya dan tenaga untuk memperoleh atau menambahkan intelektualnya.[28] Jadi kesimpulan pengertian PAK Dewasa adalah seluruh aspek pendidikan yang didasarkan pada tinjauan Alkitabiah teologis, dan kerohanian, dalam hal kerohanian orang dewasa yang mengarahkan orang dewasa agar dapat menjalani kehidupan spritual dengan baik dan benar sehingga menjadi dampak positif bagi orang lain, baik dalam gereja, masyarakat dan dimanapun berada.[29]
3.4. Tujuan PAK orang dewasa[30]
Tujuan PAK bukanlah pergumulan kini tetapi berlangsung dalam sejarah keKristenan. Di mana ada komunitas Kristen di sana berlangsung proses pergumulan itu. Itulah sebabnya maka kita menemukan banyak rumusan tujuan tentang PAK.
Tujuan Pendidikan Agama Kristen dari masa ke masa mengalami perkembangan, khususnya dalam rumusan tujuan Pendidikan Agama Kristen. Ada banyak formula atau rumusan tujuan pendidikan Kristen yang dikemukakan pendidik Kristen (ahli praktika maupun dogmatika/teolog). Formula-formula itu tidak dapat dideskripsikan secara menyeluruh dalam postingan ini, disini hanya dikemukakan beberapa formula rumusan tujuan Pendidikan Kristen.
            Marthen Luther memang tidak memakai istilah tujuan pendidikan Kristen karena istilah ini dipakai secara teratur setelah pokok pendidikan itu dijadikan sebagai ilmu tersendiri. Akan tetapi dari karya dan perhatian Luther terhadap pendidikan maka dapat dirumuskan tujuan pendidikan Kristen menurut Marhin Luther yaitu menyadarkan  anak didik dan orang dewasa tentang keadaan mereka yang sebenarnya, yaitu mereka orang berdosa. Maka setiap warga harus bertobat dan berseru kepada Allah agar diampuni. Dengan kata lain, tujuan pendidikan Kristen menurut Marhin Luther yaitu melibatkan semua warga jemaat, khususnya yang muda dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka serta bergembira dalam Firman Yesus Kristus yang memerdekakan mereka di samping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Firman tertulis, Alkitab, dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan negara serta mengambil bagian secara bertanggungjawab dalam persekutuan kristen yaitu Gereja (Robert R. Boehlke, 2002:340)
            Menurut Calvin,  pendidikan Kristen adalah proses pemupukan akal orang-orang percaya dengan Firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja sehingga di dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang berkesinambungan yang diaplikasikan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Yesus Kristus, berupa tindakan-tindakan kasih terhadap sesamanya
Berdasarkan pemahaman Calvin tentang pendidikan Kristen maka menurut  John Calvin, tujuan Pendidikan Kristen adalah mendidik semua warga gereja agar mereka dilibatkan dalam penelaahan Alkitab secara cerdas sebagaimana dibimbing oleh Roh Kudus, diajar mengambil bagian dalam kebaktian serta diperlengkapi untuk memilih cara-cara mewujudkan suatu pengabdian diri kepada Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan mereka sehari- hari, serta hidup bertanggung jawab di bawah kedaulatan Allah, demi kemuliaan namaNya sebagai lambang ucapan syukur mereka yang dipilih dalam Yesus Kristus.
Menurut E.G.Homrighausen dan I.H. Enklaar, tujuan pendidikan Kristen yaitu:
a.    Memimpin  pada pengenalan akan peristiwa-peristiwa ilahi dalam Alkitab dan pengajaran-pengajaran yang ada dalam Alkitab
b.    Membimbing dengan kebenaran firman Allah yaitu Alkitab
c.    Mendorong  melakukan mempraktekkan ajaran-ajaran Alkitab
d.    Meyakinkan tentang kebenaran-kebenaran Alkitab untuk pemecahan masalah dalam kehidupan.
Tujuan PAK juga adalah sebagai berikut:
1. Memberikan dasar/prinsip kebenaran Firman Tuhan Mengajarkan pengajaran yang benar sesuai dengan Alkitab (lebih dari sekedar mendengarkan kotbah) dan pendeta/pembimbing membantu mereka menjajagi Firman Allah secara sistematis untuk menemukan berita kebenaran Firman Allah untuk generasi ini.
2. Menolong jemaat untuk hidup sebagaimana Kristus menghendaki. Mengaplikasi Firman Tuhan yang dipelajari itu dalam kegiatan sehari-hari dan menolong memecahkan masalah-masalah yang timbul karenanya.
3. Membangun kasih kepada jiwa-jiwa yang terhilang Menyediakan pelayanan yang cocok dengan mereka untuk menjangkau orang dewasa yang lain.

3.5. PAK dan Iman Orang Dewasa
Secara etimologi Iman (bahasa Yunani: πίστιν pistin) adalah rasa percaya kepada Tuhan. Iman sering dimaknai “percaya” (kata sifat) dan tidak jarang juga diartikan sebagai kepercayaan (kata benda).[31]
Arti kata ‘Iman’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepercayaan terhadap Tuhan.[32] Seseorang yang memiliki ketetapan hati dalam kepercayaan kepada Allah. Iman kepada Allah berarti iman kepada FirmanNya.[33] Kata Iman (Faith) memiliki arti sebagai suatu kebenaran yang objektif, yang diwahyukan yang dipercaya (Fides qual) atau penyerahan diri secara pribadi kepada Allah (Fidesque).[34]
3.5.1.      Pengertian PAK menurut Alkitab
1.      Menurut Perjanjian Lama
Pengertian iman dalam Perjanjian Lama, yakni: Perkataan ‘iman’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Ibrani ‘aman’ yang dapat diterjemahkan dengan ‘firmness’ atau keteguhan, kekokohan dan ketetapan.[35]
2.      Menurut Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, perkataan yang dipergunakan menerangkan ‘iman’ atau ‘kepercayaan’ adalah ‘pistis’ (bahasa Yunani), berasal dari kata Pisteno, yang artinya ‘saya percaya’ atau ‘saya mempercayai’.[36] Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Dasar keyakinan ini adalah Firman Allah (Ibrani 11:1). Dalam Ibrani 11:1 dikatakan: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat”. Iman mengandung unsur ilahi dan kemanusiaan. Iman adalah karunia Allah dan juga tindakan manusia. Dasar iman adalah Firman Allah (Roma 4: 20-21). Tujuan iman adalah iman kepada Yesus Kristus. Iman yang menyelamatkan adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat.[37]
3.5.2.      Perkembangan Iman Orang Dewasa
Perkembangan iman adalah suatu proses dimana seseorang sudah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamarnya (Yoh 1 :12), diberi kuasa jadi anak Allah, lalu rindu mendengar, menerima dan memahami kebenaran Firman Allah dalam hidupnya setiap hari (1 Korintus 10 : 17), selanjutnya didalam diri orang tersebut, kebenaran Firman Tuhan mengakar dan bertumbuh hingga dapat menghasilkan buah yang sesuai dengan kehendak Allah (Mat 3:8). Nacy Poyah mengatakan dalam bukunya bahwa: Hidup dalam iman kepada Kristus bagaikan tunas yang baru, terus bertumbuh dan berbuah. Bertumbuh dalam pengenalan yang benar akan Allah, sehingga hidup umat berkenan kepada Allah dalam segala hal dan terus mengarah kepada Kristus (Efesus 4 : 13-16). Berbuah dalam kesaksian hidup yang baik, untuk memuliakan nama-Nya (Yohanes 15 :7;Efesus 2 :10).[38] Kepercayaan eksistensial merupakan suatu kegiatan universal manusia. Kepercayaan eksistensial/iman mengandaikan suatu sikap suatu pilihan hati. Pilihan tersebut diambil sesuai dengan suatu pengertian tentang nilai dan kekuasaan yaitu tentang hal yang paling penting dan fundamental dalam hidup manusia.[39] Dalam perkembangan iman, agama juga mengatur tingkah laku baik buruk secara spikologis. Agama bisa merupakan salah satu faktor pengendali terhadap tingkah laku remaja. Hal ini dapat di mengerti karena agama memang mewarnai kehidupan masyarakat setiap hari. Agama juga menyajikan kerangka moral sehigga seseorang bisa membandigkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia, serta menawarkan rasa aman khususnya bagi remaja yang sedang mencari eksistensi dirinya.[40]
