PAK dan pendidikan Nilai orang dewasa
PAK dan Pendidikan Nilai Orang
Dewasa
I.
Pendahuluan
Dalam
pembahasan berikut ini kita akan membahas mengenai PAK dan Pendidikan Nilai
Orang Dewasa. Untuk menemukan jawaban dan penjabaran dalam upaya menanamkan pendidikan nilai orang dewasa, maka
Pendidikan nilai ini sangat penting diperhatikan oleh gereja dan untuk itu PAK
harus ikut berperan dalam pencapaian nilai tersebut. Semoga sajian ini dapat
bermanfaat guna menambah wawasan bersama.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian
PAK
Pendidikan yang
diberikan Allah merupakan tindakan menyampaikan kebenaran yang akan menghantar
kita secara benar kepada suatu meditasi tentang Allah dan kepada usaha
mengamalkan perilaku suci yang tetap selamanya.[1]
Pendidikan Agama memusatkan perhatian khususnya pada pemberdayaan orang-orang
dalam pencarian mereka pada hal-hal yang transenden dan dasar keberadaan yang
paling pokok.[2]
John Dewey mengatakan Pendidikan Agama
Kristen adalah salah satu dari tugas-tugas gereja yang banyak itu, jadi bukan
satu-satunya tugas gereja, melainkan salah satu diantara yang lainnya.[3]
Pendidikan Agama Kristen menjadi usaha sitematis, ditopang oleh upaya rohani
dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap,
keterampilan dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan Iman
Kristen dalam rangka mengupayakan pembaharuan oleh kuasa Roh Kudus, sehingga
hidup sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab.[4]
2.2.Pengertian
Dewasa
Istilah
Adolescene yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Namun kata Adult berasal dari bentuk lampau
paticiple dari kata kerja Adultus yang berarti telah tumbuh menjadi
kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu,
orang dewasa adalah individu yang sudah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap
menerima kedudukan di dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.[5] Di
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata Dewasa
berarti suatu keadaan yang menunjukkan akil
balik yakni berumur 15 tahun ke atas.[6]
Orang dewasa juga dapat di artikan sebagai individu – individu yang telah
memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap berproduksi serta telah dapat
diharapakan memiliki kesiapan kognitif, afektif, fisik, moral, dan juga
spiritualitas. Selain itu, orang dewasa juga diharapkan untuk dapat memainkan
peranannya dengan individu-individu lain dalam masyarakat. [7]
2.3.
Pengertian
Pendidikan
Secara Etimologi pengertian pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan
kekuatan individu. Sedangkan menurut Kamus
Bahasa Indonesia, pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatiha
Pendidikan
dapat diperoleh baik secara formal dan non
formal. Pendidikan secara formal diperoleh dengan mengikuti program-program
yang telah direncanakan, terstruktur oleh suatu insititusi, departemen atau
kementtrian suatu negara. Sedangkan pendidikan non formal adalah pengetahuan
yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari dari berbagai pengalaman baik yang
dialami atau dipelajari dari orang lain. [8]
2.4.
Tujuan Pendidikan
Berdasarkan UU No. 2 Tahun 1985 yang
berbunyi bahwa tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsadan
mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan bangsa.
Berdasarkan MPRS No. 2 Tahun 1960 bahwa
tujuan pendidikan adalah membentuk pancasilais sejati berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 945.
Berdasarkan UU. No.20 Tahun 2003 mengenai
Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 3, bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.[9]
2.5.
Pengertian Nilai
Pada
kenyataannya tidak sedikit orang yang melakukan segala tindakan untuk mencapai
tujuannya, baik itu berupa tindakan baik maupun tindakan buruk. Yang terpenting
ia mampu mencapai tujuan yang ia harapkan. Dalam hal ini, perlu adanya suatu
patokan atau tolak ukur untuk mengatur tindakan manusia. Antara norma dengan
nilai itu saling berkaitan, yang mana dalam nilai terdapat norma dan aturan
yang berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan baik atau buruknya suatu
tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Namun, sebelum membahas terlalu jauh
mengenai nilai-nilai yang ada di masyarakat, organisasi maupun pendidikan
terlebih dahulu harus memhami apa itu nilai. Dengan begitu kedepannya kita
dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk dari nilai.
