PAK dan pendidikan Nilai orang dewasa

PAK dan Pendidikan Nilai Orang Dewasa
I.                   Pendahuluan
Dalam pembahasan berikut ini kita akan membahas mengenai PAK dan Pendidikan Nilai Orang Dewasa. Untuk menemukan jawaban dan penjabaran dalam upaya  menanamkan pendidikan nilai orang dewasa, maka Pendidikan nilai ini sangat penting diperhatikan oleh gereja dan untuk itu PAK harus ikut berperan dalam pencapaian nilai tersebut. Semoga sajian ini dapat bermanfaat guna menambah wawasan bersama.
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian PAK
Pendidikan yang diberikan Allah merupakan tindakan menyampaikan kebenaran yang akan menghantar kita secara benar kepada suatu meditasi tentang Allah dan kepada usaha mengamalkan perilaku suci yang tetap selamanya.[1] Pendidikan Agama memusatkan perhatian khususnya pada pemberdayaan orang-orang dalam pencarian mereka pada hal-hal yang transenden dan dasar keberadaan yang paling pokok.[2]
John Dewey mengatakan Pendidikan Agama Kristen adalah salah satu dari tugas-tugas gereja yang banyak itu, jadi bukan satu-satunya tugas gereja, melainkan salah satu diantara yang lainnya.[3] Pendidikan Agama Kristen menjadi usaha sitematis, ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan Iman Kristen dalam rangka mengupayakan pembaharuan oleh kuasa Roh Kudus, sehingga hidup sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan oleh Alkitab.[4]
2.2.Pengertian Dewasa
Istilah Adolescene yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Namun kata Adult berasal dari bentuk lampau paticiple dari kata kerja Adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang sudah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan di dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.[5] Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata Dewasa berarti suatu keadaan yang menunjukkan akil balik yakni berumur 15 tahun ke atas.[6] Orang dewasa juga dapat di artikan sebagai individu – individu yang telah memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap berproduksi serta telah dapat diharapakan memiliki kesiapan kognitif, afektif, fisik, moral, dan juga spiritualitas. Selain itu, orang dewasa juga diharapkan untuk dapat memainkan peranannya dengan individu-individu lain dalam masyarakat. [7]
2.3. Pengertian Pendidikan
Secara Etimologi pengertian pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu.  Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatiha
Pendidikan dapat diperoleh baik secara formal dan non formal. Pendidikan secara formal diperoleh dengan mengikuti program-program yang telah direncanakan, terstruktur oleh suatu insititusi, departemen atau kementtrian suatu negara. Sedangkan pendidikan non formal adalah pengetahuan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari dari berbagai pengalaman baik yang dialami atau dipelajari dari orang lain. [8]
2.4. Tujuan Pendidikan
Berdasarkan UU No. 2 Tahun 1985 yang berbunyi bahwa tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsadan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan bangsa.
Berdasarkan MPRS No. 2 Tahun 1960 bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 945. 
Berdasarkan UU. No.20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 3, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[9]
2.5. Pengertian Nilai
Pada kenyataannya tidak sedikit orang yang melakukan segala tindakan untuk mencapai tujuannya, baik itu berupa tindakan baik maupun tindakan buruk. Yang terpenting ia mampu mencapai tujuan yang ia harapkan. Dalam hal ini, perlu adanya suatu patokan atau tolak ukur untuk mengatur tindakan manusia. Antara norma dengan nilai itu saling berkaitan, yang mana dalam nilai terdapat norma dan aturan yang berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Namun, sebelum membahas terlalu jauh mengenai nilai-nilai yang ada di masyarakat, organisasi maupun pendidikan terlebih dahulu harus memhami apa itu nilai. Dengan begitu kedepannya kita dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk dari nilai.
Didalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berkaitan dengan nilai. Misalkan kita mengatakan bahwa orang itu baik atau lukisan itu indah. Berarti kita melakukan penilaian terhadap suatu objek. Baik dan indah adalah contoh nilai. Manusia memberikan nilai pada sesuatu. Sesuatu itu dikatakan adil, baik, cantik, anggun, dan sebagainya.
Istilah nilai (value) menurut kamus poerwodarminto diartikan sebagai berikut.
a.         Harga dalam arti taksiran, misalnya nilai emas.
b.         Harga sesuatu, misalnya orang.
c.         Angka, skor.
d.        Kadar, mutu.
e.         Sifat-sifat atau hal penting bagi kemanusiaan.
2.6. Pengertian Nilai Menurut Tokoh
Beberapa pendapat tentang pengertian nilai dapat diuraikan sebagai berikut.
a.                   Bambang Daroeso,
Nilai adalah suatu kualitas atau pengahargaan terhadap sesuatu, yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang.
b.                  Darji Darmodiharjo
Nilai adalah kualitas atau keadaan yang bermanfaat bagi manusia baik lahir ataupun batin.
            Sehingga nilai merupakan suatu bentuk penghargaan serta keadaan yang bermanfaat bagi manusia sebagai penentu dan acuan dalam melakukan suatu tindakan. Yang mana dengan adanya nilai maka seseorang dapat menentukan bagaimana ia harus bertingkah laku agar tingkah lakunya tersebut tidak menyimpang dari norma yang berlaku, karena di dalam nilai terdapat norma – norma yang dijadikan suatu batasan tingkah laku seseorang.
Sesuatu dianggap bernilai apabila sesuatu itu memilki sifat sebagai berikut.
a.       Menyenangkan (peasent)
b.      Berguna (useful)
c.       Memuaskan (satisfying)
d.      Menguntungkan (profutable)
e.       Menarik (ineteresting)
f.       Keyakinan (belief)[10]
2.7. Ciri-ciri Nilai
Ciri-ciri nilai Menurut bambang daroeso, nilai memiliki ciri sebagai berikut :
a.         Suatu realitas yang abstrak (tidak dapat di tangkap melalui panca indra. Tetapi ada).
Nilai itu ada atau riil dalam kehidupan manusia. Misalnya, manusia mengakui adanya keindahan. Akan tetapi, keindahan sebagai nilai adalah abstrak (tidak dapat diindra). Yang dapat diindra adalah objek yang memiliki nilai keindahan itu. Misalnya, lukisan atau pemandangan.
b.         Normatif (yang seharusnya, ideal, sebaiknya, diinginkan).
Nilai merupakan sesuatu yang diharapkan (das solen) oelh manusia. Nilai merupakan sesuatu yang baik dicitakan manusia. Contohnya, semua manusia mengharapkan keadilan. Keadilan sebagai nilai adalah alternatif.
c.         Berfungsi sebagai daya dorong manusia (sebagai motivator).
Nilai menjadikan manusia terdrong untuk melakukan tindakan agar harapan yang terwujud dalam kehidupannya. Nilai diharapkan manusia seagai mendorong amnusia berbuat. Misalnya, siswa berharap akan kepandaian. Maka siswa melakukan berbagai kegiatan agar pandai. Kegiatan manusia pada dasarnya digerakkan atau didorong oleh nilai.[11]
Menurut Sutikna (1988:5), nilai adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan-santun. Menurut Spranger , dikutip oleh Sunaryo Kartadinata (1988), nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situassi social tertentu.
   Jadi, nilai itu merupakan :
     1.   Sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.
     2.   Produk social yang diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.
     3.   Sebagai standar konseptual yang relative stabil yang membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.