3.5.3.      Tahap Perkembangan Iman
Makin maju perkembangan kepercayaan, makin erat pula integrasi antara segala aspek struktural itu. Pengkajian ilmiah dan operasional yang penting bagi setiap peneliti empiris tidak akan diperdalam lebih lanjut. Mengenai tahap-tahap kepercayaan eksistensial sebagai khas seorang pribadi berada dalam kepercayaanya.[41]
Dr. A. Supratiknya mengemukakan tujuh thap perkembangan iman menurut teori James Fowler adalah :
1.                  Kepercayaan Awal dan Elementer (Usia Kanak-kanak, 0-2 atau 3 tahun)
Rasa percaya Elementer dan dasariah ini timbul sebagai kecondongan spontan yang bersifat pralinguistis- sebelum munculnya kemampuan berbahasa untuk mengandalkan seluruh hubungan timbal balik antara bayi dan lingkungan sekitar, terutama orang-orang yang secara tetap, teratur dan setia mengasuh dan memeliharanya (orangtua terutama ibu). Seluruh interaksi timbal balik tersebut menimbulkan dalam diri anak sejenis pengharapan dan rasa percaya yang organismik dan aman, boleh dipercayai dan diandalkan.[42] 
Tahap kepercayaan awal yang elementer ditandai oleh cita rasa yang bersifat praveral terhadap kondisi-kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi. Tentu saja sikap lingkungan yang menerima atau menolak itu, sangatlah penting bagi terbentuknya rasa kesatuan organik adaptif yang mesra antara bayi dan lingkungan.[43]
2.                  Kepercayaan Intuitive-Projektive (Masa Kanak-kanak, 3-7 Tahun)
Tahap ini membuat kepekaan anak terhadap dunia misteri dan yang Ilahi serta tanda-tanda nyata kekuasaan. Karena anak-anak sungguh-sunggh memperhatikan segala gerak isyarat, upacara dan kata-kata yang digunakan oleh orang-orang dewasa untuk mengungkapkan kepercayaan mereka, maka kemampuan dan minat anak terhadap misteri dan yang suci diarahkan dan dibina oleh persepsinya mengenai pandangan dan keyakinan religius orang dewasa. Dunia gambaran dan imajinasi ini menguasai seluruh hidup afektif dan kognitif yang mendasari pola kepercayaan si anak. Gambaran-gambaran tersebut menjadi kuat, bertahan lama dan tetap mempengaruhi secara positif atau negatif seluruh emosional dan kognitif kepercayaan anak d kemudian hari.[44]
Jenis anak yang kita temukan pada tahap ini adalah anak yang di dorong oleh rasa diri yang terbagi antara keinginan untuk mengekspresikan dorongan hatinya dan ketakutannya akan ancaman hukuman karena kebebasannya yang tanpa batas dan tanpa kekang.
3.                  Kepercayaan Mitis-Harafiah (Masa Kanak-kanak Usia 7-12 Tahun)
Pada tahap ini anak mulai belajar melepaskan diri dari sikap egosentrismenya, mulai membedakan antara perspektifnya sendiri dan perspektif orang lain, serta memperluas pandangannya dengan mengambil alih pandangan orang lain. Anak mulai berfikir secara logis dan mengatur dunia dengan kategori-kateori baru. Orang tua masih tetap menjadi sumber autoritas tertinggi baginya khususnya dalam cerita, keyakinan, kepercayaan, dan ibadat khas bagi kelompok keanggotanya, maka usia anak sekolah mulai berangsur-angsur menempatkan diri ke dalam perspektif orang lain serta mengambil alihnya. Yang paling digemari anak pada tahap ini, anak menjadi senang penutur dongeng (mitos) yang sungguh-sungguh. Anak berfikir secara konkret tanpa merefleksikan lebih lanjut tindakan berfikirnya.
Berkat daya logika baru dan pengambilan perspektif orang lain tersebut, maka anak sanggup memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolak ukur logikanya sendiri, pengecekan atau pengamatannya, dan pandangan religius orang dewasa yang diandalkannya sebagai sumber autoritas. Pada tingkat moral, anak belum mampu menyusun dunia batin yaitu seluruh perasaan, sikap dan proses penuntut batiniah, yang dimiliki dirinya sendiri. Apabila ia mau mengreti tatanan moral, kenyataan dan hidup, maka ia bersandar pada struktur-struktur ekstern sikap kejujuran dan mengandalkan orang dewasa yang masih dipandang sebagai instansi wibawa moral. Pandangan moralnya menuntut bahwa yang baik harus dihadiahi dan yang jahat harus dihukum. Pada tahap ini ceritalah yang menjadi sarana utama seseorang untuk mengumpulkan berbagai arti menurut sifat keterkaitannya dan untuk membentuk pendapatnya.
4.                  Kepercayaan Sintetis-Konvensional Masa Adolesen dan Seterusnya, (Usia 12 Tahun sampai Sekitar 20 Tahun)
Disekitar umur 12 tahun, seseorang biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam caranya memberi arti. Karena munculnya kemampuan kognitif baru yaitu perasi-operasi formal, maka seseorang mulai mengambil alih pandangan pribadi orang lain menurut pola “pengambilan perspektif antar pribadi secara timbal balik”. Yang perlu ialah mengintegrasikan segalagambaran diri yang begitu berbeda supaya menjadi satu identitas diri yang koheren. Maka tugas paling pokok tahap ini adalah supaya menciptakan sintesis identitas. Oleh sebab itu tahap ini disebut “sintetis”. Soal identitas dan diri batiniah, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, menjadi topik paling mengasyikan bagi remaja. Seluk beluk kepribadian, gaya dan sisinya menjadi titik perhatian mereka. Gambaran diri itu di bangun dalam ketergantungannya pada orang lain yang berarti baginya. Remaja mendapatkan suatu kumpulan nilai, gambaran relligius, dan keyakinan kepercayaan baginya kriteria adalah fakta bahwa segala nilai, norma, dan keyakinan religius tersebut disahkan para anggota kelompok yang bernilai baginya.
5.                  Kepercayaan Individual-Reflektif (Usia 20 Tahun ke Atas- Awal Masa Dewasa)
Disini orang mengalami suatu perubahan yang mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Orang dewasa muda tidak lagi berhasil mengatasi semua masalah dengan pola pikir konvensional. Pola dasar kepercayaan ini ditandai oleh lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan, dan nilai(religius) lama. Pribadi sudah mampu melihat diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem kemasyarakatan, tetapi juga yakin bahwa dia sendirilah yang memikul tanggung jawab atas penentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya untuk meningkatkan diri dengan cara menunjukkan kesetiaan pada seluruh hubungan dan panggilan tugas. Perubahan akibat struktur berfikir itu yang pertama pada tahap itu yang pertama pada tahap ini muncul suatu kesadaran jelas tentang identitas diri yang khas dan otonomi tersendiri di perjuangkan jenis kemandirian baru. Perubahan penting yang kedua ialah orang dewasa muda mulai mengajukan pertanyaan kritis mengenai keseuruhan nilai dan pandangan hidup.
6.                  Kepercayaan Konjungktif (Usia 35 Tahun ke Atas)
Kepercayaan konjungtif timbul pada masa usia 35 tahun keatas. Perhatian utama pada tahap ini ditunjukkan pada upaya membuat hidupnya lebih utuh, ia lebih peka terhadap fakta bahwa hidupnya merupakan anugrah pemberian daripada hasil rasional kita sendiri. Batas-batas sistem pandangan hidup teridentitas diri yang jelas,kaku, dan tertutup, kini menjadi runtuh. Tahap ini ditandai oleh sesuatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polaritas,ketegangan,paradoks, dan ambiguitas dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya. Kebenaran hanya akan terwujud apabila paradoks dan sebagainnya itu diakui dan diungkap dalam bentuk pemikiran dialektis. Orang mencari berbagai cara dan daya untuk mempersatukan pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam pikiran dan pengalamannya, karna sadar bahwa manusia membuka sebuah tafsiran majemuk terhadap kenyataan multidimensional.