Didalam
kehidupan sehari-hari manusia selalu berkaitan dengan nilai. Misalkan kita
mengatakan bahwa orang itu baik atau lukisan itu indah. Berarti kita melakukan
penilaian terhadap suatu objek. Baik dan indah adalah contoh nilai. Manusia
memberikan nilai pada sesuatu. Sesuatu itu dikatakan adil, baik, cantik,
anggun, dan sebagainya.
Istilah
nilai (value) menurut kamus poerwodarminto diartikan sebagai berikut.
a. Harga
dalam arti taksiran, misalnya nilai emas.
b. Harga
sesuatu, misalnya orang.
c. Angka,
skor.
d. Kadar,
mutu.
e. Sifat-sifat
atau hal penting bagi kemanusiaan.
2.6.
Pengertian Nilai Menurut Tokoh
Beberapa
pendapat tentang pengertian nilai dapat diuraikan sebagai berikut.
a.
Bambang Daroeso,
Nilai
adalah suatu kualitas atau pengahargaan terhadap sesuatu, yang menjadi dasar
penentu tingkah laku seseorang.
b.
Darji
Darmodiharjo
Nilai
adalah kualitas atau keadaan yang bermanfaat bagi manusia baik lahir ataupun
batin.
Sehingga
nilai merupakan suatu bentuk penghargaan serta keadaan yang bermanfaat bagi
manusia sebagai penentu dan acuan dalam melakukan suatu tindakan. Yang mana
dengan adanya nilai maka seseorang dapat menentukan bagaimana ia harus
bertingkah laku agar tingkah lakunya tersebut tidak menyimpang dari norma yang
berlaku, karena di dalam nilai terdapat norma – norma yang dijadikan suatu
batasan tingkah laku seseorang.
Sesuatu dianggap bernilai apabila
sesuatu itu memilki sifat sebagai berikut.
a. Menyenangkan (peasent)
b. Berguna (useful)
c. Memuaskan (satisfying)
d. Menguntungkan (profutable)
e. Menarik (ineteresting)
f. Keyakinan (belief)[10]
2.7.
Ciri-ciri Nilai
Ciri-ciri
nilai Menurut bambang daroeso, nilai memiliki ciri sebagai berikut :
a. Suatu
realitas yang abstrak (tidak dapat di tangkap melalui panca indra. Tetapi ada).
Nilai
itu ada atau riil dalam kehidupan manusia. Misalnya, manusia mengakui adanya
keindahan. Akan tetapi, keindahan sebagai nilai adalah abstrak (tidak dapat
diindra). Yang dapat diindra adalah objek yang memiliki nilai keindahan itu.
Misalnya, lukisan atau pemandangan.
b. Normatif
(yang seharusnya, ideal, sebaiknya, diinginkan).
Nilai
merupakan sesuatu yang diharapkan (das solen) oelh manusia. Nilai
merupakan sesuatu yang baik dicitakan manusia. Contohnya, semua manusia
mengharapkan keadilan. Keadilan sebagai nilai adalah alternatif.
c. Berfungsi
sebagai daya dorong manusia (sebagai motivator).
Nilai
menjadikan manusia terdrong untuk melakukan tindakan agar harapan yang terwujud
dalam kehidupannya. Nilai diharapkan manusia seagai mendorong amnusia berbuat.
Misalnya, siswa berharap akan kepandaian. Maka siswa melakukan berbagai
kegiatan agar pandai. Kegiatan manusia pada dasarnya digerakkan atau didorong
oleh nilai.[11]
Menurut
Sutikna (1988:5), nilai adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat,
misalnya adat kebiasaan dan sopan-santun. Menurut Spranger , dikutip oleh
Sunaryo Kartadinata (1988), nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan
panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam
situassi social tertentu.