2.8. Faktor-faktor yang mempengaruhi Nilai
Nilai adalah suatu ukuran atau parameter terhadap suatu obyek tertentu  Nilai dapat diartikan sebagai ukuran baik atau buruknya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai harga (value) dari sesuatu. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, adat kebiasaan dan sopan santun (sutikna, 1988:5).
Beberapa factor yang mempengaruhi perkembangan nilai ada masa remaja adalah sebagai berikut :
1.      Diri Sendiri
Setiap orang memiliki ukuran baik atau buruk sesuatu dengan sudut pandang orang tersebut terhadap sesuatu, sehingga jika si A menganggap bersendawa setelah makan itu adalah baik, belum tentu si B menganggap hal tersebut juga prilaku yang baik. Jadi, setiap orang memiliki penilaian tersendiri terhadap sesuatu yang akan diwujudkan dalam tingkah lakunya. Hal ini termasuk dalam sikap normative, yaitu nilai merupakan suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku. Misalnya : nilai kesopanan dan kesedrhanaan, orang yang selalu bersikap sopan akan selalu berusaha menjaga tutr kata dan sikapnya sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam masa remaja, mereka menganggap diri mereka adalah benar dan apa yang mereka yakini pun adalah benar.
2.      Teman/Orang Terdekat
Pengaruh dari orang lain juga berperan dalam terwujudnya suatu nilai. Teman atau orang terdekat biasanya memiliki suatu paham dan sifat yang hamper sama satu sama lainnya. Dalam pertemanan biasanya mudah untuk saling memahami dan memberikan penanaman suatu paham ke teman lainnya dan orang tersebut akan menganggap suatu paham yang ditanam padanya adalah benar. Ini dikarenakan dalam pertemanan mereka akan saling mempercayai satu sama lainnya. Misalnya : si A berjalan didepan orang yang lebih tua yang sedang duduk tanpa member hormat (membungkuk sedikit), lalu teman terdekatnya yang melihat itu mengatakan bahwa hal tersebut tidak baik untuk dilakukan dan merupakan hal yang tidak sopan. Seharusnya kita melewati orang yang lebih tua, sebaiknya membungkuk sedikit (member hormat kepada yang lebih tua). Sehingga setelah diberikan pemahaman, si A mengerti dam melakukan apa yang dikatakan temannya tersebut. Pada masa remaja, seseorang akan lebih percaya atau memiliki hubungan yang lebih dekat dengan temannya dibandingkan hubungan dengan keluarganya. Mereka lebih sering bersosialisai dengan temannya sehingga penanaman nilai akan mudah terserap dan ditanam pada diri remaja tersebut.
3.      Pergaulan
Pergaulan yang memberikan pengaruh yang baikakan mewujudkan suatu nilai yang baik poula dan sebaliknya. Didalam pergaulan terdapat interaksi nilai yang dianut seseorang. Bisa saja nilai yang dulu dianggap baik dapat berubah menjadi nilai yang buruk setelah interaksi atau penglihatan yang dialaminya dalam pergaulan. Tetapi itu tergantung dari remaja tersebut, apakah ia bertahan terhadap nilai yang telah dianutnya atau akan merubahnya. Di dalam perkembangan, hal ini mungkin saja terjadi. Misalnya menceritakan hal-hal yang buruk/kejelelkan orang lain. Yang dulunya dianggap biasa saja, setelah pergaulan yang membawa nilai positif melalui pembelajaran nilai tersebut berubah menjadi buruk.
4.      Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh : internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.