 Peribadi ini mencoba mengolah kembali, memperbaiki, dan memperluas seluruh kebenaran yang diresapkannya pada masa kanak-kanaknya sendiri, tetapi juga sunguh-sungguh menghargai orang lain yang asing sebagai pemilik kebenaran baru. Tahap ini tidak menyediakan tempat bagi sikap sukuisme kelompok yang religius dan homogen dan tertutup atau niat untuk mengadakan perdebatan. 
7.                  Kepercayaan Universalitas (Usia 45 Tahun ke Atas)
Kepercayaan yang mengacu pada Universalitas dapat berkembang pada umur 45 tahun ke atas. Pribadi ini berhasil melepaskan diri dari egonya dan dari pandangan bahwa ego adalah pusat, titik acuan dan kehidupan yang mutlak. Pada tahap ini pribadi melampaui tingkatan paradoks dan polaritas, karena gaya hidupnya langsung berakar pada kesatuan yang ultim, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Idenifikasi dan partisipasi dengan yang ultim sebagai dasar dan sumber segala yang hidup menjadi mungkin, karena pribadi berhasil melepaskan diri dari egonya dan dari pandangan bahwa ego adalah pusat, titik acuan, dan tolak ukur kehidupan yang mutlak. Visi tanggung jawab universal mendorongnya untuk membaktikan seluruh diri penuh cinta kasih dalam berbagai macam keterlibatan etis dan kreatif, misalnya tekad untuk menyelsaikan perselisihan-perselisihan, mengatasi segala macam penidasan dan situasi yang kurang berperi kemanusiaan, membongkar pandangan picik dan akuistik, serta ide dan idola palsu yang biasanya dianut oleh masyarakat luas.[45]
3.5.4.      Perspektif perkembangan iman orang dewasa
Biasanya sesudah sesorang sudah menjadi dewasa ia telah dapat mengatasi keragu-raguan di bidang kepercayaan atau agamanya, yang mengganggunya pada waktu ia masih remaja. Setelah ia menjadi dewasa ia biasanya sudah mempunyai suatu pandangan hidup, yang didasarkan pada agama, yang memberi kepuasan baginya. Atau dapat terjadi bahwa meninggalkan agama yang dianut keluarga, karena mungkin agama tersebut tidak memberi kepuasan kepadanya. Tetapi pada umur 20 tahun periode inilah yang paling tidal religius karena pada masa inilah mereka akan mudah terpengaruh oleh lingkungan mereka, sehingga mereka kurang meminati agama dan tak jarang pergi kegereja atau sikap acuh tak acuh terhadap ibadat.
Apibala sesorang sudah berkeluarga, umumnya ia akan kembali kepada agama,atau setidaknya ia tampak menaruh cukup perhatian. Ia merasa bahwa mengajarkan dasar agama pada anak-anaknya.[46]
a.                  Dewasa dini (usia 18-34 tahun)
Dalam konteks hubungan orang dewasa kaum muda, bimbingan rohani merupakan dialog yang mengundang kaum muda untuk menyadari, mengerti dan menjawab panggilan Yesus dalam konteks pengalaman pribadi dan perkembangan dirinya. Pengalaman pribadi dan perkembangan dirinya. Pengalaman pribadi orang muda sangat dipengaruhi oleh masalah-masalah perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan pribadi. Bimbingan rohani bagi kaum muda bertujuan mengembangkan adanya kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam aktivitas hidup sehari-hari kaum muda, yakni dalam karya bermain,dalam studi, dalam pergaulan ataupun dalam pengalaman apa saja.[47]
            Dalam peningkatan iman orang dewasa pada usia dini perlu sekali pembelajaran yaitu dengan cara:
a.                   Pengenalan akan Allah, sangat sentral dalam kehidupan kristen. sebagaimana diajarkan Alkitab, pengenalan akan Allah merupakan panggilan dan tujuan hidup manusia.
b.                  Pandangan mengenai kedudukan dan fungsi Alkitab. Jadikan alkitab sebagai alat pengajaran, alkitab digunakan sebagai ‘metafora’ dalam upaya menyampaikan nilai-nilai moral, etis dan spritual.
c.                   Pengenalan terhadap Yesus Kristus. Menurut alkitab Yesus adalah ‘manusia ideal’ yang mampu membawa manusia mencapai pemulihan keutuhan. Ia adalah sumber kedamaian batin serta kekuatan spritual dan mental dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari.[48]
b.                  Dewasa Madya (usia 35-60 tahun)
Orang dewasa pada umumnya melihat dirinya sebagai orang yang mandiri, mempunyai rasa identitas individual. Orang dewasa lebih banyak memiliki pengalaman dari pada anak-anak. Tiap orang dewasa masih perlu bertumbuh dalam kedewasaan kepribadian dan kedewasaan imannya. Menurut Efesus 4:15, tiap orang dewasa masih perlu ‘bertumbuh didalam segala hal kearah Dia’. Kedewasaan bukanlah sesuatu yang bisa dicapai sekaligus, melainkan sesuatu yang masih harus berkembang dalam proses waktu panjang. Dewasa secara fisik dan usia belum berarti dewasa secara kepribadian, moral dan kepercayaan. Begitupula kedewasaan dalam iman perlu adanya pembekalan samapai kita semua telah mencapai kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.[49]
 Orang dewasa masih membutuhkan pendidikan dan pembinaan dalam gereja agar mereka dapat hidup sebagai orang Kristen yang dapat bertanggung jawab dalam dunia karjanya. Orang dewasa adalah orang yang setia dan bertanggung jawab. Orang dewasa setia kepada janji, tujuan, prinsip, dan imannya. Karna itu kedewasaan bukan soal umur atau ‘kurun waktu menjadi kristen’ namun soal sikap, khususnya sikap setia (konsekwen dan konsisten) terhadap janji,prinsip,tujuan,cita-cita dan iman.[50]
c.                   Dewasa lanjut ( usia 60 tahun keatas)
Iman orang dewasa lanjut usia sangatlah penting untuk di tingkatkan karena dalam kehidupan sehari-hari lansia adalah conoh teladan bagi generasi yang dibawahnya. Seperti seorang anak mempunyai kecenderungan yang besar untuk belajardan mengikuti setiap kebijakan orang tuanya, begitulah dari posisi lansia ditengah kehidupan sosialnya. Ia adalah panutan dan tempat orang meminta nasihat, untuk memelihara pertumbuhan iman bagi orang yang lenjut usia dapat diadakan penbelajaran Pak melalui gereja.[51]
Proses pendewasaan diri dalam kristus dapat terus maju walaupun orang semakin tua, karna Kristus selalu bersama kita menarik kita agar semakin dekat dengannya. Kristus senantiasa menawarkan anugrahNya agar kita semakin bertumbuh didalam kasih terhadap Tuhan dan sesama.[52]
3.6. PAK dan Pendidikan Nilai Orang Dewasa
Nilai merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran, norma-norma, dan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan dan pandangan moral secara kritis.[53]  Nilai merupakan suatu ide sebuah konsep mengenai sesuatu yang dianggap penting dalam kehidupan. Ketika seseorang menilai sesuatu ia menganggap sesuatu tersebut berharga untuk dimiliki, berharga untuk dikerjakan, atau berharga untuk dicoba maupun untuk diperoleh. Studi tentang nilai biasanya terbagi ke dalam area estetik dan etik. Estetik berhubungan erat dengan studi dan justifikasi terhadap sesuatu yang dianggap indah oleh manusia apa yang mereka nikmati. Etik merupakan studi dan justifikasi dari tingkah laku bagaimana orang berperilaku. Dasar dari studi etik adalah pertanyaan mengenai moral yang merupakan suatu refleksi pertimbangan mengenai sesuatu yang dianggap benar atau salah.”[54]
Pendidikan nilai adalah pendidikan yang mempertimbankan objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yang menilai benar/salahnya hubungan antar pribadi.[55]
3.6.1.      Tujuan Pendidikan Nilai
Kohlberg (1977) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan nilai adalah  mendorong perkembangan tingkat pertimbangan moral peserta didik.[56] Secara sederhana, Suparno melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka. Sehingga peserta didik dapat mengembangkan kemampuan untuk mengontrol tindakanya, dan memahami keputusan moral yang diambilnya.[57]
3.6.2.      Unsur Pendidikan Nilai
Pendidikan Nilai mengandung tiga unsur utama yaitu ontologis Pendidikan Nilai, epistemologis Pendidikan Nilai dan aksiologis Pendidikan Nilai.