Jadi, nilai itu merupakan :
1. Sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.
2. Produk social yang diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.
3. Sebagai standar konseptual yang relative stabil yang membimbing individu
dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam rangka memenuhi kebutuhan
psikologisnya.
2.8.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Nilai
Nilai
adalah suatu ukuran atau parameter terhadap suatu obyek
tertentu Nilai dapat diartikan sebagai ukuran baik atau buruknya
sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai harga (value) dari sesuatu. Nilai-nilai
kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, adat
kebiasaan dan sopan santun (sutikna, 1988:5).
Beberapa
factor yang mempengaruhi perkembangan nilai ada masa remaja adalah sebagai
berikut :
1. Diri
Sendiri
Setiap
orang memiliki ukuran baik atau buruk sesuatu dengan sudut pandang orang
tersebut terhadap sesuatu, sehingga jika si A menganggap bersendawa setelah
makan itu adalah baik, belum tentu si B menganggap hal tersebut juga prilaku
yang baik. Jadi, setiap orang memiliki penilaian tersendiri terhadap sesuatu
yang akan diwujudkan dalam tingkah lakunya. Hal ini termasuk dalam sikap
normative, yaitu nilai merupakan suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam
tingkah laku. Misalnya : nilai kesopanan dan kesedrhanaan, orang yang selalu
bersikap sopan akan selalu berusaha menjaga tutr kata dan sikapnya sehingga
dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain,
nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh
moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai
tersebut. Dalam masa remaja, mereka menganggap diri mereka adalah benar dan apa
yang mereka yakini pun adalah benar.
2. Teman/Orang
Terdekat
Pengaruh
dari orang lain juga berperan dalam terwujudnya suatu nilai. Teman atau orang
terdekat biasanya memiliki suatu paham dan sifat yang hamper sama satu sama
lainnya. Dalam pertemanan biasanya mudah untuk saling memahami dan memberikan
penanaman suatu paham ke teman lainnya dan orang tersebut akan menganggap suatu
paham yang ditanam padanya adalah benar. Ini dikarenakan dalam pertemanan
mereka akan saling mempercayai satu sama lainnya. Misalnya : si A berjalan
didepan orang yang lebih tua yang sedang duduk tanpa member hormat (membungkuk
sedikit), lalu teman terdekatnya yang melihat itu mengatakan bahwa hal tersebut
tidak baik untuk dilakukan dan merupakan hal yang tidak sopan. Seharusnya kita
melewati orang yang lebih tua, sebaiknya membungkuk sedikit (member hormat
kepada yang lebih tua). Sehingga setelah diberikan pemahaman, si A mengerti dam
melakukan apa yang dikatakan temannya tersebut. Pada masa remaja, seseorang
akan lebih percaya atau memiliki hubungan yang lebih dekat dengan temannya
dibandingkan hubungan dengan keluarganya. Mereka lebih sering bersosialisai
dengan temannya sehingga penanaman nilai akan mudah terserap dan ditanam pada
diri remaja tersebut.
3. Pergaulan
Pergaulan
yang memberikan pengaruh yang baikakan mewujudkan suatu nilai yang baik poula
dan sebaliknya. Didalam pergaulan terdapat interaksi nilai yang dianut
seseorang. Bisa saja nilai yang dulu dianggap baik dapat berubah menjadi nilai
yang buruk setelah interaksi atau penglihatan yang dialaminya dalam pergaulan.
Tetapi itu tergantung dari remaja tersebut, apakah ia bertahan terhadap nilai
yang telah dianutnya atau akan merubahnya. Di dalam perkembangan, hal ini
mungkin saja terjadi. Misalnya menceritakan hal-hal yang buruk/kejelelkan orang
lain. Yang dulunya dianggap biasa saja, setelah pergaulan yang membawa nilai
positif melalui pembelajaran nilai tersebut berubah menjadi buruk.