5.      Lingkungan / Masyarakat
Kenyamanan dalam bertempat tinggal memiliki peran yang besar dalam pembentuukan nilai individu. Seseorang yang memiliki potensi tersosialisasi baik akan pandai berteman dan memiliki tenggang rasa yang kuat. Hal ini didukung oleh lingkungan yang mendukung pula. Maka akan terwujud nilai kesejaheraan yang baik.[12]

2.9.Jenis-jenis Nilai
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai berbagai nilai yang memanag jumlahnya cukup banyak dan bervariatif. Dan sekian banyak yang kita jumpai, nilai nilai dapat diklasifikasikan menjadi :
a.         Jenis-jenis nilai Menurut Prof. Drs. Notonegoro, S.H. menyatakan bahwa ada tiga macam nilai, yaitu :
1)        Nilai materiil, yakni sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
2)        Nilai vital, yakni sesuatu yang berguna bagi manusia unutk dapat melaksanakan kegiatan.
3)        Nilai kerohanian, dibedakan menjadi 4 macam, yaitu :
a)        Nilai kebenaran bersumber pada akal pikiran manusia (rasio, budi, dan cipta)
b)        Nilai estetika (keindahan) bersumber pada rasa manusia.
c)        Nilai kebaikan atau nilai moral bersumber pada kehendak keras, keras hati, dan nurani manusia.
d)       Nilai religius (ketuhanan) yang bersifat mutlak dan bersumber pada keyakinan manusia.[13]
b.         Jenis-jenis dilihat dari segi filsafat
Berbeda dengan jenis-jenis nilai yang dikemukakan oleh Prof. Drs. Notonegoro, S.H. dilihat dari segi filsafat, nilai dapat diklasifikasi ke dalam tiga jenis, dientarnya :
1)        Nilai logika yaitu benar – salah
Nilai logika disni yaitu nilai mengenai benar atau salahnya tindakan/kejadian. Dalam hal ini nilai logika berkaitan dengan tindakan/kejadian yang dilakukan oleh seseorang. Sebagai contoh seorang siswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, kemudian ia berhasil menjawab dengan benar, maka secara logika jawaban tersebut dianggap benar bukan baik, dan ketika jawabannya keliru maka secara logika jawaban tersebut dianggap salah bukan buruk.
2)        Nilai etika yaitu nilai tentang baik dan buruk
Nilai etik/etika adalah nilai tenteng baik-buruk yang berkaitan dengan perilaku manusia. Jadi, kalu kita mengatakan etika orang itu buruk, bukan berarti wajahnya buruk, tetapi menunjuk perilaku orang itu buruk. Nilai etik adalah nilai moral. Jadi, moral yang di maksudkan disini adalah nilai moral sebagai bagian dari nilai.
3)        Nilai estetika yaitu nilai tentang indah-jelek
Selain etika, kita juga mengenal pula estetika. Estetika merupakan nilai yang berkaitan dengan keindahan, penampilan fisik, bukan nilai etik. Nilai estetika berkaitan dengan penampilan, sedangkan nilai etik atau buruk moral berkaitan dengan perilaku manusia.
4.        Bentuk-bentuk nilai dengan kepribadian yang ada dalam organisasi dan masyarakat
Nilai dalam organisasi merupakan dasar utama untuk pengambilan keputusan dan tindakan lain, dan karena itu menentukan kerangka kerja dasar untuk pengambilan teori organisasi dan praktek manajemen.[14]
2.10.                    Definisi Pendidikan Nilai
Kohlberg et al. (Djahiri, 1992: 27) menjelaskan bahwa Pendidikan Nilai adalah rekayasa ke arah: (a) Pembinaan dan pengembangan struktur dan potensi/komponen pengalaman afektual (affective component & experiences) atau “jati diri” atau hati nurani manusia (the consiense of man) atau suara hati (al-qolb) manusia dengan perangkat tatanan nilai-moral-norma. (b) pembinaan proses pelakonan (experiencing) dan atau transaksi/interaksi dunia afektif seseorang sehingga terjadi proses klarifikasi niai-moral-norma, ajuan nilai-moral-norma (moral judgment) atau penalaran nilai-moral-norma (moral reasoning) dan atau pengendalian nilai-moral-norma (moral control).
Sedangkan menurut Winecoff (1987: 1-3), jika kita membahas tentang Pendidikan Nilai maka minimalnya berhubungan dengan tiga dimensi, yakni: identification of a core of personal & social values, philosopy and rational inquiry into the core, and decision making related to the core based on inquiry and response. Ia juga mengungkapkan (hakam, 2005: 5) bahwa Pendidikan Nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral yang meliputi etika dan norma-norma yang meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, serta etika yaitu menilai benar/salahnya dalam hubungan antar pribadi.
Dahlan (2007:5) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai suatu proses kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk melahirkan manusia yang memiliki komitmen kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi yang berlandaskan nilai-nilai agama.
Sementara itu, Soelaeman (1987: 14) menambahkan bahwa Pendidikan Nilai adalah bentuk kegiatan pengembangan ekspresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas kognitif dan afektif peserta didik.
Senada dengan hal di atas, Hasan (1996: 250) memiliki persepsi bahwa Pendidikan Nilai merupakan suatu konsep pendidikan yang memiliki konsep umum, atribut, fakta dan data keterampilan antara suatu atribut dengan atribut yang lainnya serta memiliki label (nama diri) yang dikembangkan berdasarkan prinsip pemahaman, penghargaan, identifikasi diri, penerapan dalam perilaku, pembentukan wawasan dan kebiasaan terhadap nilai dan moral.
Adapun Sumantri (1993: 16) beliau memahami Pendidikan Nilai sebagai suatu aktivitas pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah, karena “penentuan nilai” merupakan suatu aktivitas penting yang harus kita pikirkan dengan cermat dan mendalam. Maka hal ini merupakan tugas pendidikan (masyarakat didik) untuk berupaya meningkatkan nilai-moral individu dan masyarakat.[15]
2.11.                    Unsur Utama Pendidikan Nilai
Berpijak pada pola kandungan filsafat, maka Pendidikan Nilai juga mengandung tiga unsur utama yaitu ontologis Pendidikan Nilai, epistemologis Pendidikan Nilai dan aksiologis Pendidikan Nilai.