a.       Dasar Ontologis Pendidikan Nilai
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan Nilai. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan Nilai melalui pengalaman panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil Pendidikan Nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya. Objek formal Pendidikan Nilai dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh maka akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
b.      Dasar Epistemologis Pendidikan Nilai
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan nilai atau pakar pendidikan nilai demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan Nilai memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena pendidikan. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan pendidikan nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis.
c.       Dasar Aksilogis Pendidikan Nilai
Kemanfaatan teori Pendidikan Nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai pendidikan nilai tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan.[58]
3.7. PAK dan Moral Orang Dewasa
3.7.1.      Pengertian Moral secara Umum
mengenai ajaran-ajaran moral atau etika sebagai ilmu tentang moralitas.[59] Moralitas memiliki arti yang pada dasarnya sama dengan “moral” hanya ada nada lebih abstrak Dari segi etimologi kata moral berasal dari bahasa latin mores  yang berasal dari suku kata “mos” yang artinya adat atau cara hidup.[60] Mores berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, yang kemudian artinya berkembang menjadi sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik. Moral adalah sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tinfkah laku. Moral juga memiliki hubungan dan berkaitan dengan etika, dimana etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan  dengan baik dan buruk.[61] Moralitas mengacu pada arti budi pekerti, selain itu moralitas juga mengandung arti adat istiadat, sopan santun dan perilaku.[62] Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitas yang bernilai secara moral.[63]
3.7.2.      Pengertian Moral menurut Tokoh
-          Kohlberg mengatakan moral adalah penilaian dan perbuatan yang bersifat rasional.[64]
-          Durkheim mengatakan moralitas dalam segala bentuknya tidak hidup kecuali dalam masyarakat. Ia takkan berubah kecuali dalam hubungannya dengan kondisi=kondisi sosial. Dengan kata lain moralitas tidak bersumber pada individu, melainkan bersumber pada masyarakat dan merupakan gejala masyarakat.[65]
-          Dewey menyatakan  bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungandengan nilai-nilai susila.
-          W. J. S. Poerdarminta menyatakan bahwa moral merupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan.[66]
-          Baron dkk. menyatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
-          Magnis Susino menyatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
-          Henri Bergson mengatakan moralitas yang didasarkan kewajiban natural ditentukan oleh masyarakat, berada dalam hubungan terbatas.[67]
3.7.3.      Menurut Kekristenan
Setiap agama pasti manusia diajarkan bagaimana menggunakan moral dalam kehidupannya. Dalam agama Kristen, moral kita di tempa dengan berbagai firman dan hukum yang sudah di tuliskan didalam firman Tuhan. Dengan firmannya Tuhan mengajarkan tentang bagaimana jalan hidup yang benar dan bagaimana cara mendapatkan jalan keselamatan. Dengan bermoral dan memiliki moral yang baik kita akan mejalankan setiap hukum Tuhan yang ada dengan penuh rasa tanggung jawab, dan itu menjadi salah satu jalan mendapatkan keselamatan.  Oleh iman kepada Tuhan dan mengarahkan hati serta pandangan kita kepada Tuhan kita dengan sendirinya akan membangun moral yang baik didalam hidup kita. Akan tetapi cobaan akan selalu menghampiri setiap manusia, untuk mencobai iman kita. Secara tidak langsung setiap cobaan yang ada selain menguji iman kita hal tersebutpun akan mencobai pertumbuhan moral kita. Maka dengan iman yang baik, moral yang kita miliki akan tetap terjaga dan tetap bertumbuh terutama didalam Tuhan. Selain itu dengan iman yang baik, moral kita yang ada tetap terjaga dari cobaan yang datang baik dari keluarga, lingkungan, dan lain-lain seperti yang tadi sudah kita baca. Dengan iman yang ada manusia harus belajar untuk menumbuhkan moralnya. Dalam firmannya, Tuhan selalu mengajarkan tentang bagaimana agar kita tetap memiliki moral yang baik. Salah satunya dengan menjalankan 10 hukum Tuhan. Dalam Kristen, moralitas diartikan sebagai suatu upaya filosofi untuk tetap dapat memelihara keberlangsungan hidup kemanusiaan itu sendiri atau lebih mudahnya upaya untuk manusia membenarkan diri tanpa Kristus Yesus, Tuhan dan Juruselamat manusia yang mempesonakan itu.[68]
3.7.4.      Tahap Perkembangan moral
Menurut Lawrence Kohlberg tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Tahap-tahap berkembangan moral tersebut terdiri atas 3 tahap dan masing-masing terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu :
1.      Tingkat Prakonvensional yaitu tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu atau anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya, baik itu berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Pada tingkat ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi relativitas instrumental. Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a.      Tahap Punishment and Obedience Orientation (Orientasi kepada hukuman dan ketaatan)
Pada tahap ini, yang merupakan awal kesadaran seorang anak atau orang dewasa yang mendasarkan perbuatan atas pertimbangan ketakutan atau hukuman sebagai akibat tindakannya. Tahap ini menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.
b.      Tahap Instrumental-Relativist Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan. Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang berlangsung di pusat perbelanjaan, di mana terdapat timbal balik dan sikap terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.
2.      Tingkat Konvensional ialah tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok atau masyarakat. Pada tingkat ini terdapat juga dua tahap, yaitu tahap orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut “orientasi anak manis” serta tahap orientasi hukum atau ketertiban. Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a)      Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Anak biasanya akan menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan bermoral. Moralitas suatu tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
b)     Tahap Law and Order Orientation (Orientasi hukum dan tata tertib umum)
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada.
3.      Tingkat Pascakonvensional adalah tahap dimana orang dewasa meyakini bahwa semua yang baik dan tidak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip etis yang dipilih sendiri yang meluas dan universal.[69] Pada tahap ini juga perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, hal ini terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Pada tingkatan ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi kontrak sosial legalitas dan tahap orientasi prinsip etika universal. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu:
a. Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation (Orientasi kontrak sosial yang legalistik)
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.
b. Tahap Orientation of Universal Ethical Principles (Orientasi asas etis yang universal)
Pada tahap ini apa yang dianngap baik atau benar adalah apa yang hati nurani orang menetapkan sesuai dengan azas keadilan yang universal, yang menghormati sesama, harkat dan martabatnya. Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya. Ini merupakan puncak dari perkembangan moral.
3.7.5.      Peran PAK dalam Membentuk Moralitas Orang Dewasa
Pendidikan Agama Kristen terhadap orang dewasa untuk membantu hidup sebagaimana Kristus menghendaki. Pendidikan Agama Kristen harus mampu mendorong agar iman bukan hanya sebatas pemaham doktrin tentang Tuhan dan perbuatannya, tetapi nyata dalam praktek kehidupan sehari-hari. PAK juga berperan aktif dalam merubah moral agar lebih baik.
IV.             Ibadah kebaktian Fellowship prayer (Doa Persaudaraan)
4.1. Sejarah Fellowship prayer
The Fellowship , juga dikenal sebagai The Family , dan International Foundation  adalah organisasi keagamaan dan politik berbasis di AS yang didirikan pada tahun 1935 oleh Abraham Vereide . Tujuan lain dari Fellowship adalah untuk menyediakan sebuah forum persekutuan bagi para pengambil keputusan untuk berbagi dalam pelajaran Alkitab, pertemuan doa , pengalaman pemujaan, dan untuk mendapatkan penegasan dan dukungan spiritual.
Fellowship telah digambarkan sebagai salah satu kementerian yang paling berhubungan dengan politik di Amerika Serikat. Fellowship menghindari publisitas dan anggotanya berbagi sumpah kerahasiaan. Pemimpin Fellowship Doug Coe dan lainnya telah menjelaskan keinginan organisasi untuk kerahasiaan dengan mengutip peringatan alkitabiah terhadap pajangan umum tentang karya-karya bagus, dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan dapat mengatasi misi diplomatik yang sensitif jika mereka menarik perhatian publik.