4. Teknologi
Pengaruh
dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya
suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar
maupun hiburan. Contoh : internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai
informasi yang dapat diakses secara langsung.
5. Lingkungan / Masyarakat
Kenyamanan
dalam bertempat tinggal memiliki peran yang besar dalam pembentuukan nilai
individu. Seseorang yang memiliki potensi tersosialisasi baik akan pandai
berteman dan memiliki tenggang rasa yang kuat. Hal ini didukung oleh lingkungan
yang mendukung pula. Maka akan terwujud nilai kesejaheraan yang baik.[12]
2.9.Jenis-jenis
Nilai
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai berbagai nilai yang memanag
jumlahnya cukup banyak dan bervariatif. Dan sekian banyak yang kita jumpai,
nilai nilai dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Jenis-jenis nilai Menurut Prof. Drs.
Notonegoro, S.H. menyatakan bahwa ada tiga macam nilai, yaitu :
1) Nilai
materiil, yakni sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
2) Nilai
vital, yakni sesuatu yang berguna bagi manusia unutk dapat melaksanakan
kegiatan.
3) Nilai
kerohanian, dibedakan menjadi 4 macam, yaitu :
a) Nilai
kebenaran bersumber pada akal pikiran manusia (rasio, budi, dan cipta)
b) Nilai
estetika (keindahan) bersumber pada rasa manusia.
c) Nilai
kebaikan atau nilai moral bersumber pada kehendak keras, keras hati, dan nurani
manusia.
d) Nilai
religius (ketuhanan) yang bersifat mutlak dan bersumber pada keyakinan manusia.[13]
b. Jenis-jenis dilihat dari segi filsafat
Berbeda
dengan jenis-jenis nilai yang dikemukakan oleh Prof. Drs. Notonegoro, S.H.
dilihat dari segi filsafat, nilai dapat diklasifikasi ke dalam tiga jenis,
dientarnya :
1) Nilai
logika yaitu benar – salah
Nilai
logika disni yaitu nilai mengenai benar atau salahnya tindakan/kejadian. Dalam
hal ini nilai logika berkaitan dengan tindakan/kejadian yang dilakukan oleh
seseorang. Sebagai contoh seorang siswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
guru, kemudian ia berhasil menjawab dengan benar, maka secara logika jawaban
tersebut dianggap benar bukan baik, dan ketika jawabannya keliru maka secara
logika jawaban tersebut dianggap salah bukan buruk.
2) Nilai
etika yaitu nilai tentang baik dan buruk
Nilai
etik/etika adalah nilai tenteng baik-buruk yang berkaitan dengan perilaku
manusia. Jadi, kalu kita mengatakan etika orang itu buruk, bukan berarti
wajahnya buruk, tetapi menunjuk perilaku orang itu buruk. Nilai etik adalah
nilai moral. Jadi, moral yang di maksudkan disini adalah nilai moral sebagai
bagian dari nilai.
3) Nilai
estetika yaitu nilai tentang indah-jelek
Selain
etika, kita juga mengenal pula estetika. Estetika merupakan nilai yang
berkaitan dengan keindahan, penampilan fisik, bukan nilai etik. Nilai estetika
berkaitan dengan penampilan, sedangkan nilai etik atau buruk moral berkaitan
dengan perilaku manusia.
4. Bentuk-bentuk
nilai dengan kepribadian yang ada dalam organisasi dan masyarakat
Nilai
dalam organisasi merupakan dasar utama untuk pengambilan keputusan dan tindakan
lain, dan karena itu menentukan kerangka kerja dasar untuk pengambilan teori
organisasi dan praktek manajemen.[14]
2.10.