1. Dasar Ontologis Pendidikan Nilai
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari Pendidikan Nilai. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan Pendidikan Nilai melalui pengalaman panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil Pendidikan Nilai adalah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya. Objek formal Pendidikan Nilai dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia sering kali berperilaku tidak utuh, hanya menjadi mahluk berperilaku individual dan/atau mahluk sosial yang berperilaku kolektif.
Sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai pribadi pula. Jika pendidik tidak bersikaf afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975) akan menjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan peserta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
2. Dasar Epistemologis Pendidikan Nilai
Dasar epistemologis diperlukan oleh Pendidikan Nilai atau pakar Pendidikan Nilai demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendidikan Nilai memerlukan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif fenomenologis. Karena penelitian tidak hanya tertuju pada pemahaman dan pengertian, melainkan untuk mencapai kearifan fenomena pendidikan.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah Pendidikan Nilai tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan Pendidikan Nilai sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problamatikanya sendiri sekalipun tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespodensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler, 1942)
3. Dasar Aksilogis Pendidikan Nilai
Kemanfaatan teori Pendidikan Nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai Pendidikan Nilai tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik. Dan ilmu digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian Pendidikan Nilai tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan Pendidikan Nilai dan tugas pendidik sebagai pedagok. Dalam hal ini, sangat relevan sekali untuk memperhatikan Pendidikan Nilai sebagai bidang yang sarat nilai. Itulah sebabnya Pendidikan Nilai memerlukan teknologi pula, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa Pendidikan Nilai belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku.[16]
2.12.                    Pendekatan dalam Pendidikan Nilai
Martorella dalam buku Djahiri. Mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai atau budi pekerti, yaitu:
a) Evocation, yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya;
b) Inculcation, yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap;
c) Moral Reasoning, yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual talksonomik tinggi dalam mencari permasalahan suatu masalah;
d) Value Clarification, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral;
e) Value Analysis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral;
f) Moral Awareness, yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu;
g) Commitment Approach, yaitu pendekatan pada siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai;
h) Union Approach, yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.
Teknik pengungkapan nilai adalah teknik memandang pendidikan nilai dalam pengertian promoting self-awarenes and self caring dan bukan mengatasi masalah moralyang membantu mengungkapkan moral yang dimiliki peserta didik tentang hal-hal tertentu. Pendekatannya dilakukan dengan cara membantu peserta didik menemukan dan menilai / menguji nilai yang mereka miliki untuk mencapai perasaan diri.[17]
2.13.                     Karakteristik  Pendidikan Orang Dewasa
-Memiliki lebih banyak pengalaman hidup.
-Memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar. Orang dewasa termotivasi untuk belajar karena ingin memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan berprestasi secara personal,keputusan dan perwujudan diri.
- Banyak peranan dan tanggung jawab yang dimiliki. Menimbulkan persaingan terhadap permintaan waktu antar setiap peranan yang ia miliki. Menyebabkan keterbatasan  waktu untuk belajar. Penting bagi pendidik orang dewasa untuk memiliki sensitifitas dan memahami adanya persaingan penggunaan waktu.
- Kurang percaya diri atas kemampuan diri yang mereka miliki untuk belajar kembali Kepercayaan – kepercayaan yang tidak benar tentang belajar, usia lanjut dan faktor fisik juga dapat meningkatkan ketidakpercayaan diri orang dewasa untuk kembali belajar.
- Pengalaman dan tujuan hidup orang dewasa lebih beragam daripada para pemuda. Dan hal ini dapat dijadikan suatu kekuatan yang positif yang dapat dimanfaatkan melalui  pertukaran pengalaman dikalangan pembelajar orang dewasa.
- Makna belajar bagi orang dewasa. Belajar adalah suatu proses mental yang terjadi dalam benak seseorang yang melibatkan kegiatan berfikir. Bagi pendidikan orang dewasa melalui pengalaman-pengalaman belajar makna belajar diberikan.[18].
2.14.                      Fungsi Dasar Pendidikan Orang Dewasa
Fungsi dasar pendidikan orang dewasa adalah instruksi, konseling, perkembangan program dan administrasi. Proses pengembangan program melibatkan penilaian pada kebutuhan pelajar, membuat dan mengeksekusi keputusan yang diperlukan dalam aktivitas belajar untuk memposisikan dan mengevaluasi hasil. Keunikan dan keterpusatan fungsi pengembangan program dalam pendidikan orang dewasa berasal dari perbedaan tujuan dan kebutuhan pendidik orang dewasa.
Sebuah upaya dilakukan untuk mempertemukan bermacam-macam perubahan individu dan kebutuhan kelompok walaupun berupa program jangka pendek. Hal ini mengikuti pernyataan bahwa pendidikan orang dewasa lebih distandarisasi seperti dalam program remidi atau kesempatan kedua yang mensejajarkan kurikulum pendidikan remaja, dan fungsi pengembangan program tidaklah begitu penting.[19]