Fellowship mengadakan satu acara publik reguler setiap tahun, Sarapan Doa Nasional diadakan di Washington, DC Setiap presiden Amerika Serikat yang hadir sejak Dwight D. Eisenhower telah berpartisipasi dalam setidaknya satu Sarapan Doa Nasional selama masa jabatannya. Peserta yang dikenal Fellowship termasuk mendata pejabat pemerintah Amerika Serikat, eksekutif perusahaan, kepala organisasi bantuan agama dan kemanusiaan, dan duta besar dan politisi berpangkat tinggi dari seluruh dunia. Banyak Senator dan Kongres Amerika Serikat telah secara terbuka mengakui bekerja dengan Fellowship atau didokumentasikan karena telah bekerja sama untuk menyampaikan atau mempengaruhi undang-undang.
Di majalah Newsweek , Lisa Miller menulis bahwa alih-alih menyebut diri mereka "orang Kristen", sebagaimana mereka menggambarkan diri mereka sendiri, mereka dipersatukan oleh kasih bersama untuk ajaran Yesus dan bahwa semua pendekatan terhadap "mengasihi Yesus" dapat diterima. Investigative reporter Jeff Sharlet menulis sebuah buku, The Family: The Secret Fundamentalism at the Heart of American Power , dan juga sebuah artikel di majalah Harper , yang menggambarkan pengalamannya saat bertugas sebagai magang di Fellowship . Dia berpendapat bahwa Fellowship memikat kekuatan dengan membandingkan Yesus dengan " Lenin , Ho Chi Minh , Bin Laden " sebagai contoh para pemimpin yang mengubah dunia melalui kekuatan perjanjian yang telah mereka tempuh dengan "saudara laki-laki" mereka.
Tujuan dari Fellowhip prayer adalah karena Manusia sangat menginginkan persekutuan. Sebagian besar dari kita menginginkan sebuah kesempatan untuk membuat perasaan kita diketahui, untuk menghubungkan pengalaman pribadi kita, untuk membandingkan catatan dengan orang lain, dan, dalam kesatuan semangat untuk menerima pembaharuan, inspirasi, bimbingan, dan kekuatan dari Tuhan. Kelompok seperti yang kita pikirkan telah mencirikan setiap kebangkitan spiritual. Yesus memulai dengan Petrus dan Yakobus dan Yohanes. Dia memiliki dua belas dan Tujuh Puluh. Di Betania dia mendirikan sebuah sel ... di situlah Anda memiliki rumus ... iman mewujudkan persekutuan informal yang sama erat ... satu latihan umum - berkumpul bersama dalam nama Yesus.
Dalam kebaktian fellowship prayer (Doa Persaudaraan) saat ini, ibadah ini dilakakukan dengan sangat komplek dan biasanya dilakukan dirumah jemaat dengan tujuan untuk meningkatkan rasa solidaritas atau kebersamaan jemaat, serta untuk mendoakan pergumulan daripada tuan rumah serta pergumulan-pergumulan dari pada jemaat yang akan dibawakan pada doa syaat.
V.                Pengajaran Orang Dewasa
I.                   HOOK
1.1. Attention       : Umum
1.2. Durasi            : 40 Menit
1.3.Tema              : “Memperkenalkan Allah yang benar”
1.4. Teks/Bahan Pengajaran      : Kisah Para Rasul 17:22-31
1.5. Tujuan
1.      Agar Jemaat dapat menjelaskan Allah yang benar menurut ajaran Paulus
2.      Agar Jemaat dapat mengerti sejauhmana usaha penginjil dalam menyebarkan injil
3.      Agar Jemaat dapat melakonkan bagaimana semangat penginjilan yang dilakukan Paulus
4.      Agar Jemaat dapat menceritakan tujuan keadiran Paulus ke Areopagus
1.6. Penjelasan Teks dan Tema
Ø  Latar belakang Paulus
Paulus dari Tarsus (awalnya bernama Saulus dari Tarsus) atau Rasul Paulus, (3 – 67 M) diakui sebagai tokoh penting dalam penyebaran dan perumusan ajaran kekristenan yang bersumberkan dari pengajaran Yesus Kristus. Paulus memperkenalkan diri melalui kumpulan surat-suratnya dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen sebagai seorang Yahudi dari suku Benyamin, yang berkebudayaan Yunani (helenis) dan warga negara Romawi. Ia lahir di kota Tarsus tanah Kilikia (sekarang di Turki), dibesarkan di Yerusalem dan dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel. Pada masa mudanya, ia hidup sebagai seorang Farisi menurut mazhab yang paling keras dalam agama Yahudi.[5] Mulanya ia seorang penganiaya orang Kristen (saat itu bernama Saulus), dan sesudah pengalamannya berjumpa Yesus di jalan menuju kota Damaskus, ia berubah menjadi seorang pengikut Yesus Kristus.
Paulus menyebut dirinya sebagai "rasul bagi bangsa-bangsa non-Yahudi" (Roma 11:13). Dia membuat usaha yang luar biasa melalui surat-suratnya kepada komunitas non-Yahudi untuk menunjukkan bahwa keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus adalah untuk semua orang, bukan hanya orang Yahudi. Gagasan Paulus ini menimbulkan perselisihan pendapat antara murid-murid Yesus dari keturunan Yahudi asli dengan mereka yang berlatar belakang bukan Yahudi. Mereka yang dari keturunan Yahudi berpendapat bahwa untuk menjadi pengikut Yesus, orang-orang yang bukan Yahudi haruslah pertama-tama menjadi Yahudi terlebih dulu. Murid-murid yang mula-mula, Petrus, sempat tidak berpendirian menghadapi hal ini (lihat Galatia 2:11-14). Untuk menyelesaikan konflik ini, diadakanlah persidangan di Yerusalem yang dipimpin oleh Petrus dan Yakobussaudara Yesus, yang disebut sebagai Sidang Sinode atau Konsili Gereja yang pertama (Konsili Yerusalem).
Konsili ini menghasilkan beberapa keputusan penting, misalnya:
1.     untuk menikmati karya penyelamatan Yesus, orang tidak harus menjadi Yahudi terlebih dahulu
2.     orang-orang Kristen yang bukan berasal dari latar belakang Yahudi tidak diwajibkan mengikuti tradisi dan pantangan Yahudi (misalnya perihal tentang sunat dan memakan makanan yang diharamkan).
3.     Paulus mendapat mandat untuk memberitakan Injil ke daerah-daerah berbahasa Yunani.
Paulus dijadikan seorang Santo (orang suci) oleh seluruh gereja yang menghargai santo, termasuk Katolik RomaOrtodoks Timur, dan Anglikan, dan beberapa denominasi Lutheran. Dia berbuat banyak untuk kemajuan Kristen di antara para orang-orang bukan Yahudi, dan dianggap sebagai salah satu sumber utama dari doktrin awal Gereja, dan merupakan pendiri kekristenan bercorak Paulin/bercorak Paulus. Surat-suratnya menjadi bagian penting Perjanjian Baru. Banyak yang berpendapat bahwa Paulus memainkan peranan penting dalam menjadikan agama Kristen sebagai agama yang berdiri sendiri, dan bukan sebagai sekte dari Yudaisme.
Ø  Latar belakang cerita
AreopagosAreopagus atau Areios Pagos (bahasa YunaniΆρειος Πάγος, "bukit Ares") merupakan sebuat tempat di barat laut Akropolis yang pada masa kuno digunakan sebagai tempat untuk mengadili perkara kejahatan. Di Athena. Dewa Ares (dewa perang) pernah diadili di sini oleh para dewa atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap Alirrothios, anak Poseidon. Dalam Eumenides karya Aeskhilus (tahun 458 SM), Areopagos adalah tempat pengadilan Orestes atas pembunuhan terhadap ibunya, (Klitemnestra), dan kekasih ibunya, (Aegisthus). Seorang bernama Dionisius, disebut sebagai seorang anggota majelis Areopagus.
Istilah "Areopagus" juga dapat merujuk pada sebuah badan yudisial, yaitu majelis yang menangani bidang pendidikan, moral, dan keagamaan di dalam komunitas, dari kalangan aristokrat yang pada nantinya akan menjadi majelis tinggi di Yunani modern.