Definisi
Pendidikan Nilai
Kohlberg et
al. (Djahiri, 1992: 27) menjelaskan bahwa Pendidikan Nilai adalah rekayasa ke
arah: (a) Pembinaan dan pengembangan struktur dan potensi/komponen pengalaman
afektual (affective component & experiences) atau “jati diri” atau hati
nurani manusia (the consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan
perangkat tatanan nilai-moral-norma. (b) pembinaan proses pelakonan
(experiencing) dan atau transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi
proses klarifikasi niai-moral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral judgment)
atau penalaran nilai-moral-norma (moral reasoning) dan atau pengendalian
nilai-moral-norma (moral control).
Sedangkan
menurut Winecoff (1987: 1-3), jika kita membahas tentang Pendidikan Nilai maka
minimalnya berhubungan dengan tiga dimensi, yakni: identification of a core of
personal & social values, philosopy and rational inquiry into the core, and
decision making related to the core based on inquiry and response. Ia juga
mengungkapkan (hakam, 2005: 5) bahwa Pendidikan Nilai adalah pendidikan yang
mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan
norma-norma yang meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang
keindahan dan selera pribadi, serta etika yaitu menilai benar/salahnya dalam
hubungan antar pribadi.
Dahlan
(2007:5) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai suatu proses kegiatan yang
dilaksanakan secara sistematis untuk melahirkan manusia yang memiliki komitmen
kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi yang berlandaskan nilai-nilai
agama.
Sementara
itu, Soelaeman (1987: 14) menambahkan bahwa Pendidikan Nilai adalah bentuk
kegiatan pengembangan ekspresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis
dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas
kognitif dan afektif peserta didik.
Senada
dengan hal di atas, Hasan (1996: 250) memiliki persepsi bahwa Pendidikan Nilai
merupakan suatu konsep pendidikan yang memiliki konsep umum, atribut, fakta dan
data keterampilan antara suatu atribut dengan atribut yang lainnya serta
memiliki label (nama diri) yang dikembangkan berdasarkan prinsip pemahaman,
penghargaan, identifikasi diri, penerapan dalam perilaku, pembentukan wawasan
dan kebiasaan terhadap nilai dan moral.
Adapun
Sumantri (1993: 16) beliau memahami Pendidikan Nilai sebagai suatu aktivitas
pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam sekolah
maupun di luar sekolah, karena “penentuan nilai” merupakan suatu aktivitas
penting yang harus kita pikirkan dengan cermat dan mendalam. Maka hal ini
merupakan tugas pendidikan (masyarakat didik) untuk berupaya meningkatkan
nilai-moral individu dan masyarakat.[15]
2.11.
Unsur Utama Pendidikan Nilai
Berpijak
pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan Nilai juga mengandung tiga unsur
utama yaitu ontologis Pendidikan Nilai, epistemologis Pendidikan Nilai dan
aksiologis Pendidikan Nilai.
1. Dasar Ontologis
Pendidikan Nilai
Pertama-tama
pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan Nilai. Adapun
aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan Nilai melalui pengalaman
panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil
Pendidikan Nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek
kepribadiannya. Objek formal Pendidikan Nilai dibatasi pada manusia seutuhnya
di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia
sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual
dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2. Dasar Epistemologis
Pendidikan Nilai
Dasar
epistemologis diperlukan oleh Pendidikan Nilai atau pakar Pendidikan Nilai demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan Nilai
memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan
studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada
pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena
pendidikan.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan Nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942)
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan Nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942)
3. Dasar Aksilogis
Pendidikan Nilai
Kemanfaatan
teori Pendidikan Nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan
untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan Nilai
tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan
juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar
kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang
negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan
demikian Pendidikan Nilai tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas
yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan Nilai dan tugas pendidik sebagai
pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan Pendidikan
Nilai sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya Pendidikan Nilai
memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun
harus diakui bahwa Pendidikan Nilai belum jauh pertumbuhannya dibandingkan
dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku.[16]
2.12.
Pendekatan
dalam Pendidikan Nilai
Martorella dalam buku Djahiri.
Mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai atau budi pekerti,
yaitu:
a) Evocation, yaitu pendekatan agar
peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas
mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya;
b) Inculcation, yaitu pendekatan agar
peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap;
c) Moral Reasoning, yaitu pendekatan
agar terjadi transaksi intelektual talksonomik tinggi dalam mencari
permasalahan suatu masalah;
d) Value Clarification, yaitu pendekatan
melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan
keharusan nilai moral;
e) Value Analysis, yaitu pendekatan agar
siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral;
f) Moral Awareness, yaitu pendekatan
agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu;
g) Commitment Approach, yaitu pendekatan
pada siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses
pendidikan nilai;
h) Union Approach, yaitu pendekatan agar
peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.
Teknik pengungkapan
nilai adalah teknik memandang pendidikan nilai dalam pengertian promoting
self-awarenes and self caring dan bukan mengatasi masalah moralyang membantu
mengungkapkan moral yang dimiliki peserta didik tentang hal-hal tertentu.
Pendekatannya dilakukan dengan cara membantu peserta didik menemukan dan
menilai / menguji nilai yang mereka miliki untuk mencapai perasaan diri.[17]
2.13.
Karakteristik
Pendidikan Orang Dewasa
-Memiliki lebih banyak pengalaman hidup.
-Memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar. Orang
dewasa termotivasi untuk belajar karena ingin memperoleh pekerjaan yang lebih
baik dan berprestasi secara personal,keputusan dan perwujudan diri.
- Banyak peranan dan tanggung jawab yang dimiliki.
Menimbulkan persaingan terhadap permintaan waktu antar setiap peranan yang ia
miliki. Menyebabkan keterbatasan waktu untuk belajar. Penting bagi
pendidik orang dewasa untuk memiliki sensitifitas dan memahami adanya
persaingan penggunaan waktu.
- Kurang percaya diri atas kemampuan diri yang mereka
miliki untuk belajar kembali Kepercayaan – kepercayaan yang tidak benar
tentang belajar, usia lanjut dan faktor fisik juga dapat meningkatkan
ketidakpercayaan diri orang dewasa untuk kembali belajar.
- Pengalaman dan tujuan hidup orang dewasa lebih beragam daripada para pemuda. Dan hal ini dapat dijadikan suatu kekuatan yang positif yang dapat dimanfaatkan melalui pertukaran pengalaman dikalangan pembelajar orang dewasa.
- Pengalaman dan tujuan hidup orang dewasa lebih beragam daripada para pemuda. Dan hal ini dapat dijadikan suatu kekuatan yang positif yang dapat dimanfaatkan melalui pertukaran pengalaman dikalangan pembelajar orang dewasa.
- Makna belajar bagi orang dewasa. Belajar adalah
suatu proses mental yang terjadi dalam benak seseorang yang melibatkan kegiatan
berfikir. Bagi pendidikan orang dewasa melalui pengalaman-pengalaman
belajar makna belajar diberikan.[18].
2.14.
Fungsi Dasar Pendidikan Orang Dewasa
Fungsi dasar
pendidikan orang dewasa adalah instruksi, konseling, perkembangan program dan
administrasi. Proses pengembangan program melibatkan penilaian pada kebutuhan
pelajar, membuat dan mengeksekusi keputusan yang diperlukan dalam aktivitas
belajar untuk memposisikan dan mengevaluasi hasil. Keunikan dan keterpusatan
fungsi pengembangan program dalam pendidikan orang dewasa berasal dari
perbedaan tujuan dan kebutuhan pendidik orang dewasa.
Sebuah upaya
dilakukan untuk mempertemukan bermacam-macam perubahan individu dan kebutuhan
kelompok walaupun berupa program jangka pendek. Hal ini mengikuti pernyataan
bahwa pendidikan orang dewasa lebih distandarisasi seperti dalam program remidi
atau kesempatan kedua yang mensejajarkan kurikulum pendidikan remaja, dan
fungsi pengembangan program tidaklah begitu penting.[19]
2.15.