2.15.                    Tujuan Pendidikan Nilai Orang Dewasa
Houle (1972), menggambarkan enam orientasi yang dipegang oleh pendidik orang dewasa, yaitu:
1. Memusatkan pada tujuan.
2. Memenuhi kebutuhan dan minat.
3. Menyerupai sekolahan.
4. Menguatkan kepemimpinan.
5. Mengembangkan lembaga pendidikan orang dewasa.
6. Meningkatkan informalisasi.

Bergeivin mengemukakan tujuan pendidikan orang dewasa sebagai berikut :
Membantu pelajar mencapai suatu tingkatan kebahagiaan dan makna hidup.
b. Membantu pelajar memahami dirinya sendiri, bakatnya, keterbatasannya dan hubungan  interpersonalnya
c. Membantu mengenali dan memahami kebutuhan lifelong education.
d. Memberikan kondisi dan kesempatan untuk membantu mencapai kemajuan proses pematangan secara spiritual, budaya, fisik, politik dan kejujuran.
e. Memberikan kemampuan melek huruf, keterampilan kejujuran dan kesehatan bagi orang dewasa yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk belajar.
Dalam Living Values Education (2004: 1) dijelaskan bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah: “to help individual think about and reflect on different values and the practical implications of expressing them in relation to them selves, other, the community, and the world at large, to inspire individuals to choose their own personal, social, moral and spiritual values and be aware of practical methods for developing anf deepening them”.
Lorraine (1996: 9) pun berpendapat: “in the teaching learning of value education should emphasizing on the establishing and guiding student in internalizing and practing good habits and behaviour in their everyday life as a citizen and as a member of society”.
Adapun tujuan Pendidikan Nilai menurut Apnieve-UNESCO (1996: 184) adalah untuk membantu peserta didik dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas berfikir dan perasaannya. Sementara itu, Hill (1991: 80) meyakini bahwa Pendidikan Nilai ditujukan agar siswa dapat menghayati dan mengamalkan nilai sesuai dengan keyakinan agamanya, konsesus masyarakatnya dan nilai moral universal yang dianutnya sehingga menjadi karakter pribadinya.
Secara sederhana, Suparno (2002: 75) melihat bahwa tujuan Pendidikan Nilai adalah menjadikan manusia berbudi pekerti. Hakam (2000: 8) dan Mulyana (2004: 119) menambahkan bahwa pendidikan nilai bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami dan menempatkan nilai-nilai secara integral dalam kehidupan mereka.
Dalam proses Pendidikan Nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan komite APEID (Asia and The Pasific Programme of Education Innovation for Development), Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada anak, (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO, 1994).[20]