Pada abad ke-6 SM seorang pujangga asal pulau Kreta bernama Epimenides berhasil menghentikan suatu tulah hebat yang menimpa kota Atena dengan meminta tolong kepada suatu "allah yang tidak dikenal" oleh orang-orang Atena. Karena itulah ada altar dibangung untuk "Allah yang tidak dikenal". Paulus pasti tahu mengenai Epimenides, karena ia mengutip salah satu sajaknya dalam suratnya kepada Titus:
Sehingga itulah yang menjadi alasan untuk kedatangannya ke Areopagus. Paulus melihat bahwa jemaat disana perlu diberi pemahaman bagaimana Allah yang sebenarnya, yang tidak seperti apa yang mereka pikirkan
Ø  Penjelasan teks dengan menggunakan tafsiran Retorika
1. Unit Retorika
Dalam pendekatan retorik, penting untuk membatasi bagian atau unit retorika. Salah satu pidato retorika dalam kitab Kisah Para Rasul adalah pidato rasul Paulus di Areopagus (17:22b-31). Akan tetapi pidato ini tidak dapat berdiri sendiri jika tidak memperhatikan konteks teksnya secara keseluruhan. Konteks teks yang lebih luas dari bagian ini tentu saja kitab Kisah Para Rasul secara keseluruhan dari pasal 1 sampai pasal 28. Kemudian dibatasi lagi dengan menekankan perhatian pada bagian kedua dari kitab Kisah Para Rasul yang mengarahkan ceritanya pada pemberitaan Injil oleh Paulus dan teman-temannya kepada orang-orang bukan Yahudi.
Mencermati pidato retorik dengan lebih cermat, maka didapati bahwa pidato Paulus di Areopagus itu terjadi di Atena. Informasi itu dapat ditemukan dalam 17:16a, “…sementara Paulus menantikan mereka di Atena…” yang merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya (17:15, “…orang-orang yang mengiringi Paulus menemaninya sampai di Atena, lalu kembali dengan pesan kepada Silas dan Timotius, supaya mereka selekas mungkin datang kepadanya…”). Dengan demikian, batas awal untuk menentukan unit retorika pidato ini adalah 17:16.
Kemudian dalam 18:1 dikatakan, “kemudian Paulus meninggalkan Atena, lalu pergi ke Korintus...” Keterangan ini membuktikan bahwa Paulus telah berpindah tempat untuk memberitakan Injil dari Atena ke Korintus. Dengan demikian bagian sebelumnya (17:34) merupakan akhir dari kisah tentang pemberitaan Injil oleh Paulus di Atena. Jadi, batas akhir untuk menentukan unit retorika adalah 17:34.
2. Situasi
Yang dimaksud dengan situasi disini adalah mengidentifikasi orang-orang yang turut terlibat dan berpengaruh sehingga pidato itu terjadi, juga peristiwa-peristiwa yang terjadi yang mendahului pidato retorika itu. Kisah Para Rasul 17:16-21 dapat menunjukan situasi yang melatar belakangi terjadinya pidato Paulus di Areopagus. Ketika itu, Paulus sedang menantikan kedatangan Silas dan Timotius yang masih berada di Berea (17:14-15). Sebelumnya ketiga orang ini mengabarkan Injil di Berea, tetapi terjadi masalah dengan orang Yahudi dari Tesalonika yang tidak suka dengan pemberitaan Injil oleh Paulus. Akibatnya, Paulus pergi ke Atena, sedangkan Silas dan Timotius masih di Berea.
Sementara menantikan Silas dan Timotius di Atena, Paulus merasa sedih karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala (kateidoolon, 17:16) yang disembah oleh penduduk Atena. Setelah mendapat pemandangan seperti itu, Paulus bertukar pikiran bukan hanya dengan orang Yahudi (tentunya di sinagoga), tapi juga dengan siapa saja di pasar (agora), tempat yang bukan hanya untuk berdagang, tapi juga untuk kehidupan umum dan tempat mengulas persoalan filsafat dan agama (17:17).
Pemberitaan Injil oleh Paulus mendapat (salah) tanggapan dari beberapa filsuf-filsuf Epikuros dan Stoa, sebab mereka menganggap bahwa Paulus memberitakan sesuatu ajaran yang asing di telinga mereka. Ajaran yang asing itu adalah pemberitaan Paulus tentang Yesus dan kebangkitan-Nya (anastasis). Ada yang menganggapnya sebagai pembual atau peleter yang memberitakan ajaran kebangkitan yang tidak masuk akal – karena para pendengarnya, terlebih kaum Epikuros, tidak mengakui adanya kebangkitan sesudah kematian. Yang lain salah sangka, karena menganggap Paulus menyebarkan adanya dewa-dewa baru yang asing bagi mereka. Yang pertama adalah dewa Yesus dan yang kedua adalah dewi Anastasis (17:18). Oleh karena rasa penasaran tentang ajaran baru itu, maka mereka mengundang Paulus untuk menjelaskan lebih dalam lagi apa yang sedang diberitakannya itu di Areopagus, yaitu suatu tempat berkumpul para anggota dewan sipil yang membahas masalah filsafat dan agama. Mereka membawanya bukan untuk mengadilinya, tetapi karena ingin tahu tentang ajaran Paulus (17:19-21).
3. Eksposisi
Paulus mendekati masyarakat beragama di Atena. Ia memulai pidatonya (exordium) dengan mengambil hati para pendengar: “Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.” (17:22). Ada catatan penerjemahan dalam bagian ini, yaitu istilah deisidamonterous harusnya diterjemahkan dengan “sangat beragama” tanpa tambahan “kepada dewa-dewa.” Bentuk plural kata itu menunjukkan pluralitasnya masyarakat yang beragama, bukan pluralitasnya sesembahan (Yang Ilahi). Ini menunjukkan bahwa Paulus sangat menghargai ibadah orang Atena. Walaupun memang sebelumnya Paulus bersedih karena masyarakat beragama di Atena merealisasikan cara beragama itu melalui patung-patung (17:16).
Paulus kemudian menceritakan (narratio) bahwa ia melihat objek-objek ibadah di tempat-tempat pemujaan/ibadah mereka (sebasmata; 17:23a). Di sana juga ia menemukan sebuah mezbah dengan tulisan: “Kepada Allah yang tidak dikenal.” Bentuk tunggal menunjukkan adanya monoteisme di Atena. Selanjutnya Paulus mengemukakan (propositio) bahwa Allah yang tidak mereka kenal, itulah yang diberitakan olehnya agar supaya mereka mengenal Allah itu (17:23b).
Bagian selanjutnya, Paulus menguji dan membuktikan (probatio) apa yang menjadi propositio tadi. Ia menunjukkan: pertama, Allah, yang adalah Sang Pencipta alam semesta, juga Tuhan langit dan bumi tidak tinggal dalam kuil/tempat ibadah yang dibuat oleh tangan manusia (17:24), Dia yang adalah Pemberi dan Pemelihara hidup tentu tidak perlu dihidupkan dan dilayani dengan korban persembahan atau sesajen dari manusia (17:25). Kedua, bahwa Allah membuat seluruh umat manusia dari satu orang saja, yang kemudian menentukan ruang dan waktu bagi mereka, dengan tujuan agar kiranya manusia mencari dan menemukan Dia (17:26-27b). Ketiga, Paulus memakai dukungan dari dua filsuf Yunani yang memiliki pandangan tentang Yang Ilahi, yaitu Epimenides (VI sM), yang memahami bahwa Allah sangat dekat dengan manusia, karena ia menyadari bahwa manusia hidup, bergerak dan ada di dalam Allah (17:27b-28); filsuf berikutnya, yaitu Aratos – yang menulis buku Phainomena dan merupakan sesepuh kaum Stoa – yang meyakini bahwa manusia berasal dari keturunan Allah (17:29). Karena berasal dari keturunan Allah, maka manusia tidak boleh membuat patung-patung Allah (17:30).
Pidato Paulus kemudian ditutup dengan peroratio. Dengan melihat bahwa patung-patung, Paulus mengatakan bahwa mereka sementara berada dalam zaman ketidaktahuan – di sini sengaja digunakan kata ketidaktahuan ketimbang kebodohan mengingat kesopanan bahasa retorika – tentang Allah. Akan tetapi hal itu tidak lagi menjadi persoalan, karena Allah sedang menyerukan sekaligus memerintahkan agar mereka bertobat dengan mengubah hidupnya selama ini (17:30). Alasan penyampaian berita pertobatan itu adalah karena hari pertanggungjawaban/pengadilan telah ditentukan oleh Allah Yang Esa, yaitu pengadilan yang oleh seorang yang telah ditentukan dengan membangkitkan-Nya (17:31).