Tujuan
Pendidikan Nilai Orang Dewasa
Houle (1972),
menggambarkan enam orientasi yang dipegang oleh pendidik orang dewasa, yaitu:
1. Memusatkan pada tujuan.
2.
Memenuhi kebutuhan dan minat.
3. Menyerupai sekolahan.
4. Menguatkan kepemimpinan.
5. Mengembangkan lembaga pendidikan orang dewasa.
6. Meningkatkan informalisasi.
3. Menyerupai sekolahan.
4. Menguatkan kepemimpinan.
5. Mengembangkan lembaga pendidikan orang dewasa.
6. Meningkatkan informalisasi.
Bergeivin
mengemukakan tujuan pendidikan orang dewasa sebagai berikut :
Membantu pelajar
mencapai suatu tingkatan kebahagiaan dan makna hidup.
b. Membantu pelajar memahami dirinya sendiri, bakatnya, keterbatasannya dan hubungan interpersonalnya
c. Membantu mengenali dan memahami kebutuhan lifelong education.
d. Memberikan kondisi dan kesempatan untuk membantu mencapai kemajuan proses pematangan secara spiritual, budaya, fisik, politik dan kejujuran.
e. Memberikan kemampuan melek huruf, keterampilan kejujuran dan kesehatan bagi orang dewasa yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk belajar.
b. Membantu pelajar memahami dirinya sendiri, bakatnya, keterbatasannya dan hubungan interpersonalnya
c. Membantu mengenali dan memahami kebutuhan lifelong education.
d. Memberikan kondisi dan kesempatan untuk membantu mencapai kemajuan proses pematangan secara spiritual, budaya, fisik, politik dan kejujuran.
e. Memberikan kemampuan melek huruf, keterampilan kejujuran dan kesehatan bagi orang dewasa yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk belajar.
Dalam
Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Nilai
adalah: “to help individual think about and reflect on different values and the
practical implications of expressing them in relation to them selves, other,
the community, and the world at large, to inspire individuals to choose their
own personal, social, moral and spiritual values and be aware of practical
methods for developing anf deepening them”.
Lorraine
(1996: 9) pun berpendapat: “in the teaching learning of value education should
emphasizing on the establishing and guiding student in internalizing and
practing good habits and behaviour in their everyday life as a citizen and as a
member of society”.
Adapun
tujuan Pendidikan Nilai menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184) adalah untuk
membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui
pengujian kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas
berfikir dan perasaannya. Sementara itu, Hill (1991: 80) meyakini bahwa
Pendidikan Nilai ditujukan agar siswa dapat menghayati dan mengamalkan nilai
sesuai dengan keyakinan agamanya, konsesus masyarakatnya dan nilai moral
universal yang dianutnya sehingga menjadi karakter pribadinya.
Secara
sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah
menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119)
menambahkan bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik
mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka.
Dalam proses Pendidikan Nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan komite APEID (Asia and The Pasific Programme of Education Innovation for Development), Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO, 1994).[20]
Dalam proses Pendidikan Nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan komite APEID (Asia and The Pasific Programme of Education Innovation for Development), Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO, 1994).[20]
III.
Kesimpulan
Nilai adalah suatu cara bertingkah laku manusia, PAK memberikan cara dan
menuntun orang dewasa dalam melakukan suatu peruatan dan membimbig, mengarahkan
kepada perbuatan yang baik. Nilai juga adalah suatu usaha yang dilakukan
dalam segala tindakan untuk mencapai tujuannya, baik itu berupa tindakan baik
maupun tindakan buruk. Yang terpenting ia mampu mencapai tujuan yang ia
harapkan. Dalam hal ini, perlu adanya suatu patokan atau tolak ukur untuk
mengatur tindakan manusia. Antara norma dengan nilai itu saling berkaitan, yang
mana dalam nilai terdapat norma dan aturan yang berfungsi sebagai pedoman untuk
menentukan baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang.