III.             Kesimpulan
Nilai adalah suatu cara bertingkah laku manusia, PAK memberikan cara dan menuntun orang dewasa dalam melakukan suatu peruatan dan membimbig, mengarahkan kepada perbuatan yang baik. Nilai juga adalah suatu usaha yang dilakukan dalam segala tindakan untuk mencapai tujuannya, baik itu berupa tindakan baik maupun tindakan buruk. Yang terpenting ia mampu mencapai tujuan yang ia harapkan. Dalam hal ini, perlu adanya suatu patokan atau tolak ukur untuk mengatur tindakan manusia. Antara norma dengan nilai itu saling berkaitan, yang mana dalam nilai terdapat norma dan aturan yang berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Namun, sebelum membahas terlalu jauh mengenai nilai-nilai yang ada di masyarakat, organisasi maupun pendidikan terlebih dahulu harus memhami apa itu nilai. Terdapat berbagai macam nilaidalam lingkungan masayarakat yang perludilakukan seseorang untuk mencapai suatu bentuk penghargaan dalam kehidupannya. Sehingga untuk mencapai nilai yang baik, maka seseorang perlu memperhatikan pola perilaku yang hendak diperbuatannya, karena perbuatan yang baik akan menghasilkan nilai yang baik.

IV.             Daftar Pustaka
...., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai Loyola,  IG. Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1994
Djahiri, Kosasih, Menuluri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral, Bandung: LPPMP,
1982
Groome,Thomas H. Christian Religious Education-Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010
Homrighausen, E. G. & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013
Hurlock,Elizabeth B. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga, 2009
Kast, Fremont E, James E Rosenzwig, Organisasi dan Manajemen, Jakarta:Bumi Aksara,1995
Marpaire,Andi, Psikologi Orang Dewasa, Surabaya: Usaha Nasioanl, 2003
Simanjuntak, Junihot, Filsafat Pendidikan dan Pendidikan Kristen, Yogyakarta: Andi, 2013
Suprijanto, H, Pendidikan orang dewasa; dari teori hingga aplikasi, Jakarta : Bumi Aksara, 2007
Winarno,Herimanto, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Sumber Lain



[1] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato Sampai IG. Loyola,  (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1994), 106.
[2] Thomas H. Groome, Christian Religious Education-Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010), 32.
[3] E. G. Homrighausen & I. H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2013), 20.
[4] Junihot Simanjuntak, Filsafat Pendidikan dan Pendidikan Kristen, (Yogyakarta: Andi, 2013), 115.
[5] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 2009), 246
[6] ...., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 289
[7] Andi Marpaire, Psikologi Orang Dewasa, (Surabaya: Usaha Nasioanl, 2003), 17
[8] http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html diakses pada     tanggal 16 April 2017 pukul 20:10

                [9] http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html diakses pada tanggal 16 April 2017 pukul 21:10
                [10] Herimanto, Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 126-127

[11] Herimanto, Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 127-128

[13] Herimanto, Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 128-129
[14] Fremont E Kast, James E Rosenzwig, Organisasi dan Manajemen, (Jakarta:Bumi Aksara,1995),33
[15] http://suksespend.blogspot.co.id/2009/06/konsep-dasar-dan-filosofi-pendidikan.html
[16] http://suksespend.blogspot.co.id/2009/06/konsep-dasar-dan-filosofi-pendidikan.html
[17] Kosasih Djahiri, Menuluri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral, (Bandung:  LPPMP,
1982).
                [18] http://nursekhamaulidapmtkbunisma.blogspot.co.id/2013/02/pendidikan-orang-dewasa.html     diakses pada tanggal 16 April 2017 Pukul 21:56
[19] Suprijanto, H, Pendidikan orang dewasa; dari teori hingga aplikasi.     (Jakarta : Bumi Aksara, 2007),           35
[20] http://suksespend.blogspot.co.id/2009/06/konsep-dasar-dan-filosofi-pendidikan.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafisiran historis Kritis Kisah para rasul 5:1-25 ananias dan safira

Trinitarianisme Sosial dan Trinitarianisme Posisi Tengah

BUKU pengajaran PAK untuk orang dewasa-beserta kotbah