Semua yang disampaikan oleh Paulus hingga ayat 30 pada dasarnya memiliki kesetaraan dengan pandangan pemikir Yunani dan juga pandangan kaum Yahudi dan pandangan Kristen. Arti hal ini adalah Paulus hendak memberikan suatu dasar bersama agar supaya semua orang dapat memahami apa yang sedang dibicarakan, walaupun berbeda agama.
Walaupun demikian, dalam ayat 31 terjadi pergeseran argumen Paulus yang mengetengahkan pandangan Kristen tentang pengadilan oleh seorang yang ditentukan oleh Allah – di sini Paulus tidak menyebut nama Yesus. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa kebangkitan (anastasis), yang tadinya menjadi alasan untuk bekumpul di Areopagus, tidak lagi menjadi persoalan utama, tetapi bergeser pada pengadilan sebagai pertanggungjawaban sikap manusia di dunia.
4. Tanggapan Pendengar Terhadap  Paulus
Tanggapan terhadap pidato Paulus itu beragam: ada yang mengejek karena dianggap tidak bahwa pemberitaan Paulus dianggap tidak sesuai dengan pandangan mereka yang tidak mengakui adanya kebangkitan sesudah kematian (17:32a), ada yang berminat dengan menghendaki pembicaraan lebih lanjut di lain kesempatan (17:32b), walaupun hal ini tidak disinggung lebih lanjut. Ada juga yang menerima pemberitaan itu, seperti Dionisius (seorang filsuf dan cendekiawan anggota majelis Areopagus), seorang perempuan bernama Damaris, dan beberapa orang yang lain.
4.1. Paulus Sebagai Kerangka Kontekstualisasi Injil Dalam Konteks Pluralisme Agama
Perjumpaan berita Injil dengan dunia filsafat, budaya dan agama Yunani di Atena ini menunjukkan bahwa Injil, yang dibawa oleh Paulus, dapat menarik minat setiap orang asal menggunakan pendekatan yang sesuai dengan konteksnya. Lukas, melalui Paulus, dengan jenius mengupayakan kontekstualisasi Injil dalam konteks agama, budaya dan filsafat Yunani. Dengan mengambil konteks Atena, maka alam pikiran Yunani Romawi dapat terwakilkan.
Sehubungan dengan kerangka berteologi gereja dalam konteks pluralisme agama, belajar dari retorika Paulus di Atena, maka beberapa hal yang dapat dicantumkan adalah:
1. Pemberitaan Injil hendaknya dimulai dengan dialog iman yang menggunakan dasar bersama. Apabila orang Kristen memberitakan Injil dengan langsung menyebut istlah-istilah seperti Trinitas, Pengakuan Iman Rasuli dan sebagainya, tentu akan menimbulkan ketegangan dan mungkin konflik. Hal-hal yang diakui secara bersama, seperti Allah yang Esa, Yang menciptakan dan memelihara alam semesta, Yang memberi hidup kepada manusia, Yang menyediakan tempat dan musim bagi manusia, kiranya lebih sesuai dengan iman semua agama. Dialog yang dimulai dengan pengakuan bersama ini lebih menjanjikan dalam mencari titik temu agama-agama di manapun.
2. Berbagai tanggapan atas pemberitaan Injil oleh Paulus di Atena menunjukkan bahwa percaya kepada Yesus bukanlah satu-satunya hasil dari dialog iman. Dalam konteks pluralitas agama yang mengarah pada hidup bersama (ekumene), maka perhatian satu dengan yang lain dan minat untuk mempelajari agama lain diperlukan, agar kiranya terjadi transformasi pemahaman yang mengarah pada perubahan sikap hidup dan lebih menekankan pada kesejahteraan bersama. Bukankah salah satu aspek Injil adalah kesejahteraan secara bersama? Jika ini terjadi, maka pemeluk agama yang satu tidak perlu berpindah agama.
3. Pandangan bahwa Allah tidak diam dalam kuil-kuil buatan manusia, kiranya menyadarkan setiap agama bahwa Allah tidak dapat dikurung dalam ajaran-ajaran masing-masing yang mengklaim kebenarannya. Allah yang sama, yang disembah oleh semua agama, merupakan Dia yang memberikan penyataan (wahyu) kepada semua agama, dan dengan demikian Ia ada dalam setiap agama. Wahyu Allah yang sama itu, kemudian menjadi berbeda-beda berdasarkan tafsiran masing-masing agama. Perbedaan itu tidak dapat dipertentangkan. Karena itu, setiap agama hendaknya tidak tertutup, tetapi terbuka satu dengan yang lain dalam membagi kebenaran wahyu Allah. Dengan demikian, maka akan tercipta sikap saling mengakui kebenaran-kebenaran yang ada pada masing-masing agama
II.                BOOK
a.       Buku
Ø  Alkitab
Ø  Tafsiran Alkitab Masa Kini 2
Ø  Pembimbing kedalam Perjanjian Baru (M.E. Duyverman, Jakarta:BPK-GM,2009)
Ø  Tafsiran Retorika
Ø  Pengantar PB (Willi Marxen,Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2012)
Ø  Survei Perjanjian Baru (Merill C. Tenney, Malang: Gandum Mas,1997)
Ø  Ajarlah mereka (G. Riemer, OMF, 1998)
b.      Metode, Media, Cara Pengajaran serta Tujuannya.
Metode
Media
Cara Pengajaran
Tujuan Pengajaran
Lecture
-
Menjelaskan pengajaran dengan  berceramah
Agar Pemuda-pemudi dapat lebih memahami bagaimana cara memperkenalkan Allah dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh Paulus melalui ceramah yang diberikan
Story Telling (Bercerita)
-
Bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu kejadian yang terjadi dalam teks/ tema. Seperti halnya menceritakan historis dari tujuan Paulus datang ke Areopagos
Agar Pemuda-pemudi bisa lebih mengerti alur cerita/ bagaimana Paulus hadir dan tujuan kehadirannya di Areopagos, serta cara Paulus dalam pengabaran injil.

III.             LOOK
3.1.Kegiatan pengajaran
Disesuaikan dengan Almanak GKPI (Acara Kebaktian Sektor)
1.      Ende No. 133:1-2
2.      Votum/Introitus
3.      Ende No. 162:1+8
4.      Epistel: Psalm/Mazmur 68:20-22, 32-36
5.      Ende No. 251:1+4
6.      Jamita/Kotbah: Ul. Apostel/Kisah Para rasul 17:22-31
7.      Ende No. 187:4
8.      Tangiang Pangondianon/Doa Syafaat
9.      Ende No. 417:3
10.  Ayat Pelean/Ayat persembahan: Mazmur/Psalm 30:5
11.  Tangiang pelean/Doa Persembahan
12.  Ende No. 292:5
13.  Tangiang Panutup/Doa Penutup: Ale Amanami/ Bapa kami...
14.  Pasupasu/Berkat
15.  Ende No.221:6
IV.             TOOK
Dari pengajaran yang telah diberikan kepada Jemaat, mereka diharapkan dapat memahami bagaimana usaha dan tujuan Paulus dalam memperkenalkan Allah yang benar serta metode penginjilan apa yang digunakannya, sehingga Jemaat dapat melakonkan karakter yang memiiki semngat dalam menginjili dari seorang Paulus, mampu membedakan berhal-berhala dalam kehidupan dan juga setelah memahami pengajaran yang diberikan, Jemaat dapat mengetahui bagaimana itu Allah yang benar menurut nat Kisah Para Rasul dan dapat menjelaskannya kembali kepada sesamanya serta dapat mengaplikasikan pesan dari pengajaran dalam kehidupannya.