Namun, sebelum membahas terlalu jauh mengenai nilai-nilai yang ada di
masyarakat, organisasi maupun pendidikan terlebih dahulu harus memhami apa itu
nilai. Terdapat berbagai macam nilaidalam lingkungan masayarakat yang
perludilakukan seseorang untuk mencapai suatu bentuk penghargaan dalam
kehidupannya. Sehingga untuk mencapai nilai yang baik, maka seseorang perlu
memperhatikan pola perilaku yang hendak diperbuatannya, karena perbuatan yang
baik akan menghasilkan nilai yang baik.
IV.
Daftar
Pustaka
....,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2007
Boehlke,
Robert R. Sejarah Perkembangan Pikiran
dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai Loyola, IG. Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1994
Djahiri,
Kosasih, Menuluri Dunia Afektif untuk
Moral dan Pendidikan Nilai Moral, Bandung: LPPMP,
1982
1982
Groome,Thomas
H. Christian Religious
Education-Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010
Homrighausen,
E. G. & I. H. Enklaar, Pendidikan
Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013
Hurlock,Elizabeth
B. Psikologi Perkembangan, Jakarta:
Erlangga, 2009
Kast,
Fremont E, James E Rosenzwig, Organisasi dan Manajemen, Jakarta:Bumi
Aksara,1995
Marpaire,Andi,
Psikologi Orang Dewasa, Surabaya:
Usaha Nasioanl, 2003
Simanjuntak,
Junihot, Filsafat Pendidikan dan
Pendidikan Kristen, Yogyakarta: Andi, 2013
Suprijanto,
H, Pendidikan orang dewasa;
dari teori hingga aplikasi, Jakarta : Bumi Aksara, 2007
Winarno,Herimanto,
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,
Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Sumber Lain
http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html
http://vivienanjadi.blogspot.co.id/2012/02/perkembangan-moral-nilai-dan-agama-pada.html
[1] Robert R.
Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan
Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai IG. Loyola, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1994), 106.
[2] Thomas H.
Groome, Christian Religious
Education-Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010), 32.
[3] E. G.
Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan
Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013), 20.
[4] Junihot
Simanjuntak, Filsafat Pendidikan dan
Pendidikan Kristen, (Yogyakarta: Andi, 2013), 115.
[5] Elizabeth
B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta:
Erlangga, 2009), 246
[6] ...., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), 289
[7] Andi
Marpaire, Psikologi Orang Dewasa, (Surabaya:
Usaha Nasioanl, 2003), 17
[8] http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html diakses
pada tanggal 16
April 2017 pukul 20:10
[9] http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html diakses
pada tanggal 16
April 2017 pukul 21:10
[11] Herimanto, Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 127-128
[12] http://vivienanjadi.blogspot.co.id/2012/02/perkembangan-moral-nilai-dan-agama-pada.html diakses pada
tanggal 16 April 2017 pada pukul 21:47
[13]
Herimanto, Winarno, Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 128-129
[14] Fremont E
Kast, James E Rosenzwig, Organisasi dan Manajemen, (Jakarta:Bumi Aksara,1995),33
[15]
http://suksespend.blogspot.co.id/2009/06/konsep-dasar-dan-filosofi-pendidikan.html
[16]
http://suksespend.blogspot.co.id/2009/06/konsep-dasar-dan-filosofi-pendidikan.html
[17] Kosasih
Djahiri, Menuluri Dunia Afektif untuk
Moral dan Pendidikan Nilai Moral, (Bandung:
LPPMP,
1982).
1982).
[18] http://nursekhamaulidapmtkbunisma.blogspot.co.id/2013/02/pendidikan-orang-dewasa.html diakses
pada tanggal 16 April 2017 Pukul 21:56
[19]
Suprijanto, H, Pendidikan
orang dewasa; dari teori hingga aplikasi. (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), 35
[20]
http://suksespend.blogspot.co.id/2009/06/konsep-dasar-dan-filosofi-pendidikan.html
Komentar
Posting Komentar