Motto  : “Pikiranku tidak akan mengalahkan imanku dalam mengenal Allah”
V.                Daftar Pustaka
Sumber Buku:
A. Supratiknya, Teori Perkembangan Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1995
Amril M., Etika dan Pendidikan, Pekanbaru: LSFK2P, 2005
Andar Ismail, Mulai dari Musa dan Segala Nabi, Jakarta: BPK-GM, 2003
Andi Marpiare, Psikologi Orang Dewasa, Surabaya: Usaha Nasional, 1983
B. Samuel Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, Yogyakarta: ANDI, 1996
Bertens, Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002
Charles M. Shelton SJ, menuju Kedewasaan Kristen, Yogyakarta: Penerbit Knisius,1988
Daniel Nuhamara, PAK Dewasa, Bandung: penerbit Jurnal Info Media,2008
Desmita, Psikologi Perkembangan, Bandung: Rodas Karya, 2015
Duyverman, M.E., Pembimbingke dalam Perjanjian Baru, Jakarta:BPK GM,2009
E.G. Homrighausen & Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2012
Earl Zeigler, Christian Education of Adults, Philadelphia: The Westminster Press
Elia Tambunan, Pendidikan Agama Kristen: Handbook Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: IllumiNation, 2013
Elin Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen, Cipanas: STT Cipanas, 1999
Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 1980
Elizabeth H. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, 1990
G. Riemer, Ajarlah Mereka, Jakarata: OMF, 1998
H. Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
H. Suprianto, Pendidikan Orang Dewasa dari Teori Hingga Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2002
Herimanto, Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
James W. Fowler, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius
Janse Belandino, Suluh Siswa I, Jakarta: BPK-GM, 2005
Jonse Belandia Non-Serrano, Pedoman untuk Guru PAK SD-SMA Dalam melaksanakan Kurikulum Baru, Bandung: Bina Media Informasi, 2006
M. Sobry Sutikno, Belajar dan Pembelajaran, Lombok: Holistica, 2013
Marxsen, Willi, Pengantar Perjanjian Baru, Jakarta:BPK GM, 2012
Mulyana, R., Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2004.
Nawawi, Ahmad, Pentingnya Pendidikan Nilai Moral Bagi Generasi Penerus(jurnal), Bandung: UPI, 2010
RitaL.atkinson, dkk, Pengantar Psikologi Edisi kesebelas, Batam: Interaksara
Rudi Susilana dan Cepi Riyana, Media Pembelajaran, Bandung: CV Wacana Prima, 2009
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Shahizan Hasan, dkk, Komunikasi Kaunseuling, Bukit Tinggi: PTS Professional, 2005
Sofyan Sauri dan Herian Firmansyah, Meretas Pendidikan Nilai, Bandung: Armico,2010
Suprijanto, H, Pendidikan orang dewasa; dari teori hingga aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Tenney, Merill C., Survei Perjanjian Baru, Malang:Gandum Mas,1997
W.A. Geregungan, Psikologi Sosial, Bandung: Retika Aditama, 204
W.J.S. Poerdarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2006





[1] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 2009), 246
[2] ...., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 289
[3] Andi Marpaire, Psikologi Orang Dewasa, (Surabaya: Usaha Nasioanl, 2003), 17
[4] Elisabeth B.Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga , 1980), 246
[5] H. Suprianto, Pendidikan Orang Dewasa dari Teori Hingga Aplikasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 11
[6] Daniel Numahara, PAK Dewasa, Anggota IKAPIJabar, 2008, 56
[7]B. Samuel Sijabat, Strategi Pendidikan Kristen, (Yogyakarta: ANDI, 1996), 151-152
[8] W.J.S. Poerdarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 520
[9]Elizabeth H. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 1990),13
[10] H.Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 1
[11] W.A.Geregungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Retika Aditama, 2004), 6
[12] Rita L.Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi Edisi kesebelas, Batam: Interaksara), 15
[13] Elisabeth B.Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga , 1980),2
[14] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 57
[15] Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Rodas Karya, 2015), 234
[16] Janse Belandino, Suluh Siswa I, (Jakarta: BPK-GM, 2005), 4
[17] Elisabeth B.Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga , 1980),246
[18] Elin Tanya, Gereja dan Pendidikan Agama Kristen, (Cipanas: STT Cipanas, 1999),136
[19] Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Rodas Karya, 2015), 237
[21] Rudi Susilana dan Cepi Riyana, Media Pembelajaran, (Bandung: CV Wacana Prima, 2009), 7.
[22] M. Sobry Sutikno, Belajar dan Pembelajaran, (Lombok: Holistica, 2013), 83.
[23] http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html diakses pada    tanggal 16 April 2017 pukul 20:10

[24] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai IG. Loyola,  (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1994), 106.
[25] Thomas H. Groome, Christian Religious Education-Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010), 32.
[26] E. G. Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013), 20.
[27] Junihot Simanjuntak, Filsafat Pendidikan dan Pendidikan Kristen, (Yogyakarta: Andi, 2013), 115.
                [28] http://strategipak.blogspot.com/2013/11/strategi-pak-dalam-pelayanan-dewasa.html diakses pada tanggal 04 April 2017 Pukul 21.32
                [29] Elia Tambunan, Pendidikan Agama Kristen: Handbook Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: IllumiNation, 2013),45
[30] E. G. Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013), 5-52

                [31] http://id.Wikipedia.org/wki/iman Diakses pada tanggal : 04 April 2017; Pukul : 21:48
                [32] Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya:  Kartika Surabaya, 1997), 239
                [33] Billy Joe Daugherty, Kuasa Iman, (Bandung :  Yayasan Kalam Hidup, 2004),4
                        [34] Gerald Licollins. Edward G. Farrugia,  Kamus Teologia, (Yogyakarta :  Kanasius, 1996), 113
                [35]  https://koreshinfo.blogspot.co.id/2016/02/pertumbuhan-iman-pengertian-pertumbuhan.html  Diakses pada tanggal 2 April 2017; Pukul: 15.00
                        [36]  Xavier Leon-Dufour, Eksiklopedia Perjanjian Baru, (Yogyakarta:  Kansius, 1990),281.
        [37] Wofford. Kepemimpinan yang Mengubahkan, (Yogyakarta: Andi, 1990),133
                [38] Nacy Poyah dan Bentty Simanjuntak, Bahan PA Mengenai Allah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2004),30
[39] James W. Fowler, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan, (Yogyakarta:Kanisius, 55281), 70
[40] Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), 111-113
[41] James W. Fowler, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan, (Yogyakarta:Kanisius,55281),96
[42] A. Supratiknya, Teori Perkembangan Kepercayaan, (Yogyakarta:Kanisius, 1995), 39
[43] James W. Fowler, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan, 96
[44] A. Supratiknya, Teori Perkembangan Kepercayaan, 39
[45] A. Supratiknya, Teori Perkembangan Kepercayaan, 39
[46]  A. Supratiknya, Teori Perkembangan Kepercayaan, 23
[47] Charles M. Shelton SJ,menuju Kedewasaan Kristen,(Yogyakarta:Penerbi Knisius,1988) 42-43
[48] B.Samuel Sidjabat,Strategi Pendidikan Kristen,35-36
[49] Andar Ismail,Mulai dari Musa dan Segala Nabi,(Jakarta:BPK-GM,2003),113
[50] Daniel Nuhamara,PAK Dewasa,(Bandung: penerbit Jurnal Info Media,2008) 9
[51] Andar Ismail,Mulai dari Musa dan Segala Nabi,(Jakarta:BPK-GM,2003),217
[52]  B.Samuel Sidjabat,Strategi Pendidikan Kristen,45
[53] Amril M., Etika dan Pendidikan, (Pekanbaru: LSFK2P, 2005), 5.
[54] Nawawi, Ahmad. (2010). Pentingnya Pendidikan Nilai Moral Bagi Generasi Penerus(jurnal). Bandung: UPI, 4.
[55] Elmubarock Z., Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2008), 28.
[56] Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter, (Jakarta;PT Raja Grafindo Perssada, 2013), 128.
[57] Darmiyanti Zuchdi, Humanisasi Pendidikan ;Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 6.
[59] ..., Kamus Psikologi, (Chaplin, 2006), 25.
[60] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 174.
[61] Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 7.
[62] Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 17.
[63] Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 24.
[64] Mohammad Ali dan Mohhamad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 56.
[65] Djuretna A., Moral & Religi, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 36.
[66] Hmaid Darmadi, Dasar Konsep Pendidikan Moral, (Bandung: Alfabeta, 2009), 51.
[67] Djuretna A., Moral & Religi, 86.
[69] Lawrence Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 233.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trinitarianisme Sosial dan Trinitarianisme Posisi Tengah

Tafisiran historis Kritis Kisah para rasul 5:1-25 ananias dan safira